Friday, November 25, 2011

Kenapa dengan hari ini....dingin sekali, serasa ribuan misi tak juga berarti, jalur yang telah kita hapal tiba-tiba menjadi liar, aku tetap membatu dalam beku, kupandangi bibirku yang mulai tampak membiru, darahku berhenti bergejolak, dan tujuh puluh dua jam sudah kita disini berbagi peluh, beradu uap badan yang tersisa demi saling menghangatkan. Diantara celah batu teman, diantara celah batu yang di atasnya penuh perdu, lorong vertikal puluhan meter yang hanya layak dilalui oleh angin, disini kita terkubur dalam dingin. Kita belum mati, kupandangi mata kalian yang terpejam masih bersenandung dalam mimpi, dan aku menjadi pendengar yang baik sepanjang tiga malam ini, penghangat ketika tiba malam yang sungguh datang tanpa batasan, aku hanya menyadari kedatangannya ketika kicau burung berganti lengkingan halus kelelawar.
Sesungguhnya aku ketakutan, dan aku yakin kalian tahu itu dalam terpejam.....
Aku terjaga sendirian demi menjauhkan kalian dari terkaman, atau sekedar lintah jahil menggerayangi kulit kalian yang mulai mengeras. Kita akan menunggu lagi yang terjadi esok hari, berharap jejak kita belum terinjak, hingga ada yang akan menemukan kita dalam hidup, ya...dalam hidup, karena kita selalu ingin kembali lagi ke puncak ini setiap perjalanan tahun berganti, berjalan beriringan dalam satu formasi. Kalian, yang telah membuat sakramen gelas kopi tepat di pukul dua belas kurang lima menit, bukan kopi import ataupun hasil pemilahan biji kopi dari berak binatang, hanya kopi instan saja, dan sedikit cemilan dari kantin sekolah dimana dulu pertama kalinya kita saling bertemu. Kembang api....kita pernah mencobanya, mencoba menyalakannya di tengah riuh angin di puncak ini, dan sepertinya itu hal yang bodoh sekali, jadi cukuplah kita memandangi garis langit yang tersinari bulan, bersama kopi panas dan sedikit cemilan sederhana untuk menghargai pergantian tahun yang sungguh tidak pernah mempunyai arti khusus untuk kita lewati dalam suka ria.
Sesungguhnya aku ketakutan, dan aku yakin kalian tahu itu dalam terpejam....
Sekarang sudah lewat tengah malam, dan kita belum menyalakan api untuk sekedar memanaskan air untuk kopi, kalian nampak lelah sekali, dan aku masih saja terjaga dengan satu posisi. Habel....tingkahmu semahal namamu, setiap ucap kamu saring dengan sempurna, semua nyaman bersamamu untuk sekedar berbagi keluh kesah ataupun cerita sederhana, dan kamu tersandar disana, di batang kayu yang mulai menua menyerupai batu, genggamanmu tak terlepas dari radio panggil yang beberapa puluh jam yang lalu masih menjadi harapan kita akan ditemukan. Maafkan aku sempat meragukanmu beberapa tahun lalu, aku pikir yang kamu hapal hanya lagu padamu negeri dan nyiur melambai, ternyata kau serigala penguasa jejak dalam badai. Kita pernah bermimpi bersama membangun tempat makan yang menunya semuanya berasal dari pisang, tempatnya di dataran tinggi dimana kerlip kota jelas terpandang, mungkin mimpi yang terlalu sederhana untukmu yang selalu hidup teratur sesuai alur literatur.
Fryl disana Habel, dia tetap menjaga lubang angin itu tertutupi rapat, sehingga kita tetap terjebak dalam hangat. Wanita itu juaranya tertawa, balutan baju serba ngetat nampaknya bertolak belakang dengan ledakan tawanya ketika ada orang bertidak bodoh dihadapannya, seksi....hilang seketika. Aku tahu Fryl adalah alasan terbesarmu ikut dalam pergumulan ini Habel, lama sekali waktu yang kamu butuhkan setiap pagi demi memandangi wanita itu di kantin sekolah dulu, dan baterai inspirasimupun akan penuh seharian sehingga harimu akan berjalan sempurna. Dan kini dia disana Habel, andai kamu lihat senyum Fryl tetap terselip disana di batas lelah dan keputus asaannya, sepertinya menertawakan kita yang lebih dulu melemah tanpa daya, dan sosok wanitanya melumpuhkan ego kelaki-lakian kita, dan maafkan aku aku tak bisa berbuat apa-apa untuk sekedar membuat ia menghangat dan sedikit tertawa, aku hanya mampu menjaganya dari terkaman hewan yang akan merusak sususan kulitnya yang tertata putih sempurna.
Sesungguhnya aku ketakutan, dan aku yakin kalian tahu itu dalam terpejam....
Betapa haruku luluh seketika saat kakak beradik yang jarang sekali damai dalam kesehariannya, malam ini bersama mereka saling melengkapi, menangkupi sesosok tubuh temannya yang terdiam tanpa detak ataupun desah nafas bersuara. Neza dan Putra....mungkin waktu yang dulu mengalurkan mereka menjadi manja, saling bertengkar demi memperebutkan sesuatu yang pada akhirnya akan sama-sama mereka tinggalkan, Neza lebih dulu bersinergi dalam koloni, dan Putra melengkapi setiap perjalanan kami dengan tingkah konyolnya yang sungguh menjadi warna walaupun kadang kita berpikir berulang untuk menimpalinya dengan tertawa. Seiring waktu membuat semua pribadi kian mengejar sempurna, tidak terkecuali untuk mereka, yang akhirnya saling mencinta dan menjaga, Putra kian dewasa, kadang dia terlihat lebih tua dibanding Neza kakaknya. Aku sering sekali tersenyum bangga saat memandangi aktifitas mereka berdua, seolah koloni ini yang membentuk mereka menjadi pribadi yang saling mengerti. Dan semuanya memuncak tiga malam ini, kebersamaan kalian mulia walaupun akhirnya semua berjalan pada alur yang sudah tertuliskan sebelumnya.
Sesungguhnya aku ketakutan, dan aku yakin kalian tahu itu dalam terpejam....
Tidak pernah berkurang ketakutan ini setiap malam, mungkin itu yang menyiratkan masih adanya harapan. Dan sekarang menjelang pagi datang, entah kenapa naluriku berkata ini akhir bahagia dari tujuh puluh dua jam kita bergumul dalam beku. Roti masih tersisa beberapa potong lagi, biarkan saja kita tinggalkan untuk para binatang yang selalu memberi kita nyanyian setiap malam, itupun jika memang kita akan pulang hari ini, jika tidak...roti basi itupun akan menjadi santapan ternikmat kita nanti malam. Hangat....ada hangat yang terasa pada tamu yang tak lama lagi akan datang, sinar matahari menghadiahi kita pagi nanti, orang-orang itu akan datang dan menemukan kita dalam hidup, dalam balutan daging dan kulit yang masih utuh. Dan menjelang setengah enam merekapun datang, cepatlah berpose senang kawan-kawan, agar jika foto kita terpampang di surat kabar tidak akan membuat orang tua kita di kampung menjadi khawatir, kita akan pulang teman, dan kamu tahu....ketakutanku semakin memuncak sekarang.......

