Thursday, December 23, 2010

Apa yang aku tunggu, sungguh tak benar-benar hanya tentang kepulangannya hari ini. Pukul tujuh malam sekarang, tak seharusnya aku datang secepat ini untuk menjemputnya, masih satu jam lagi, dan aku berpikir aku butuh sedikit waktu untuk mempersiapkan hatiku untuk menyambutnya pulang, bukan untuk kecewa, itu sudah biasa, rentang enam tahun aku mengenalnya cukup memberiku perbendaharaan peristiwa yang berlabel kecewa, tapi aku ingin semua tahu hebatnya manusia itu, rasa kecewa di awal selalu berakhir dengan tertawa dan kebahagiaan bersamanya, dan itu sungguh membuatku merindukan laki-laki itu, jadi untuk sesuatu yang bernama kecewa aku pikir tak perlu untuk mempersiapkannya. Aku justru belum siap dengan suatu rasa...... bahagia, andai dia memberikanku kejutan, oleh-oleh mungkin, atau sekedar permintaan maaf yang tulus , karena ia adalah orang yang sulit mewujudkan permintaan maaf kedalam suatu bentuk mahluk bernama kata-kata, jika ia mengucapkannya, aku tahu bahwa dia sangat menyesal, dan aku belum siap untuk menyikapi rasa bahagia itu, aku belajar seni tari, aku belajar seni peran, tapi aku sama sekali tak memahami bagaimana seni bahagia, ataupun sedikit tertawa untuk bahagia itu sendiri. Aku terlalu berharap apa yang akan terjadi hari ini berjalan sempurna, bukan untuknya, tapi untukku, yang dulu tak pernah tahu bahwa ia sempatkan lima menit dalam paginya yang padat untuk membawakan segelas susu dan sepotong roti keju ke dalam kamarku, dan setelah itu, dia hanya mengusap halus rambutku yang masih terlelap tidur, lalu berlalu tanpa keinginan untuk tampak hebat di hadapanku.
Aku merasakan cinta itu setiap pagi, walaupun ia tak menyelipkan tulisan berisi kata-kata cinta di bawah piring rotiku, aku merasakan besarnya cinta, walaupun aku tak tahu dari siapa. Aku menyantap sepotong roti tanpa ketakutan akan mati, kuminum segelas susu yang tersaji tanpa perasaan aneh ataupun jijik. Aku tahu ada yang menyimpan semua itu dengan alasan, aku terlalu ego untuk mencari tahu......dan setelah kehadirannya kusadari, dia sudah terlanjur pergi.
Langit Jakarta dan bulan sabit malam itu, kombinasi yang hebat di hadapanku sekarang, mencipta cerita baru yang menitipkan sedikit tawa untukku yang sedang terduduk dan menunggu, hal yang tak pernah sedikitpun kusuka, tapi dia satu orang yang entah tercipta dari tanah lapisan mana, mampu memaksaku untuk menunggu, satu kali aku pernah menunggu untuk satu hal yang tak kunjung pasti, yang membuatku mencipta jeruji untuk mereka yang bernama laki-laki, dan semoga itu tak terjadi untuk kali ini. Ini pasti untukku aku rasa, dan aku tak pernah tahu kenapa.
Suara anak kecil di ujung telfon, aku sangat menyukainya, bahkan trauma besar yang telah mengambil adikku satu-satunya tak lantas mengurangi rasa cintaku pada mahluk-mahluk kecil yang selalu mempunyai bahasa sendiri untuk membuat kita tertawa. Seorang pria dengan logat sunda berdiri di dekatku, badannya yang tegap tak menghalangi bahasa tubuhnya yang dipaksakan agar terlihat lucu, walaupun mungkin anaknya di ujung telfon sana tak akan tahu kalau bapaknya ini telah membuat orang di sekelilingnya bahagia, sebahagia ia yang akan segera pulang untuk menemui anaknya yang sudah lama terpisah, mungkin itu yang bisa aku tangkap dari pembicaraan yang aku dengar.
