Wednesday, December 16, 2009

semua ini tak lebih baik saat sendiri.........
sebungkus indomie bersamamu ternyata lebih nikmat dibanding klapetart yang pagi ini tersaji.............
sebungkus nescafe yang kebanyakan air ternyata mahakarya barista bersamanya......
berdesakan di angkot ternyata lebih kurindukan dibanding strada yang kini kunaiki......
lantunan I-pod tak lebih merdu dari lagu Dewa yang kau nyanyikan di sore hari.....
kalian....yang telah membentuk koalisi bernama sahabat sejati.......
mahkamah bernama berbagi hati yang kurindukan di pagi hari......
celaan yang terasa pujian bersamamu selalu ingin kutangisi......
kapan lagi........
saat mengantri bioskop dan tidak kebagian tiket adalah kebahagiaan di saat senja
malam yang akhirnya harus kita habiskan di circle K, bersama sebungkus kacang garuda
kalian para skenario terhebat di bentang dunia
mencipta cerita yang lebih indah dari film yang tak jadi kita tonton dalam sinema
kapan lagi.........
kita berjalan kaki mengitari kota hanya untuk menghemat biaya malam minggu
penyiksaan betis yang rela kujalani bersamamu
malam minggu yang tak pernah berakhir dengan marah dan cemburu
cemburu hanya milik bunga mawar yang tak pernah berarti untuk aku dan kamu
kapan lagi........
saat-saat aku menangis tersedu melihat kau terbaring sakit di dekatku
tak ada yang bisa kulakukan untuk membuatmu terbangun pagi itu
menjelang siang matamu binar terbuka lebar
ikut menangisi aku yang telah menunggumu tersadar dengan sabar
dia bilang dia bahagia....
bahagia atas aku yang tak mampu melakukan apa-apa
baginya semua detik pagi itu adalah persembahan mutiara
penghias sakitnya yang mulai beranjak mereda
kapan lagi.....
ini bukan hanya ucap tetapi doa
untukmu yang mungkin juga berdoa yang sama disana
untuk jalanan yang hening tanpa warna kita tertawa bersama
bersama satu bungkus makanan ringan tanpa merk yang rasanya paling aneh sedunia
memaknai hujan......
mewarnai pelangi....
menghitung bintang......
aktifitas ampuh saat kantong kering menyerang
kapan lagi........itu yang ingin kuulang kini....
tak ingin kuganti dengan memohon sekali lagi......
karena indah itu, ingin kunikmati setiap hari....bukan hanya sekali lagi.......

Monday, December 14, 2009

Untukmu mahluk indah bernama wanita.......
waktu itu langit cerah seperti hari ini
waktu itu juga aku bahagia seperti ini
waktu itu juga aku menggenggam puisi ini seperti hari ini
namun hari itu jelas aku tak tersenyum seperti hari ini
tubuhku yang tiba-tiba terasa kecil di hadapanmu bercampur takut yang teramat sangat
senyum hari itu hanya untuk membuatmu merasa bahwa kau sangat istimewa
aku pernah bahagia......dan itu bukan cerita
dan hari inipun aku bahagia.....dan kupikir tak perlu kusampaikan padamu lewat cerita
kau pernah memberi bahagia bagai tunas yang menemukan inang dimana ia akan berkembang
kau pernah memberi nyawa kepada mahluk bernama mimpi
mimpi yang sama berulang setiap malam datang
nafas pertama yang kau hembuskan dengan anggukan
nafas yang kuhirup tanpa keinginan untuk menanyakan alasan
alasan kenapa mimpi itu harus hidup untuk kita
wanita.......
dulu ada ribuan rencana......
untukmu.....untukku....untuk waktu yang selalu kumulai dengan kumandang namamu
untuk lembar puisi yang tak sempat juga kuberi
untuk seribu alasan yang kuharap kau akan mengerti
alasan yang justru membuat semua rencana itu runtuh hingga kini
wanita......
aku dulu pernah bertanya apakah kau bahagia.....
bahagia tanpa selimut kaca yang membuat seolah aku dekat padahal tak pernah ada
tak pernah ada dalam setiap ucap engkau berdoa
bukan wujud yang kau ingini setiap engkau bermimpi
yang setelah ribuan malam akhirnya waktu mengijinkan aku untuk mengetahui
wanita.......
waktu berubah sudah
semua resah kini telah bertransformasi menjadi pasrah
semua amarah telah berevolusi menjadi rasa bersalah
aku sendiri......yang telah menimbun jujur itu sekian waktu
hingga ia terlalu menggunung dan runtuh tepat di hadapanku
tepat saat kuputuskan aku akan selalu menghitung bintang untukmu
yang aku tahu.... tak pernah aku akan tahu berapa banyak itu
hingga aku punya jawaban jika kamu tanya sebesar apa perasaan itu untukmu
yang akan kujawab sebanyak bintang....yang tak kutemukan jumlahnya hingga kuhitung berulang-ulang
wanita........
hari ini saat paling lantang jujur itu berkumandang
aku rindu......rindu yang tulus untukmu
karena rindu ini tak menuntut kamu untuk tahu.....
tak memintamu untuk meredakan dengan hadirmu di pelupuk mataku
rindu itu hanya meminta ruang untuk menunjukkan padaku dia ada
genggam tangan ini akhirnya terlepas dengan senyuman untuk pertama kalinya.......
genggam yang dulu pernah menentang dan mengekang.....
hingga kau tak pernah bisa menunjukkan kemana sebenarnya engkau ingin terbang
wanita......
lembar puisi ini ternyata bukan untukmu
kata-kata dan semua pinta itu ternyata hanya untukku
karena hati ini sungguh tak pernah tersentuh olehmu sama sekali
jika memang harus ada yang terharu......
itu adalah hatiku
yang tak pernah merasa bahwa puisi itu telah begitu setia bertahun menemaniku
yang akhirnya kutitipkan pada bumi yang akan menerbangkannya kemanapun ia pergi
kata-kata cinta yang tertulis disana sesungguhnya hanya pertanda......
bahwa kehilangan seperti saat ini akan tiba
entah karenamu atau tidak, ia tercipta....
atau karena diriku sendiri yang telah memberikan ruang kosong untuk ia ada
terima kasih wanita.......
karena sampai saat ini kau tak pernah menuntut tahu apakah puisi itu pernah ada
hingga aku bisa berkata bahwa rindu itu ada semata karena kehilanganmu
bukan karena kata-kata pujangga yang tak sempat kuberikan sejak hari itu.