Setiap puing.....
Setiap keping....
Tersusun menjadi menara indah saat kita bersama
Tempat dimana kita dapat dengan jelas memandang dunia
Kita punya mimpi.....tepat ketika langkah teriring mengiris tebing
Tawamu warna....walaupun kita tak pernah berbangga dalam sempurna
Kita tak pernah sama-sama saling menautkan rantai yang membuat kita berat berlari
Karena kita tahu kita tak akan kokoh berdiri dalam abadi
Perjalanan tahun mungkin akan terkikis perlahan
Hanya permasalahan siapa yang pergi paling depan
Teman.....aku merindu...
karena hanya itulah jalan untukku tetap dekat denganmu

Sesungguhnya aku ketakutan, dan aku yakin kalian tahu itu dalam terpejam....
Mungkin kini benar-benar kita akan berpisah dalam rentang waktu yang tidak sebentar, mereka telah datang teman, untuk menjemput kalian, dan mungkin bukan aku, tinggalkan saja aku disini hingga saatnya kalian akan kembali, jangan buatkan aku prasasti, itu akan semakin membuat aku merasa mati. Satu persatu dari kalian akan dibawa mereka bertemu matahari pagi, yang selama tiga hari tidak kita senyumi. Neza hampir meneteskan air mata saat Putra menjulurkan tangan dan memaksanya tersadar dan berdiri, dia tak juga hendak melepaskan genggamannya dari tanganku yang hampir membusuk dalam beku, aku titip salam untuk ibumu yang mungkin akan menjadi teman bercerita ibuku selama beberapa hari ke depan karena kehilanganku. Selamat jalan teman, bawalah tubuhku turut pulang, jika kopi instan itu tersaji lagi awal tahun depan...aku tidak akan lagi bersama kalian di tepi jurang memandangi bulan, aku hanya akan menjaga kalian dari terkaman hewan malam.

Aditia Kurniawan_2011
 
Copyright (c) 2010 karma sang fajar. Design by Wordpress Themes.

Themes Lovers, Download Blogger Templates And Blogger Templates.