Pagi itu semuanya masih berjalan biasa saja, masih dengan Norah Jones di ujung telinga yang memaksa aku untuk mempermalukan diri di depan cermin sambil menyelesaikan olah raga pagiku. Nampak tidak akan ada sesuatu yang istimewa terjadi hari ini, diatas sofa merah ini lagi, berharap fameo berani yang diusung merah akan menular padaku, yaaa....anggap saja itu mungkin. Barisan foto yang kupajang di ruang enam kali tujuh meter ini cukup sebagai teman berbagi cerita yang walaupun alurnya selalu sama setiap hari namun tidak juga membuatku bosan untuk duduk berlama-lama disini, televisi sengaja tidak kuletakkan di ruangan ini, berharap senyap saja judul aktifitasku, tak mau diganggu drama politik ataupun isak tangis para pemain sinetron yang justru akan mengaburkan semua khayalan indahku. Kuletakkan jus mangga yang setengahnya telah habis kuminum di atas meja yang dipenuhi barang-barang aneh hasil tangan laki-laki ajaib di belahan dunia lain itu, dan beberapa oleh-oleh perburuanku selama berkeliling mencari objek fotoku. Selalu membuatku tersenyum, menambah warna prosa di jengahnya hari-hariku, aku ingat padanya setiap hari tanpa kuhendaki, biarkan saja, karena hal itu tak pernah memberikan sesuatu yang buruk sejauh ini.
Pandanganku terhenti pada sebuah buku tebal yang aku jilid sendiri, seingatku masih banyak halaman kosong yang seharusnya aku isi berdua dengan mahluk ajaib itu, entah kapan akan selesai. Aku membukanya perlahan, barisan foto polaroid disertai tulisan tanganku, cerita kesana-kemari tanpa tujuan jelas...baginya, tidak bagiku, dia mungkin tak pernah sadari itu, tapi ya sudahlah.
Siang sudah berangsur datang, tas kecil berisi satu kamera digital, buku catatan, dan ponselku kuraih cepat...aku terlambat nampaknya, entah apa yang ada di pikiranku hingga aku melupakan janji penting hari ini, aku ada kelas tambahan untuk komunitas kecil yang kunamakan “starshine magz”, obsesi keciku untuk mendaulatkan kecintaanku pada bintang, gemerlapnya yang maha ajaib, rotasi hidup yang memaksaku tertegun lama dan menghitung jumlahnya yang kuyakin tidak akan berujung pada kata selesai. Aku harus mengajar para starshiner itu soal rekayasa fotografi hari ini tepat jam dua siang, dan kamu tahu sekarang jam setengah dua lebih lima menit, dengan estimasi empat puluh lima menit jarak yang harus aku tempuh berarti aku akan telat sekitar dua puluh menit,aaahhh....maafkan aku.
Mereka menyambutku dengan senyuman, dan aku hanya tersipu malu, tak hanya di awal, tapi hingga tiga jam aktifitas itu berakhir.
Di kursi pojok itu aku terduduk sejenak menjelang pulang, menghela bangga atas apa yang berhasil kususun dari bawah hingga menjadi sesuatu yang bisa menghadirkan isi kulkas dan memenuhi kewajiban cicilan motor dan rumah mungilku. Disini aku merasa berarti dalam rentang dua puluh empat tahun umurku, andai orang tuaku tahu apakah mereka akan bangga, untuk mereka yang tak pernah kutemui wujudnya aku hanya ingin berbagi bahagia ini, tak banyak yang aku minta, Cuma senyuman kecil dan sedikit usapan di kepala dari dua orang yang tak pernah meninggalkan bayangan sedikitpun pada masa kecilku hingga sekarang, rinduku tak menentu, tak tentu bahkan arahnya untuk siapa, namun walau bagaimanapun, tak boleh kuingkari bahwa mereka pasti ada, membentuk wujud dan aliran darah dalam tubuh seratus enam puluh senti dengan kulit putihku ini. Dalam beberapa waktu sedia aku mereka-reka wajah mereka, mungkin kurang lebihnya aku dengan tubuh gemuk dan sedikit lebih pendek untuk mamaku, dan wajah hitam tegas dengan hidung sedikit menyerupai bangsa Inca untuk ayahku, dan aku akan tersenyum setelah itu membayangkan kita foto keluarga bertiga pada wisuda strata duaku yang hanya dalam hitungan hari lagi akan terjadi, dan selebihnya aku tak ingin membayangkan akan melewati moment penting itu sendiri.