Friday, December 4, 2009

1. http://bursa.fotografer.net/detilBarang.php?id=41531
2. http://bursa.fotografer.net/detilBarang.php?id=47340
3. http://bursa.fotografer.net/detilBarang.php?id=32411
4. http://www.facebook.com/album.php?aid=121508&id=530712718#/photo.php?pid=2109068&id=530712718
5. http://bursa.fotografer.net/detilBarang.php?id=48714
6. http://bursa.fotografer.net/detilBarang.php?id=46171
7. http://bursa.fotografer.net/detilBarang.php?id=48751
8. http://bursa.fotografer.net/detilBarang.php?id=62645

Monday, November 30, 2009

Pagi-pagi buta...Kupikir datang pertama,tapi kenapa Parjo dan dua orang temannya sudah dandan rapi di pos depan,ah..Jo kamu mah ga menghargai jerih payahku bangun pagi,dia tanya kenapa gitu mas?Aku jawab karena dia datang lebih pagi,padahal kupikir aku datang paling pertama,dia jawab,yaiya lah mas,yaiya apa si Parjo mah ih suka berani ngejawab sekarang,pikasebeleun(bahasa sunda:artinya nyebelin),iya lah mas,saya kan ga pulang dari semalam mas jaga keamanan,ngapain atuh(bahasa sunda:artinya dong) ga pulang,kamu tuh coba lah jangan terlalu nurutin kata si bos,dia suka nyuruh yang tanpa alasan,bener gitu mas jadi saya boleh ngelawan si bos,itu kata si Parjo,kalo kata saya,ya ngga lah jo,kan saya cuma bercanda,nanti kamu dipecat,istri kamu mau masak apa,mikir atuh jo,itu kata saya,kalo kata Parjo lagi,ah kok jadi saya yang serba salah ya mas,saya jawab,bercanda lah jo,kamu mah ih katro(bahasa gaul:artinya nurus tunjung)suka serius wae(bahasa sunda:artinya aja).
Jo,kumpulin KTP kamu sama anak buahmu semuanya ya,buat apa mas kata Parjo,buat dilaporin ke polisi jawab saya,loh apa salah kami gitu mas kata Parjo tambah bingung,soalnya kamu banyak tanya,udah kumpulin sekarang jo,saya mau buat pendataan pegawai. Parjo nurut,aku pura-pura buka laptop mau ngetik data keamanan,padahal mah buat apa kalo dipikir-pikir,Parjo nurut aja kayak si pleki kalo dikasih tulang,duduk dia disamping saya,liat-liat laptop walaupun bingung,padahal saya lg buka facebook,update status tentang Parjo pake bahasa sunda biar si Parjo ga ngerti kalo lagi diomongin.
Kasian si Parjo ampe jongkok-jongkok begitu menonton aku di depan laptop, lalu dia mulai perbincangan menarik pagi itu, begini kira-kira dialog tersebut....
Si Parjo : “ Kok ada nama aku disitu mas? “ katanya sambil menunjuk layar laptop.
Si Aku : “ Nah itu dia.” Kataku sambil menunjuk kopi.
Si Parjo : “ Itu, mas nulis namaku disitu” kata dia lagi sambil menunjuk laptop.
Si Aku : “ Oh kamu kan mau didaftarin jadi salah satu calon pegawai teladan, nanti si bos bawa jalan-jalan ke Bali “ Kataku sambil menunjuk roti.
Si Parjo : “ Wah masa sih mas ?”Sekarang Parjo kelihatan bingung mau nunjuk apa.
Si Aku : “ Iya. Tapi masalahnya kan kamu ga punya paspor Jo?!” Aku coba untuk menunjuk awan tapi Parjo kelihatan ga peduli.
Si Parjo : “ Kok ke Bali perlu paspor mas kayak keluar negeri ?” Si Parjo nunjuk tangan tanda bertanya.
Si Aku : “ Ye....masa kamu gatau kalau Bali itu bukan Indonesia.” Sekarang aku tunjuk hidung Parjo biar dia tambah bingung.
Si Parjo : “ Wah pantesan mas.....berarti yang ngebom Jakarta waktu itu orang Bali dong mas ya, dia dendam sama orang Indonesia yang waktu itu ngebom Bali?!” Parjo menunjuk atap pos satpam seperti ingin menunjukkan bahwa ia teringat sesuatu.
Si Aku : “ iiihhh....kamu nuduh Jo ah, aku ga ikutan” Kata kita saling tunjuk sambil tertawa lumayan keras.
Aku bertanya apakah Parjo sudah mengumpulkan semua KTP anak buahnya yang ternyata ada sebanyak empat orang, setelah dia berikan KTP keempatnya aku pura-pura mengetik lagi agar terlihat cerdas dan berwibawa di hadapan mereka, selesai proses sandiwara itu dalam sepuluh menit. Lalu kukumpulkan mereka berempat dengan posisi siaga laksana guru mengabsen muridnya, kupanggil satu-persatu nama yang kutahu dengan mimik muka yang sengaja kuubah-ubah agar mereka merasa mereka punya kesalahan yang berbeda-beda, padahal aku tahu salah mereka hanya satu, pake tali peluit di bajunya, tapi peluitnya tak pernah mereka bawa, bahkan ada yang hilang, oh sungguh tak punya rasa memiliki mereka. Tinggal satu KTP, namanya aku sama sekali baru melihat, aku bingung, tapi aku segera cerdas kembali, kupanggil parjo, aku tanya Hatta Weilalang itu siapa, Parjo bilang kalau itu dia. Aduhai.....alangkah bingung dan kagumnya aku, ternyata nama Parjo itu bagus sekali, aku jadi gaenak sama Parjo, aku bilang sama dia kenapa dia mau aja aku panggil Parjo, dan dia menjawab, “ Ya mas duluan kan yang manggil gitu, saya sih iya-iya aja.” Ya ampun Parjo, kenapa juga dia tidak membantah atau membetulkan apa yang saya panggil, toh Remidas aja waktu aku panggil Siti dia protes, Parjo bilang dia gaenak, karena saya atasan, ah Parjo, kamu mah sama atasan aja gaenak, apalagi sama bawahan, atau daleman pasti tambah gaenak lagi, apalagi kalau dalemannya berenda-renda begitu kan...mmmm....ya sudahlah, bagus juga kamu ga protes Jo, ga kebayang kalau aku tahu dari awal namaku Hatta Weilalang, repot Jo, nanti aku harus manggil kamu dengan awalan Bung.
Si Aku : “ Jo.” ( sambil tersenyum licik)
Si Parjo : “ Iya mas? “ ( sambil tersenyum simpul )
Si Aku : “Lusa saya jadi pergi Jo” ( berusaha tetap senyum )
Si Parjo : “ Kok mendadak mas?” ( tetap juga tersenyum, walaupun agak bingung)
Si Aku : “ Iya Jo, saya harus lulus. Kamu sedih ga Jo?” ( mulai untuk berusaha ga senyum, biar dibilang serius )
Si Parjo : “ Dikit mas. Jadi ga ada yang nemenin saya begadang jaga malam lagi dong mas? “ ( yang ini mah sumpah muka si Parjo aneh banget )
Si Aku : “ Kan kita bisa ngobrol online Jo “ (berusaha untuk kelihatan tenang dan ga ada apa-apa)
Si Parjo : “ Emang di pos satpam ada internet gitu mas ?” (mukanya semakin kelihatan aneh)
Si Aku : “ Oh iya ya, gapapa lah Jo, aku kan bisa maen kesini sekali-kali” ( coba untuk tersenyum lagi )
Si Parjo : “ Iya mas, hati-hati.” ( Muka Parjo mulai normal kembali )
Si Aku : “ Jo” ( tanpa ekspresi )
Si Parjo : “ Iya mas? “ ( dengan suara berwibawa sebagai panglima satpam.
Si Aku : “ Kopi lagi dong Jo “ ( senyum memelas )
Si Parjo : “ Siap “ ( sambil tersenyum lebar )

