Wednesday, August 19, 2009

Kembali bersama bintang, kembali bersama segelas Moccachino...tapi tidak bersama Jani, dia di sampingku, bukan Starlet hitam yang biasa menjemputku, maafkan aku setia, aku akan kembali, sesaat setelah aku tahu, wanita di sampingku tidak ingat ulang tahun mamaku, cinta selalu kembali pada yang menumbuhkan ia di padang gersang, bukan yang ingin memetik bunganya di kala semi datang.
Jam delapan malam saat ini, langit cerah, bintang sedang bermain di dimensinya sendiri, aku masih bersamanya, menghabiskan malam dan setumpuk cerita lalu yang tak habis kuurai dalam satu kitab kenangan. Seakan besok hanya akan ada harapan dan mimpi atas pertemuan, sehingga malam terakhir aku di Jakarta dimintanya tuntas, tak ingin berbagi walaupun hanya dengan nyamuk malam yang singgah sesekali untuk menunjukkan bahwa ia ada.
Aku pernah bersamanya dulu, saat-saat yang genting pada pencarian adik-adik kelasku yang hilang di Semeru, justru menjadi awal pencarian arti rasa yang berbeda setiap ia ada, bingung, rindu saat ia tak ada, cemburu saat waktuku dengannya terambil, ya…mungkin aku pernah sayang padanya, untuk beberapa saat saja mungkin, setelah kembali ke dunia kerja dan ramainya kota, hilang sudah pertemuan yang dulu selalu coba untuk dihadirkan berdua.
Blok S sudah dipadati oleh muda-mudi, tapi itu tak juga membuat kita peduli, aku pulang besok, jangan tangisi Selviana Khairunisa, bukankah kamu yang memilih untuk menjadikan ceritamu ini iklan di sela-sela sinetron cintaku bersama Jani. Satu gelas kopi, satu piring klapetart lagi, suasana yang kini asing bagiku, bersama wanita di sampingku aku merasa hidup ini lengkap, sisi baik dan burukku menyuarakan keberadaanya atas aku.
“ sayang lagi apa? Jadi kan pulang besok? Mau di jemput ga di bandara?” ada masuk satu pesan singkat ke ponselku, apakah itu dari wanita yang sedang asik mengaduk gula di gelas kopinya di hadapanku? Tentu saja bukan, karena dia cukup berbisik untuk menanyakan apakah aku besok pulang.
Satu pertanyaan dari Jani kujawab dengan jujur, ya aku memang akan pulang besok, dengan penerbangan terakhir, tak perlu kau menjemputku, kenapa…?....bukan aku sombong, tapi itu berarti kau harus pulang larut malam. Pertanyaan kedua kejujuranku mulai memudar, “Sayang lagi dimana?”, dan kujawab aku sedang di kamar mandi, dari tadi siang sakit perut, “Emang ga ada orang disitu buat nitip beli obat?”, aku jawab tidak ada orang sama sekali, terus Via apa, bungkus rokok?!?!...Pertanyaan terakhir sangat berat kujawab,”Sayang ada rencana keluar ga malam ini?”, lama aku berpikir, tadinya mau aku jawab ada rencana mau ke markas pemadam kebakaran, tapi nanti dia tanya mau ngapain, masa kujawab beli martabak telor, malah runyam urusannya, jadi kujawab saja tidak ada rencana kemana-mana, dan akhirnya tiga kali sudah aku berbohong, sungguh keterlaluan, padahal Jani selalu mencoba untuk jujur kepadaku, bahkan untuk mengabarkan bahwa stocking barunya jebol kena rantai motor, ada-ada saja.
Satu setengah jam sudah, aku resah, kenapa Via tak juga mengajakku pulang, kentang goreng berulang, percakapanpun memanjang, terus….terus…..dari Helen yang dapat pacar baru, Andri yang berencana menikah, Dedi yang isterinya baru melahirkan, hingga cerita teman kami Nuraini yang baru bercerai….naas….tapi tak juga menyurutkan Via bercerita sambil terus menikmati jengkal demi jengkal wajahku, tersadar ia, segera bangun dari duduknya, syukurlah, ia ternyata masih ingat waktu, walaupun ternyata itu karena dia melihat hanya tinggal meja kita yang belum dibereskan pelayan di kafe itu, pulanglah kita…..dengan motor matic putih dia, kenapa ga pakai mobilku, karena mobilku di Pontianak, alasan yang logis kan kenapa aku mau naik motor lucu itu. Tapi kenapa arahnya berlawanan dengan penginapanku, dia mau membawaku ke rumahnya, oh….tidak….tapi iya dia serius membawaku ke rumahnya, aku takut, takut dibawa menginap, terus terjadi sesuatu,…”Jangan Vi….” Aku segera menyampaikan hasrat yang terpendam sepanjang jalan tadi, “ Aduh….apa sih? Tolong dong, ambil bukunya dan aku langsung antar kamu pulang ya, kamu butuh itu kan buat bahan pengantar tugas akhirmu…..?!” Wah, malu sendiri jadinya, maaf ya Vi.
Malam larut, jam setengah dua belas sudah, gerobak makanan tampak beriringan tanda selesainya tugas hari ini, malam dingin, tangan Via erat menghangatkan dua sisi pinggangku. Jarak kita memang terbentang jauh Via, tapi selalu ada yang membuat aku teringat kamu, ceria kamu, marahnya kamu melihat orang menyalip motormu, burger tempe yang selalu kau buatkan untukku saat aku berkunjung ke rumahmu ketika kuliah dulu, kamu sempurna, bahkan terlalu sempurna untuk cerita hidupku yang penuh cela. Perempatan jalan kulewati satu persatu, jauh lebih banyak dibandingkan dengan perempatan jalan yang kulalui dari rumah hingga tempat kerjaku di Pontianak sana, berarti warga disini lebih parah tingkah lakunya di jalan, sehingga perlu diingatkan di setiap ruas jalan yang mereka lalui, mungkin?!
Lampu jalanan memberi irama, indah….mendayu-dayu seiring motor yang kutunggangi berkelak-kelok mengikuti tawa kami yang tanpa henti sejak rumah Via tadi. Aku bahagia, sisakan sedikit untuknya, untuk wanita yang rela menungguku untuk sesuatu tanpa wujud, harapan tanpa ujung, bahkan untuk sesuatu yang aku tahu ia tak pernah yakini sama-sekali. Aku fana atasmu, tak pernah aku mencoba hadir saat kau butuh, aku tinggalkan kamu bersama kota yang penuh cerita ini saat selesai kutebar benih harapan yang pernah bertunas senyum di setiap pagimu. Ini bahagia wanita, mohon kau simpan saja, aku minta sedikit untuk kubawa, hingga aku tetap tersenyum setiap kusadar bahwa kau ada.