Kujelang pulang dengan lantang, sesaat waktu yang tersisa kusinggahkan di meja kerjaku, kiriman rutinku telah datang, terlambat satu hari tapi belum terlalu basi aku rasa, komik serialku, kaos dari penggemar majalahku di Inggris sana, dan buletin outdoor, lengkap semuanya, dan segera aku meninggalkan starshine magz, karena kira-kira satu jam lagi, Bandung akan dihiasi kemacetan dimana-mana, aku lelah...apa kira-kira makanan yang enak untuk nanti malam menghantar tidurku, mmmhh...sepertinya serabi keju enak, tak perlu kubayangkan, langsung saja kubelokkan sepeda motor matic ini ke sebuah kios penjual serabi, baunya enak sekali, sepertinya dia akan menghantarkan mimpi indah nanti malam.
Bintang bersinar di ujung jendela sana, ikut menyanyikan lulaby terakhir hari ini bersama sepiring serabi di tanganku, aku ingin berbagi sedikit cerita, kamu cukup mendengarkannya saja, cerita hari-hari normal seperti biasanya, dengan kepulan asap di hadapan helm merahku, dengan starshiner yang selalu membuatku merasa harus terus belajar demi tetap menjaga konsistensiku yang dituntut untuk lebih tau dari mereka, itu menyebalkan sekali, mereka hanya memetik buah dari pohon yang aku tanam, aku bercanda...itu hanya di pikiranku saja, aku senang menjadi tempat bertanya, membuatku lebih punya posisi diantara mereka. Sampai bertemu besok malam lagi, aku mengantuk, tak perlu aku ucapkan selamat malam, karena kupikir kita tidak punya ikatan emosional yang menjadikan itu sesuatu yang penting untuk diucapkan.
Dia datang lagi dalam rangkaian dialog di panggung yang tepat mementaskan cerita di hadapanku sore ini, ini cerita yang aku hapal benar siapa penulisnya, sama dengan penulis buku tebal di ruang santaiku, dia menyerangku dari segala sisi tak bisa kuhindari, atau memang aku yang mengizinkan itu terus terjadi. Aku menikmati setiap lakon yang tersaji, membayangkan aku yang diatas sana bersamanya, tapi tak pernah adil untukku karena pelakon dia atas sana punya akhir cerita yang bahkan sudah mereka kuasai sebelumnya, sedangkan aku, tetap meniti cerita tanpa ujung awal dan akhir, sutradara dan penulis skenarionya sedang cuti teralu lama, semoga mereka tidak lekas mati, karena aku akan terancam mati suri dalam tanda tanya besar tentang apa dialog akhir menjelang tanda selesai bagi cerita besarku itu.
Panggungnya menarik, tapi tidak sama sekali menarik perhatianku untuk mengambil sedikit foto sebagai bukti otentik aku hadir disini, aku cukup menikmati menjadi penonton biasa bersama Anita yang kubaptis dengan terpaksa menjadi penyuka teater, kasian sekali, dunia gunting kuku dan rambut yang selalu menjadi pilihan pastinya aku ganti dengan terduduk satu setengah jam menonton teater bersamaku hari ini, “ Aku tahu Drai....” Kata-kata yang terucap tiba-tiba dari mulut anita hanya diakhiri senyuman yang menggangguku, “ What? Sok tahu, emangnya udah berapa puluh kali kamu nonton teater? “ aku mencoba menjawab, walaupun sebenarnya aku tak yakin soal apa yang sebenarnya dia maksud, ” yeyyy....bukan soal teater, soal ceritanya, nampaknya aku mendengar ini puluhan kali berulang dari mulut kamu