Sunday, November 29, 2009

dia yang memberi sayap....
dia yang pernah menabur harap.....
dia nadi yang justru kini menawarkan aku mati......
dia luka, yang tersiram tetes darah hingga basah.....
luka yang justru dalam sunyi kubawa berlari....
lukanya ternyata imaji.....
membuat langkahku laju penuh fantasi.......
perih itu terasa indah di bawah gemintang....
gemerlap merah luka terasa warna.....
bersamanya sakit ini terasa fana.....
ia tinggalkan teritori hati hanya untuk mengijinkannya terisi pasti.......
bukan hanya terisi mimpi yang selama ini memaksanya untuk meyakini......
dia luka.....perihnya tak hendak kuingkari
namun ternyata ia tak membuatku mati......
ia hanya memaksaku untuk tak bisa lagi berlari dengan dua kaki.....
sebelah sayap yang rapuh kujadikan tandu....
hingga kutemukan lg tumpuan lemahku yang baru.....
untukmu.......
yang pernah membentang dua lengan dan membawaku terbang.......
kususun bintang untuk penanda jejak dmana aku pernah datang....
tapi kau tak akan pernah tau kemana arah aku berlari.....
karena kelam arah itu hanya bisa kupandangi sendiri....
sungguh andaipun itu kau ketahui......
kau tak juga akan peduli

Saturday, November 28, 2009

menghukum dengan kebaikan.....bukan untuknya....tapi untukku.....1095 hari yang lalu aku utuh....tapi bentangan waktu itu urung membuatku sempurna.....ia tak bahagia....bahkan tak sempat kututurkan cinta setiap detik terakhir kuantarnya tertidur.....maaf bukan solusi.....aku hanya coba mengerti dia lewat intuisi tanpa arti....dia kuberi ruang untuk bernafas...bukan lewat hitungan hari, tapi hitungan dimensi yang kita bangun sendiri......wanita, untukmu kuhantarkan salam, kirimkan lagi kembali untukku pagi nanti....saat satu gelas kopi mengajakku berlari, mencari kamu lagi di tumpukan cerita hari.
Karma sang fajar membuatku mengerti tentang kehilangan.....menghela dalam ketiadaan.....saat jarak itu menyempit, justru membuat aku samar melihatmu.....jangan ada sentimentil moment lagi, aku lagi malas berpuisi.....puisi semakin membuatku tak berarti.....oh itu tukang serabi.......jangan hari ini, aku menunggu ia yang rela menyuapiku lagi......