Untukmu yang selalu menghangatkan pagiku……
Aku tersenyum atas awal yang selalu indah bersamamu
Untuk detik yang tak pernah hampa atas arti dan berlalu…
Selalu ada manis gula yang menjadi cerita
Selalu hadir pahit kopi yang menjadi puisi
Menjadi dua sisi hati yang saling berpelukan dan menari
Untukku……
Untuk waktu…….
Untuk cerita awal hariku yang kumulai dengan kepalan tangan dan sejuta haru…..

Waduh…….jam delapan, dan itu berarti aku terlambat lagi….lariiiiiii, kemeja kuraih, ntah dicuci kapan aku tak peduli lagi, celana panjang yang kemarin belum sempat kukemas kupakai lagi, kugosok gigi, cuci muka seperlunya, biar mandinya nanti saja di kantor, tinggal kubilang saja kan sama mba Vay kalo aku mau buang air besar, jadi kan punya waktu untuk mandi di kamar madi OB, memangnya Vay selalu bertanya aku mau kemana, bahkan untuk bertanya apa yang hendak kukeluarkan di kamar mandi?! Ga sih….hanya jaga-jaga saja siapa tau wanita cerewet yang tak pernah lepas dari bolpoin biru dan buku absen itu bertanya padaku.
Kuburu segera garasi sampingku, untunglah kunci motor itu menggantung tanpa harus kucari, melaju aku di jalanan, aku bersyukur jalanan tidak sepadat kota metropolitan, sepuluh menit saja, dan aku tiba di tempat kerja, bersamanya lagi, bersama Parjo yang sedang memimpin anak buahnya para penegak keadilan dan pembela kebenaran di kantorku itu untuk apel pagi, dasar Parjo, dia pidato layaknya soekarno tapi dengan logat yang tentu saja membuat wibawanya justru terlihat lucu, dia memandangku heran….lama….lama sekali…tapi biarlah, kutinggalkan dia disitu, di atas lapangan beton yang berwarna-warni itu, dan menuju aku ke ruanganku di lantai atas.
Dan……kok sepi ya, di depan tadi juga tak kulihat teman-teman kantorku bercokol, tapi biarlah, mungkin mereka sedang bertamasya, mensyukuri aku yang akhirnya datang terlambat lagi, jahat sekali mereka tidak mengajakku, awas…..suatu saat pasti kubalas.
Kubereskan mejaku, kubuat segelas kopi, kusajikan bersama Axl rose lagi dari dalam PC, siap kumulai hari kerja dengan tumpukan gambar yang harus kuselesaikan hari ini….tanpa mandi. Aku kesepian, tapi biarlah, setidaknya tak kudengar lagi alunan gosip Yuni shara dan Raffi, ataupun sinopsis episode baru cinta fitri, aman nyaman membuat tangan ini berlenggak-lenggok tanpa beban diatas keyboard komputerku.
Satu jam tiga puluh lima menit sudah waktu sendiri kulalui, bosan juga ya, ternyata orang-orang menyebalkan dan menyenangkan harus hadir beriringan untuk menciptakan keseimbangan, lalu aku coba menghubungi mba Vay hanya untuk sekedar menanyakan apakah dia tahu dimana kira-kira Parjo menyimpan pentungannya, lho untuk apa? Tapi mba Vay lekas membalas pesanku, hebat sepertinya dia tahu pertanyaanku, “ Heh dodol, kamu lagi dimana?” Wah….kok tiba-tiba mba Vay perhatian sekali padaku, jangan-jangan dia menyimpan hasrat terpendam padaku, “ Di kantor mba, kantor kita tercinta, benar kok mba, masih di jalan Kota baru tadi aku lewat, plang nama depan tetap sama, tadi juga ada Parjo di depan, dia belum mengundurkan diri dari kantor kita kan mba, jadi secara sistematis sih sepertinya saya tidak salah masuk kantor bukan?” Lama sekali mba Vay tidak menjawab, mungkin bingung, kasian dia ,” Orang gila dasar “ Lho, ada apa ini, ah biarkan saja lah, memang dia biasanya begitu juga.