setiap kali aku menginap di rumahmu, iya kan?” Ah, ingatannya teralu tajam untuk malam ini, aku sedikit membencinya, aku sungguh tak ingin berkhayal jauh sekarang, aku ingin disini...utuh, “ Aku ga nyangka kamu bakalan ngucapin itu Ta. Kirain ga ada yang kamu ingat selain kapan terakhir kamu mewarnai rambut violetmu itu.” Anita melempar mukaku dengan keripik yang ada di tangannya, jorok sekali wanita itu, wanita berambut ungu yang selalu menjadi daya tarik mata orang yang datang ke starshine, dia icon kantorku, manusia lemot yang selalu berkata iya untuk sesuatu yang bahkan ia tidak mengerti sama sekali. Tak sedikit laki-laki yang akhirnya mengutus aku menjadi kurir pengantar coklat, puding susu, atau sekedar satu batang bunga mawar untuk Anita, ah...profesi tanpa upah nyata, hasil ketidak beranian mereka mendatangi muka garang Anita. “ Udah kebelet pulang belum Ta?” aku memaksanya menjawab untuk memberi jeda waktu hingga aku bisa mengambil kantong keripik di pangkuannya, “ Ga, pemain utamanya ganteng juga, siapa namanya Drai?” Aku menoleh lama sekali ke arahnya sambil menghabiskan kunyahan keripik di mulutku, “ Feiza, serius Ta, ya ampun...diantara deretan konsumen kurirku untuk kiriman-kiriman hadiah kamu itu, kamu akhirnya memilih Feiza untuk menyandang gelar ganteng? Aku kira mulutmu terlanjur kelu untuk kata-kata itu Ta, malah aku khawatir kamu jadi lines, dan dengan terpaksa aku harus mengeluarkan kamu dari starshine karena itu...hahahahahaha.” Anita memutar badannya cepat, entah apalagi yang akan dia lempar sekarang setelah tadi keripik, oh tidak, jangan tasmu, aku tahu itu sangat berat sekali, “ Kurang ajaaaaaarrr, I’m normaly Drai, ya mereka aja yang hanya mengirimkan pernyataan suka tanpa meminta jawaban iya dari aku, punya keberanian aja nggak, akhirnya kamu lah yang jadi kurir makanan-makanan mereka untukku yang sebenarnya sebagian besar dihabiskan sama kamu.” Oh no, banyak segmen teater di sana yang terlewat gara-gara dialogku dengan Anita, menyebalkan sekali, stop...lebih baik kita meneruskan menonton lagi, dan setelah itu kamu bebas menjadi nona violet kembali, dan aku menjadi apa?mmhhh...entahlah, menjadi owner starshine kembali yang pasti, selamat malam.

Siang tak pernah terlalu panjang....
Mengekang lelah dalam balutan cahaya yang ia cipta
Dan setelah terang cahaya itu pergi....
Aku telah terlanjur membeku disini
Bangunkan aku...
Kala aku buta akan indahnya pergantian waktu
Tak peduli saat siang itu pergi
Karena aku terlalu memberanikan diri untuk berlari menembus gelap
Tanpa batas....
Tanpa kendali...
Aku biarkan semua itu mati sendiri
Saat aku tertawa lantang, sungguh saat itu aku merasa semuanya telah hilang
Dan setelah semua mereda
Aku sadar bahwa aku yang telah mencipta kesendirian itu tetap ada
Ini pilihan, bukan ancaman
Karena saat aku merasa bahaya
Aku sedang bersiap mengganti semuanya
Bahkan bekupun tak rela aku biarkan pergi
Apalagi aku yang secara sengaja membuat semuanya berganti
Aku menikmati ruang yang mereka namakan sendiri
Aku bahagia berada di batas waktu, yang mereka namakan mekanisme kaku
Karena aku yakin....