Wednesday, August 19, 2009

Kembali bersama bintang, kembali bersama segelas Moccachino...tapi tidak bersama Jani, dia di sampingku, bukan Starlet hitam yang biasa menjemputku, maafkan aku setia, aku akan kembali, sesaat setelah aku tahu, wanita di sampingku tidak ingat ulang tahun mamaku, cinta selalu kembali pada yang menumbuhkan ia di padang gersang, bukan yang ingin memetik bunganya di kala semi datang.
Jam delapan malam saat ini, langit cerah, bintang sedang bermain di dimensinya sendiri, aku masih bersamanya, menghabiskan malam dan setumpuk cerita lalu yang tak habis kuurai dalam satu kitab kenangan. Seakan besok hanya akan ada harapan dan mimpi atas pertemuan, sehingga malam terakhir aku di Jakarta dimintanya tuntas, tak ingin berbagi walaupun hanya dengan nyamuk malam yang singgah sesekali untuk menunjukkan bahwa ia ada.
Aku pernah bersamanya dulu, saat-saat yang genting pada pencarian adik-adik kelasku yang hilang di Semeru, justru menjadi awal pencarian arti rasa yang berbeda setiap ia ada, bingung, rindu saat ia tak ada, cemburu saat waktuku dengannya terambil, ya…mungkin aku pernah sayang padanya, untuk beberapa saat saja mungkin, setelah kembali ke dunia kerja dan ramainya kota, hilang sudah pertemuan yang dulu selalu coba untuk dihadirkan berdua.
Blok S sudah dipadati oleh muda-mudi, tapi itu tak juga membuat kita peduli, aku pulang besok, jangan tangisi Selviana Khairunisa, bukankah kamu yang memilih untuk menjadikan ceritamu ini iklan di sela-sela sinetron cintaku bersama Jani. Satu gelas kopi, satu piring klapetart lagi, suasana yang kini asing bagiku, bersama wanita di sampingku aku merasa hidup ini lengkap, sisi baik dan burukku menyuarakan keberadaanya atas aku.
“ sayang lagi apa? Jadi kan pulang besok? Mau di jemput ga di bandara?” ada masuk satu pesan singkat ke ponselku, apakah itu dari wanita yang sedang asik mengaduk gula di gelas kopinya di hadapanku? Tentu saja bukan, karena dia cukup berbisik untuk menanyakan apakah aku besok pulang.
Satu pertanyaan dari Jani kujawab dengan jujur, ya aku memang akan pulang besok, dengan penerbangan terakhir, tak perlu kau menjemputku, kenapa…?....bukan aku sombong, tapi itu berarti kau harus pulang larut malam. Pertanyaan kedua kejujuranku mulai memudar, “Sayang lagi dimana?”, dan kujawab aku sedang di kamar mandi, dari tadi siang sakit perut, “Emang ga ada orang disitu buat nitip beli obat?”, aku jawab tidak ada orang sama sekali, terus Via apa, bungkus rokok?!?!...Pertanyaan terakhir sangat berat kujawab,”Sayang ada rencana keluar ga malam ini?”, lama aku berpikir, tadinya mau aku jawab ada rencana mau ke markas pemadam kebakaran, tapi nanti dia tanya mau ngapain, masa kujawab beli martabak telor, malah runyam urusannya, jadi kujawab saja tidak ada rencana kemana-mana, dan akhirnya tiga kali sudah aku berbohong, sungguh keterlaluan, padahal Jani selalu mencoba untuk jujur kepadaku, bahkan untuk mengabarkan bahwa stocking barunya jebol kena rantai motor, ada-ada saja.
Satu setengah jam sudah, aku resah, kenapa Via tak juga mengajakku pulang, kentang goreng berulang, percakapanpun memanjang, terus….terus…..dari Helen yang dapat pacar baru, Andri yang berencana menikah, Dedi yang isterinya baru melahirkan, hingga cerita teman kami Nuraini yang baru bercerai….naas….tapi tak juga menyurutkan Via bercerita sambil terus menikmati jengkal demi jengkal wajahku, tersadar ia, segera bangun dari duduknya, syukurlah, ia ternyata masih ingat waktu, walaupun ternyata itu karena dia melihat hanya tinggal meja kita yang belum dibereskan pelayan di kafe itu, pulanglah kita…..dengan motor matic putih dia, kenapa ga pakai mobilku, karena mobilku di Pontianak, alasan yang logis kan kenapa aku mau naik motor lucu itu. Tapi kenapa arahnya berlawanan dengan penginapanku, dia mau membawaku ke rumahnya, oh….tidak….tapi iya dia serius membawaku ke rumahnya, aku takut, takut dibawa menginap, terus terjadi sesuatu,…”Jangan Vi….” Aku segera menyampaikan hasrat yang terpendam sepanjang jalan tadi, “ Aduh….apa sih? Tolong dong, ambil bukunya dan aku langsung antar kamu pulang ya, kamu butuh itu kan buat bahan pengantar tugas akhirmu…..?!” Wah, malu sendiri jadinya, maaf ya Vi.
Malam larut, jam setengah dua belas sudah, gerobak makanan tampak beriringan tanda selesainya tugas hari ini, malam dingin, tangan Via erat menghangatkan dua sisi pinggangku. Jarak kita memang terbentang jauh Via, tapi selalu ada yang membuat aku teringat kamu, ceria kamu, marahnya kamu melihat orang menyalip motormu, burger tempe yang selalu kau buatkan untukku saat aku berkunjung ke rumahmu ketika kuliah dulu, kamu sempurna, bahkan terlalu sempurna untuk cerita hidupku yang penuh cela. Perempatan jalan kulewati satu persatu, jauh lebih banyak dibandingkan dengan perempatan jalan yang kulalui dari rumah hingga tempat kerjaku di Pontianak sana, berarti warga disini lebih parah tingkah lakunya di jalan, sehingga perlu diingatkan di setiap ruas jalan yang mereka lalui, mungkin?!
Lampu jalanan memberi irama, indah….mendayu-dayu seiring motor yang kutunggangi berkelak-kelok mengikuti tawa kami yang tanpa henti sejak rumah Via tadi. Aku bahagia, sisakan sedikit untuknya, untuk wanita yang rela menungguku untuk sesuatu tanpa wujud, harapan tanpa ujung, bahkan untuk sesuatu yang aku tahu ia tak pernah yakini sama-sekali. Aku fana atasmu, tak pernah aku mencoba hadir saat kau butuh, aku tinggalkan kamu bersama kota yang penuh cerita ini saat selesai kutebar benih harapan yang pernah bertunas senyum di setiap pagimu. Ini bahagia wanita, mohon kau simpan saja, aku minta sedikit untuk kubawa, hingga aku tetap tersenyum setiap kusadar bahwa kau ada.

Untukmu yang selalu menghangatkan pagiku……
Aku tersenyum atas awal yang selalu indah bersamamu
Untuk detik yang tak pernah hampa atas arti dan berlalu…
Selalu ada manis gula yang menjadi cerita
Selalu hadir pahit kopi yang menjadi puisi
Menjadi dua sisi hati yang saling berpelukan dan menari
Untukku……
Untuk waktu…….
Untuk cerita awal hariku yang kumulai dengan kepalan tangan dan sejuta haru…..