Tak seberapa lama segerombolan orang datang, sudah terdengar gemuruh sejak mereka menaiki tangga tadi, wah…..jangan-jangan orang-orang yang mau demonstrasi, bagaimana aku menghadapinya sendirian, tanpa teman, tanpa pegangan, tanpa mesin penyemprot air, tak adil mereka, tapi horeeeee…….ternyata itu adalah teman-temanku datang, selamat datang, kusambut mereka dengan gembira, dengan senyuman lebar dari wajahku yang notabene belum mandi, mereka cemberut, tapi ada yang tertawa-tawa, kenapa mereka, apakah ada bau yang aneh keluar dari badanku, sepertinya tidak, dan memang benar tidak demikian, ternyata ada satu hal yang terlupakan hari ini, kau tahu apa? Ya….aku ulang tahun hari ini, mereka semua yang tergabung dalam koalisi yang bernama teman-temanku berencana melakukan pesta kejutan pagi-pagi di ruang tamu rumahku, dan kau tahu apa yang terjadi, aku pergi secara terges-gesa dari garasi rumah dan langsung melaju dengan sepeda motor menuju kantor tanpa menoleh mereka sama sekali, dan….buyar, rencana merekapun tidak berhasil, kasian sekali bukan….hahahahahaha…….ya sudahlah, yang penting mereka selamat sampai kantorku, oh lihat itu mba Vay bertolak pinggang sambil memelototiku, nampaknya dia kesal, ada pak Gilda juga ikutan, jadi membuatku semakin terharu, pak Marwan tak henti-hentinya tertawa sejak tadi, hesti yang sedari tadi memegangi kue yang sepertinya untukku mulai kelelahan dan meletakkan kuenya di mejaku, suara semakin riuh, seraya mereka menyalamiku untuk memberikan ucapan selamat ulang tahun sambil terus membahas kejadian aneh hari ini, terima kasih teman-temanku, ternyata mereka tidak lupa ulang tahun seperempat abad umurku.
Kupotong kue itu kecil-kecil, kusuapi teman-temanku satu-persatu, sambil kutundukkan kepalaku sedikit sebagai tanda permintaan maaf, semuanya tidak menolak kue yang kusuap ke mulutnya, bahkan pak Gilda sekalipun, orang terakhir yang kusuapi, pak Marwan bosku tercinta, yang mengatur gaji yang layak kuterima setiap bulan, setelah kue itu habis ia telan, ia bisikkan sesuatu, “ Jangan lupa motornya Helmi dikembalikan ya, dia hampir panik tadi kalau motornya hilang, tapi setelah tahu mobilmu masih di garasi, dan mendengar kamu sudah di kantor ia tenang kembali dan tertawa-tawa sendiri.” Oooooohhh….ternyata itu motor Helmi, aku baru sadar kalau sudah tidak punya motor lagi, pantas rasanya tidak kenal suara motor yang kutunggangi tadi, dasar Helmi, saking ingin memberi kejutan padaku sampai lupa mencabut kunci motor dari lubangnya. Segera saja kukembalikan kunci itu padanya, dan kubisikkan padanya kalo kapan-kapan dia mau meminjam mobilku boleh lah….hehehehe…..
 
Copyright (c) 2010 karma sang fajar. Design by Wordpress Themes.

Themes Lovers, Download Blogger Templates And Blogger Templates.