Aku punya bahasa bahagia sendiri
Dan mereka semua tidak akan pernah mengerti

Pagi ini aku malas sekali terbangun, entah kenapa, harusnya aku tak sendiri....Yovan terlalu puas menikmati hidupnya enam tahun saja, dan memustuskan untuk pergi meninggalkanku setelah itu. Dia adik yang kupilih sendiri, saat usiaku belum diizinkan negara untuk melakukan adopsi, namun setelah semua pihak mendukungku, aku boleh membawa bayi berumur satu tahun yang selanjutnya menjelma menjadi adik kecil yang kupanggil Yovan, aku hanya berkhayal bahwa ia adalah adik yang ditinggalkan ibu untukku, kala ia lihat anaknya ini hampir mati dalam sendiri, bahagia....untuknya yang memakai baju TK pertama kali dan berlari dengan sepatu karetnya yang mengeluarkan cahaya, gaji dari hasil honor liputan dan kontribusiku pada majalah anak-anak akhirnya mampu kukumpulkan dan kubelikan sepatu dan keperluan sekolah dia pertama kali, dan usianya empat tahun waktu itu. Semua tampak normal hingga detik terakhir dia pergi....aku pikir gejala parkinson kecil yang ia idap tidak terlalu berbahaya, dan aku sangat percaya waktu itu kepada dokter yang mengatakannya. Namun saat ia bermain tiba-tiba ia terjatuh dengan benturan kepala yang menyebabkan luka yang terlalu parah dan menjadi tiketnya pergi tanpa mengajak aku, dan setelah lima tahun saja aku memilikinya, aku akhirnya kembali sendiri.
Sungguh tak seharusnya pagi ini aku menyantap corn soup panas ini sendiri, andai Yovan disini, kita pasti berbagi, karena ini makanan yang sungguh sangat ia sukai, aku suapkan perlahan, memberi rentang waktu dan dimensi andai Yovan memutuskan untuk kembali, lama.......lama sekali aku menjalani ritual makan perlahan itu pagi ini..perlahan....hingga aku tiba di titik sadar bahwa semuanya akan mengakibatkan ini semakin buruk dan berbahaya untukku, aku berhak untuk memulai dan mengakhiri ini, otakku tak kubiarkan beku, ia berpikir cepat...kuraih telfonku, Anita...aku yakin dia tidak akan menolak perintah dariku untuk datang ke rumahku di minggu pagi, kalau dia ada perlu?!....mmmhh, sepertinya tidak ada, aku sedikit yakin soal itu, soal apa yang akan ia lakukan di minggu pagi, dan aku percaya dia akan sangat senang berbagi kesendirian dan akan bertransformasi menjadi keceriaan bersamaku Drai Vanatriandri yang menyandang status sebagai atasan untuk Anita di Starshine, namun untuk panggilan ibu atau panggilan lain bernada hormat, aku menolaknya, aku benci mencipta jarak, apalagi untuknya, yang selalu menjadi hiburan dengan segala kebodohan dan kepolosannya, maafkan aku Anita...tapi tolong jangan menolak ajakanku untuk menghabiskan hari minggu berdua, aku rela kalau nanti ada saatnya kamu kejam dan memaksaku diam menerima kutek violet kamu oleskan di kukuku, tapi tak apalah, asal kamu disini hingga pertunjukkan sinar bintang itu menghampiri lagi.
Memang sungguh nona ribet seluruh alam manusia itu, ya ampun Anita...dengan tas tangan di sebelah kiri dan plastik belanjaan di tangan kanan, sungguh bukan kombinasi yang nyaman untuk memencet bel rumah di depan pintuku...untung saja telingaku cukup tajam untuk mendengar suara rem taksi yang mengusikku dari kamar tidur yanga berada di lantai atas rumahku. Aku hanya memandangnya dengan lucu dari lantai atas melihat dia yang kesulitan menggapai bel yang hanya berjarak satu jengkal dari hidungnya,”Ahhhh...Drai, bukain lah, iseng amat cuman nontonin dari atas situ.” Akhirnya dia melihatku, bahayaaaa...pasti habis tanganku kena cubitan tangan-tangannya yang lentik itu, lebih baik aku segera membukakan pintu untuknya di bawah, sebelum hukuman atas keisenganku bertambah.” Hei...tumben cepet?” Entah apa yang dibawa Anita untuk mengekspansi kamarku menjadi kamar wanita sesungguhnya, biar aku tebak, majalah mode, make-up lengkap trend tahun ini, sendal berhak tinggi baru yang akan bergantian di mix and match dengan short dress dan celana kulit dan tengtop putih, wow....aku tak pernah berani membayangkan semua benda itu menggerayangi badanku. “ Aku bawa banyak makanan, untuk kita berdua, aku yakin baru nutrisi dari jagung serut dan susu kental dengan telur dan sedikit tepung itu yang masuk ke lambungmu kan, udah kubilang Drai...cobalah kamu kurangi kebiasaan sarapan anehmu itu, aku yakin air putihpun lupa kamu minum pagi ini kan?” gerbong kata-kata tanpa rem itu seraya memberondongiku, cerewet sekali Anita, tapi tak apa, aku suka sekali pilihan makanan yang sejauh ini selalu ia berikan untukku, aku kelaparan bukan karena tak punya uang, tapi terlebih karena miskin keinginan, pemalas ini terpasung, dan akhirnya Anita yang membukakan semua kuncinya, aku terbebas, makan enak, dan berubah menjadi sedikit feminin tanpa ketakutan akan ditertawakan banyak orang, karena disini hanya kita berdua yang tahu kegilaan apa yang hari ini akan meriuhkan kamarku.