Waduh…….jam delapan, dan itu berarti aku terlambat lagi….lariiiiiii, kemeja kuraih, ntah dicuci kapan aku tak peduli lagi, celana panjang yang kemarin belum sempat kukemas kupakai lagi, kugosok gigi, cuci muka seperlunya, biar mandinya nanti saja di kantor, tinggal kubilang saja kan sama mba Vay kalo aku mau buang air besar, jadi kan punya waktu untuk mandi di kamar madi OB, memangnya Vay selalu bertanya aku mau kemana, bahkan untuk bertanya apa yang hendak kukeluarkan di kamar mandi?! Ga sih….hanya jaga-jaga saja siapa tau wanita cerewet yang tak pernah lepas dari bolpoin biru dan buku absen itu bertanya padaku.
Kuburu segera garasi sampingku, untunglah kunci motor itu menggantung tanpa harus kucari, melaju aku di jalanan, aku bersyukur jalanan tidak sepadat kota metropolitan, sepuluh menit saja, dan aku tiba di tempat kerja, bersamanya lagi, bersama Parjo yang sedang memimpin anak buahnya para penegak keadilan dan pembela kebenaran di kantorku itu untuk apel pagi, dasar Parjo, dia pidato layaknya soekarno tapi dengan logat yang tentu saja membuat wibawanya justru terlihat lucu, dia memandangku heran….lama….lama sekali…tapi biarlah, kutinggalkan dia disitu, di atas lapangan beton yang berwarna-warni itu, dan menuju aku ke ruanganku di lantai atas.
Dan……kok sepi ya, di depan tadi juga tak kulihat teman-teman kantorku bercokol, tapi biarlah, mungkin mereka sedang bertamasya, mensyukuri aku yang akhirnya datang terlambat lagi, jahat sekali mereka tidak mengajakku, awas…..suatu saat pasti kubalas.
Kubereskan mejaku, kubuat segelas kopi, kusajikan bersama Axl rose lagi dari dalam PC, siap kumulai hari kerja dengan tumpukan gambar yang harus kuselesaikan hari ini….tanpa mandi. Aku kesepian, tapi biarlah, setidaknya tak kudengar lagi alunan gosip Yuni shara dan Raffi, ataupun sinopsis episode baru cinta fitri, aman nyaman membuat tangan ini berlenggak-lenggok tanpa beban diatas keyboard komputerku.
Satu jam tiga puluh lima menit sudah waktu sendiri kulalui, bosan juga ya, ternyata orang-orang menyebalkan dan menyenangkan harus hadir beriringan untuk menciptakan keseimbangan, lalu aku coba menghubungi mba Vay hanya untuk sekedar menanyakan apakah dia tahu dimana kira-kira Parjo menyimpan pentungannya, lho untuk apa? Tapi mba Vay lekas membalas pesanku, hebat sepertinya dia tahu pertanyaanku, “ Heh dodol, kamu lagi dimana?” Wah….kok tiba-tiba mba Vay perhatian sekali padaku, jangan-jangan dia menyimpan hasrat terpendam padaku, “ Di kantor mba, kantor kita tercinta, benar kok mba, masih di jalan Kota baru tadi aku lewat, plang nama depan tetap sama, tadi juga ada Parjo di depan, dia belum mengundurkan diri dari kantor kita kan mba, jadi secara sistematis sih sepertinya saya tidak salah masuk kantor bukan?” Lama sekali mba Vay tidak menjawab, mungkin bingung, kasian dia ,” Orang gila dasar “ Lho, ada apa ini, ah biarkan saja lah, memang dia biasanya begitu juga.
Tak seberapa lama segerombolan orang datang, sudah terdengar gemuruh sejak mereka menaiki tangga tadi, wah…..jangan-jangan orang-orang yang mau demonstrasi, bagaimana aku menghadapinya sendirian, tanpa teman, tanpa pegangan, tanpa mesin penyemprot air, tak adil mereka, tapi horeeeee…….ternyata itu adalah teman-temanku datang, selamat datang, kusambut mereka dengan gembira, dengan senyuman lebar dari wajahku yang notabene belum mandi, mereka cemberut, tapi ada yang tertawa-tawa, kenapa mereka, apakah ada bau yang aneh keluar dari badanku, sepertinya tidak, dan memang benar tidak demikian, ternyata ada satu hal yang terlupakan hari ini, kau tahu apa? Ya….aku ulang tahun hari ini, mereka semua yang tergabung dalam koalisi yang bernama teman-temanku berencana melakukan pesta kejutan pagi-pagi di ruang tamu rumahku, dan kau tahu apa yang terjadi, aku pergi secara terges-gesa dari garasi rumah dan langsung melaju dengan sepeda motor menuju kantor tanpa menoleh mereka sama sekali, dan….buyar, rencana merekapun tidak berhasil, kasian sekali bukan….hahahahahaha…….ya sudahlah, yang penting mereka selamat sampai kantorku, oh lihat itu mba Vay bertolak pinggang sambil memelototiku, nampaknya dia kesal, ada pak Gilda juga ikutan, jadi membuatku semakin terharu, pak Marwan tak henti-hentinya tertawa sejak tadi, hesti yang sedari tadi memegangi kue yang sepertinya untukku mulai kelelahan dan meletakkan kuenya di mejaku, suara semakin riuh, seraya mereka menyalamiku untuk memberikan ucapan selamat ulang tahun sambil terus membahas kejadian aneh hari ini, terima kasih teman-temanku, ternyata mereka tidak lupa ulang tahun seperempat abad umurku.
Kupotong kue itu kecil-kecil, kusuapi teman-temanku satu-persatu, sambil kutundukkan kepalaku sedikit sebagai tanda permintaan maaf, semuanya tidak menolak kue yang kusuap ke mulutnya, bahkan pak Gilda sekalipun, orang terakhir yang kusuapi, pak Marwan bosku tercinta, yang mengatur gaji yang layak kuterima setiap bulan, setelah kue itu habis ia telan, ia bisikkan sesuatu, “ Jangan lupa motornya Helmi dikembalikan ya, dia hampir panik tadi kalau motornya hilang, tapi setelah tahu mobilmu masih di garasi, dan mendengar kamu sudah di kantor ia tenang kembali dan tertawa-tawa sendiri.” Oooooohhh….ternyata itu motor Helmi, aku baru sadar kalau sudah tidak punya motor lagi, pantas rasanya tidak kenal suara motor yang kutunggangi tadi, dasar Helmi, saking ingin memberi kejutan padaku sampai lupa mencabut kunci motor dari lubangnya. Segera saja kukembalikan kunci itu padanya, dan kubisikkan padanya kalo kapan-kapan dia mau meminjam mobilku boleh lah….hehehehe…..

Saturday, May 23, 2009

Satu bab tugas akhirku sudah selesai, cepat bukan….bukan lah. Jakarta panas, hampir mirip Pontianak, tapi di Pontianak tidak bau sampah dan knalpot, tapi aku belum berniat untuk segera pulang ke Bogor, ada urusan penting yang harus aku selesaikan dulu hari ini, penting sekali, apa itu….potong rambut tentunya, baiklah mari kita melangkah ke salon.

Bangunan seksi kokoh berdiri diantara riuhnya suara laju kereta dalam kota dan anak-anak kecil yang sedang menyulap paku beton ukuran besar menjadi obeng negatif, loh bagaimana caranya…?...Ya, tentu saja dengan meletakkannya di atas rel kereta api saat kereta akan melintas, setelah kereta berlalu…abrakadabra….jadilah obeng negatif, untuk apa alat itu bagi mereka, entahlah, aku belum sempat melakukan penelitian atas itu. Dan aku sudah sampai juga di bangunan aneh itu, kelam, banyak grafiti yang entah maksudnya gambar mahluk apa, tapi yang pasti seram, walaupun kadang terlihat lucu, kalau aku bilang ini studio tatto sebenarnya lebih cocok, beberapa orang laki-laki dan perempuan yang didaulat menjadi karyawan disitu bertampang sangar, telinga penuh tindikan, lengan tattoan, ngomong sembarangan, idung meler ingusan, jalan ngesot sambil pegang kaleng susu bekas sambil nyanyi kangen band…..serius??? Tentu saja yang tiga hal terakhir itu tidak, tapi benar tampang mereka sungguh tidak cocok dengan profesi yang disandangnya, harusnya yang mereka pegang itu gitar listrik, minimal botol minuman, tapi apa kau tahu apa yang ada di tangan dan saku belakang celana mereka….ya, gunting cukur dan sisir, hebat bukan, mereka berlima sepakat mendirikan sebuah salon yang entah disengaja atau tidak sungguh jauh dari image kandang para wanita setengah tiang yang punya perbendaharaan bahasa sendiri yang hanya kelompok mereka saja yang tahu, tiga orang perempuan dengan umur mungkin tidak jauh beda dengan umurku, dan dua orang laki-laki kolektor besi di hidung mereka yang siap melayanimu di kursi keramas, dan tenang saja, mereka berdua tidak akan menggerayangimu sambil ngomong, “ Pulang kerja mas….cape ya…mau eyke pijit lehernya….?” Walah, buang jauh-jauh pikiranmu tentang itu.

Dan salah satu pekerja wanita disitu mulai memasangkan kain berwarna hitam di badanku, helai demi helai rambutku selesai dieksekusi, dia tanya mau model rambut apa, aku bilang terserah, dia nampak bingung, kasian aku melihatnya, lalu aku beri petunjuk lagi padanya untuk memotong rambutku seperti laki-laki pada umumnya, dengan pribadi mempesona, mengeluarkan aura berwibawa pada para wanita, memberi kesan rapi sekaligus tetap trendi, apakah itu cukup menolong wanita itu….tentu saja tidak, dia malah makin bingung, ya sudah aku bilang dia untuk merapikan saja rambutku sedikit lebih pendek.

Selesai sudah rambutku dirawat hari itu, sebelum aku melangkah keluar salah satu perempuan disitu mengahmpiriku, Astria namanya, darimana aku tahu, karena dia teman SMA aku dulu, ia bisikkan sebuah pesan padaku, ada seseorang yang ingin bertemu denganku di Blok S nanti malam, seorang wanita yang beberapa bulan ini memberi cerita lain di hidupku, hubungan terhalang jarak dan tentu saja terhalang oleh status kita berdua yang tidak memungkinkan kita untuk melanjutkan kisah ini menjadi prosa baru berjudul "bahagia selamanya".

Tuesday, May 19, 2009

Pelabuhan tua…aku jatuh cinta

Teramat sangat tanpa terkata

Kau menyambutku penuh warna

Warna jingga percikan air kunikmati

Warna tawa pekerja keras kurenungi

Ini sungguh indah….mohon jangan disanggah….

Aku akan terduduk hingga redup memeluk langit

Hingga dingin meredakan segala sakit

Aku tak ingin rindu…

Rindu padamu….

Karena rindu…berarti aku kehilanganmu

Suara burung riuh diatas pantai Ancol, sudah lama aku tak melihatnya, mirip pelabuhan laut di salah satu kota di Kalimantan. Laptop di pangkuan, siap menerjemahkan lagi isi otak yang masih tersisa entah berapa potong lagi, terlalu usang karena kuforsir pemakaiannya untuk bekerja delapan belas jam sehari, lima jam sehari untuk bermimpi, dan satu jam sehari untuk satu exemplar Koran dan secangkir kopi setiap pagi, ini indah…maka dari itu, mari kawan kita cicil tugas akhirku lagi. Duduk berjam-jam di kursi malas, tanpa sadar ada anak kecil yang sedari tadi berdiri di hadapanku, menatapku aneh, seakan-akan menginginkan sesuatu dariku, ada apa kawan, kamu mau makan, atau mau belajar pakai laptop, atau mau numpang duduk di sebelahku, atau mau tanya padaku jam berapa kapal laut menuju Wamena lewat, aku tak tahu kawan, aku juga bahkan tak tahu apakah kapal laut dari Tanjung Priok menuju Wamena lewat ke pantai Ancol…..” Semir Sepatu bang?!” Ooooh…ternyata dia hanya mau menawarkan jasa semir sepatu padaku, bolehlah….tapi tak usah pakai buka sepatu ya, aku malas buka dan pakai lagi.

Nampaknya anak itu sangat menikmati setiap tahap yang dikerjakannya, tak terdengar suara, hanya sesekali ia mencoba mengajak aku mengobrol, tapi tak terlalu sering karena melihat aku yang sedang serius didepan laptopku, kasian dia, mungkin dia pikir aku sedang mengerjakan pekerjaan serius di laptop, padahal aku sedang main game, biarlah dia tak usah tahu…malu.