Dan malam hari di week day ini mungkin menggambarkan ketidak aturanku saat ini, violet girl itu di sampingku, dekat, sambil memperlihatkan majalah kecantikan yang sungguh tak kumengerti sedikitpun, aku pasrah pada segmen berikutnya, ketika tas besar itu dibukanya, dan abrakadabra...aku harus rela menjadi badut eksperimennya. Masih ada kurang lebih sepuluh menit lagi menuju waktu eksekusi, kalkulasi dari setengah eksemplar majalah yang belum selesai ia pamerkan padaku, tak kumengerti sama sekali, dunia kita berbeda seratus enam puluh sembilan koma tujuh derajat, itu juga dipukul rata-rata mood-ku yang naik turun soal selera makan yang biasanya serupa dengan mahluk itu, dan sisanya...jangan berharap kita beremulsi menjadi satu formula yang mengusung pola pikir yang sama, kita sangat berbeda. Dan siapa yang sebenarnya menempati dunia yang normal, tak pernah ada yang tahu, atau mungkin kita berdua sama-sama mencipta dunia kita masing-masing yang orang lain tak akan pernah mengerti.
Ini hari kamis, seharusnya ia tidak disini, besok masih hari kerja, dan jaminan tidak akan tidur dibawah jam sebelas malam memberikan bonus bangun siang dan masuk kantor telat untuk besok pagi. Ayolah, kita menikmati waktu dua setengah jam berhura-hura wanita menurut judul yang ia berikan untuk aktifitas ini, hingga nanti tiba pada area pukul setengah sebelas yang akan kita habiskan untuk berbagi cerita, berbagi susu es, dan selimut tebal, dan saat itu tidak tertutup kemungkinan ia menjelma menjadi mahluk berbeda bentuk, dan aku tak akan pernah tahu malam ini dia akan menjadi miss. Bijak, Miss. Bawel, Miss.Melow...mmmhh...kedengarannya yang satu itu enak, menyerupai makanan favoritku.....ah, aku siap untuk kejutan yang akan kamu berikan dua setengah jam lagi, tapi untuk sepuluh menit yang ternyata sudah dilewati tanpa terasa itu, aku sungguh tidak pernah siap, dan tidak pernah terlatih untuk cepat-cepat mengelak, karena tangannya sudah memegang kotak riasan yang dikeluarkan dari tas besarnya, aku pasrah.
Aku menjelma menjadi wanita yang baginya sangat indah untuk mengusung riasan layaknya Moulin Rouge, dan selanjutnya kamera ponselnyalah yang akan beraksi, aku sudah capek meminta tolong dan memohon padanya untuk tidak menyimpan hasil foto eksperimennya atas aku di jaringan sosial dunia maya, biarkan saja, aku cukup bilang, " Itu tidak akan mengurangi pesonaku kan di mata para laki-laki, jadi silakan saja kamu berhura-hura dengan kamera ponselmu." Dan apakah itu cukup meredakan nafsunya untuk menjadi fotografer fashion? owh...tentu tidak, nafsunya malah semakin menggila, biarkan saja.
 
Copyright (c) 2010 karma sang fajar. Design by Wordpress Themes.

Themes Lovers, Download Blogger Templates And Blogger Templates.