Kembali aku ke tugas akhirku, aku ketik huruf demi huruf, lalu jadi rangkaian kata, menjadi kalimat demi kalimat, dan setelah selesai beberapa lembar kuketik, sepatuku selesai disemir….darimana aku tahu??? Tahu dong, soalnya anak tadi sudah berdiri, tak mungkin kan tangannya cukup panjang untuk mencapai sepatuku sambil dia berdiri, tapi mungkin saja dia pegal terus berdiri dulu sebentar, tapi aku yakin sekarang kalau sepatuku sudah selesai, karena anak itu membereskan kotak kayu berisikan peralatan menyemir miliknya, aku menanyakan padanya berapa aku harus membayar, dia bilang terserah, aku jadi bingung, aku tanya dia kalau kubayar lima juta bagaimana, dia bilang jangan nanti dia pingsan…hahahaha…polos sekali dia, nanti ya aku akan menilai dulu pekerjaanmu, sehingga aku objektif untuk menentukan tarif yang pantas buatmu. Aku melihat ke arah sepatuku, Walaaah… kenapa sepatuku jadi warna hitam, bukannya sepatuku warna coklat, kapan aku beli sepatu warna hitam, aku tanya sama anak itu apakah sepatuku tadinya berwarna coklat, dia bilang hitam, aku tanya apakah dia berani sumpah, dia bilang berani, tapi aku bilang tak perlu nanti takut dosa main sumpah-sumpahan. Atau mungkin semir dia bisa merubah sepatu coklat jadi hitam, dia hanya tertawa….waah, berarti serius dari tadi aku pakai sepatu hitam, terus ini sepatu hitam punya siapa, jangan-jangan ini punya teman kantorku, tertukar waktu di mobil kemarin. Itulah makanya, aku terlalu sering pakai sepatu tanpa tali, jadi tak sering kuperhatikan apa yang kupakai, bahkan aku pernah memakai sepatu yang berbeda pasangan tanpa sadar. Tapi ya sudahlah, nanti aku telepon temanku siapa kira-kira yang tertukar sepatu, dan sekarang aku harus membayar jasa anak itu, aku keluarkan uang sepuluh ribu, dia tanya apa harus dia beri kembalian, aku bilang tidak usah, anggap saja ini sebagai permintaan maafku karena sudah menuduhnya tadi, dia bilang terima kasih lalu pergi meninggalkan daku sendiri.

Cinta bukan rangkaian kata

Cinta itu rangkaian doa

Bersamamu doa itu nyata

Mengalir di setiap jengkal langkah

Menaungi dalam setiap lelah

Aku lemah……maka papah aku dengan doamu

Bimbing aku dengan cahayamu

Hingga kutemukan arti cerita ini berganti

Ditanganmulah wanita……

Lahir cerita cinta itu setiap hari

Tersaji di sarapanku setiap pagi

Hingga aku tulus menuliskan bait demi bait kisah hari ini untukmu

Untuk kau selesaikan akhirnya menjelang tidurmu

Hingga aku sadari penuh cela dalam cerita hidupku

Selasa pagi, aku tidak terlambat….terimakasih Ya Allah, akhirnya aku terlepas dari karma kaus kaki beda warna karena buru-buru berangkat beraktifitas. Jam setengah delapan sekarang, berarti satu setengah jam menjelang pesawatku terbang, lho…memangnya aku mau kemana? Ke Jakarta dong pastinya, aku ada rapat di Bogor dengan klien besar, entah dia butuh data desain bangunan tradisionalku untuk apa, jangan-jangan dia mau membajak, wah….lebih baik aku tidak jadi pergi, tapi aku terlanjur menginjak gas mobilku, terlanjur sampai ke kantorku, terlanjur parjo mengantar aku ke bandara karena tidak mungkin mobilku ikut naik ke pesawat( Untuk diketahui bahwa Parjo itu orang Dayak walaupun namanya nampak seperti tukang gudeg di Malioboro, dia baik, dia kepala keamanan di kantorku, dia selalu ingin ikut kalau aku pergi kemana-mana, kadang-kadang bikin repot, kadang-kadang bikin senang, kadang-kadang bikin perahu-perahuan dari kertas, kadang-kadang bikinkan aku kopi pahit sekali setiap pagi, kadang-kadang tanya aku kenapa datang terlambat, sekarang dia pakai baju serba hitam, seram seperti bodyguard saja ). Aku mengajak Parjo berhenti dulu untuk makan, karena sekarang masih jam delapan kurang sepuluh menit, berarti masih ada waktu untuk sarapan dulu, aku ajak Parjo, dia mau, dasar Parjo, aku kira dia akan menolak, tak apalah….kan besok dia tak mungkin aku ajak makan bareng lagi, soalnya aku kan di Bogor, kecuali Parjo kangen makan pagi denganku dan menyusul aku ke Bogor, jangan Parjo…nanti kamu tersesat, aku susah mencari orang sepertimu lagi.

Aku sudah di bandara, menjelang naik pesawat, aku melangkah menuju pintu masuk, tapi berhenti, lalu berbalik, aku lupa menyampaikan pesan pada Parjo agar dia jangan menangis sambil melambaikan sapu tangan ke arah pesawatku, malu lah….masa badan sebesar kingkong begitu nangis, Parjo mengangguk, entah dia mengerti atau bingung. Aku tinggalkan Parjo, tinggalkan Pontianak, walaupun hanya untuk satu minggu saja.

Aku sampai di Jakarta, tidak terasa, tapi capek sekali, tadi mimpi main bola, main bola dengan Jani, Jani bermain jujur, tapi aku bermain curang, biarlah….kan hanya dalam mimpi saja. Mimpinya hitam-putih, seperti TV kakekku dulu yang selalu bersemut, dan harus ditendang sedikit biar gambarnya bagus lagi, mungkin karena aku tidur di pesawat makanya mimpinya tanpa warna seperti itu, memang kenapa alasannya bisa begitu…..nggak sih, hanya menebak-nebak aja. Langsung aku menuju bis bandara yang langsung menuju Bogor, kau tak tahu kan ada bis yang langsung dari bandara ke luar Jakarta, akupun baru tahu sekarang kok, jadi tenang saja, kamu tidak kampungan sendirian, kan kasihan, sudah kampungan, sendirian lagi, mendingan kampungan bareng-bareng, siapa tahu kena kuota otonomi daerah dan diangkat jadi perkotaan bareng-bareng.

Bogor dingin…..padahal ini jam dua siang. Aku naik taksi, jalannya pelan sekali, diputarkan oleh sang supir lagu GIGI, terkenang zaman SMP dulu, saat sama-sama beli kaset bajakan dengan teman kelasku untuk pertama kalinya, seneng, deg-degan, keluar keringat dingin, merasa dikucilkan, merasa bersalah yang teramat sangat, tapi kemudian sedikit mereda, karena di tempat pusat pembajakan ada tetanggaku seorang aparat yang sering merazia barang-barang bajakan, tapi waktu itu dia beli kaset bajakan juga, dasar dia….akhirnya ketahuan juga. Aku mencoba untuk bersembunyi darinya, malu, takut dia lapor sama bapakku, nanti dia mengarang-ngarang cerita lagi kalau aku terjaring saat dia melakukan razia, akhirnya dia pulang duluan….syukurlah.

Dan kembali ke masalah taksi, aku mau kemana ya..??? Oh iya, mau ke penginapan, soalnya syaratnya harus seperti itu, Jani pernah bilang jangan sembarangan tidur di tengah jalan, nanti ada yang culik, terus disodomi, habis itu dikasih permen biar tidak lapor ke polisi, jadi aku mencari penginapan dengan segera.

Hari berganti lagi, tadi malam aku tidak mimpi, tidurnya lelap sekali. Sekarang jam 7 pagi, di mejaku sudah ada sepiring roti dan secangkir kopi, hitam sekali, lama kupandangi…..lama sekali….setelah itu kuambil, lalu kuseruput, aku teriak, karena ternyata masih panas sekali, harusnya tadi kuikuti instingku untuk memakan roti terlebih dahulu, sial….tragedi gelas kopi. Mas Darwinto meneleponku, menanyakan kabarku, menanyakan perjalananku kemarin, menanyakan kabar Pontianak, menanyakan kabar pak Marlan, menanyakan panjang sungai Kapuas, terus kira-kira ada berapa spesies bakteri di dalamnya, bertanya kalau kolor hanyut kesitu terus diangkat 3 bulan kemudian masih utuh apa tidak, dasar Dasar Darwinto, ada-ada saja….tidak juga sih, aku yang ada-ada saja, orang Darwinto hanya menanyakan kabarku dan menanyakan apakah sudah siap meeting, aku bilang boleh tidak ditunda sampai tahun depan, Darwinto bilang tidak bisa, ya sudah lah…aku berangkat ke ruang pertemuan sekarang.

Meeting sudah selesai, sekarang sudah larut malam tapi masih ramai, Bogor kota besar, hidup 24 jam tanpa henti, orang hilir mudik silih berganti. Aku mencari swalayan untuk membeli makanan kecil untuk di penginapan nantinya, tapi teman-temanku yang ada di mobil mengajakku dulu ke kafe, aku bilang tidak mau soalnya aku tak bawa raket, mereka tanya untuk apa raket, aku jawab untuk main badminton tentunya, masa begitu saja tidak tahu, setelah itu mereka diam tak menjawab, mungkin mereka takut berurusan terlalu jauh denganku, tapi tiba-tiba kita sampai di satu kafe diatas bukit, ah…mereka menculikku, mengajak aku main malam-malam tanpa konfirmasi ke orang rumahku terlebih dahulu. Duduk kita di sebuah meja, maksudnya di kursinya, kalau duduk diatas meja nanti tabu, kata mamaku nanti ada apa-apa dengan pantatku kalau sering-sering duduk diatas meja, kalau kata bahasa jermannya Boeroet bool, iih…mengerikan sekali kan. Makanan sudah datang, steak daging diatas hot plate, nampaknya enak, tak menyesal aku ikut teman-temanku itu ke kafe.

Kita berbincang panjang lebar, lalu panjang kali tinggi, terus panjang diagonal segi tiga sama sisi, terus tertawa-tawa entah menertawakan apa, karena bagiku tidak lucu, masa membicarakan sekretaris baru yang salah masuk ruangan dan tiba tiba duduk di meja manager operasional saja menurut mereka lucu, kasihan kan sekretaris itu, apa teman-temanku tak bisa merasakan penderitaan dan tekanan batin yang diterima oleh sekretaris itu karena malu, maka dari itu aku hanya diam dan konsentrasi dengan steak di hadapanku saja.

Oooh…aku kekenyangan, badanku lemas tak tertahankan, tiga porsi makanan tadi sudah kuhabiskan, tak jadi aku ke swalayan, lagipula aku tidak mungkin mengemil lagi nanti malam dengan keadaan tanki utama kembung seperti ini. Masuk aku ke penginapan, teman-temanku belum pergi, pelayan di front office nampaknya sedang mereka godai, aku tak peduli, bantal guling sudah kugagahi, selamat tidur Bogor, jangan bangunkan aku tengah malam nanti, karena tak ada siaran sepakbola yang bisa menemani aku begadang semalaman.

Terbentang alasan sang surya setia

Tak perlu dijabarkan dengan rangkaian bahasa

Ia terlalu pelik….

Terlahir atas restu sang maha romantik

Marka pasti pergantian hari

Di tangannya kuasa atas jingga menghias senja

Karenanya pulalah lelap terusik

Mengusik hati sang para khalifah masa

Kusinari langkahmu semua ucapnya….

Maka terbangunlah dengan syukur dan sejuta tawa

Jam sepuluh pagi, di lantai tiga lagi, melihat penjual kue tua yang berjualan dengan setia tepat di bawah gedungku lagi, usia lanjut tapi tetap setia dengan profesi yang telah memberinya makan hingga merasakan usia setua itu tanpa dihentikan oleh mati kelaparan. Sama juga dengan preman yang terkena razia di pelabuhan kota kemarin lusa, tidak kalah renta, tidak kalah setia, eksis selalu dengan profesi premannya, dia tidak pernah sadar bahwa bentuk garuda pada tato di lengannya sudah hampir menyerupai burung pipit karena tempat ia menempel sudah terlampau mengkerut. Akupun kurasa harus begitu, eksis dengan dunia desainku sampai usiaku tumbang, maka dari itu aku harus menabung, siapa tahu nanti ada layar komputer yang sebesar bioskop dijual di pasaran, jadi walaupun mataku sudah berkurang ketajaman visualnya, tapi aku masih tetap bisa bekerja dengan bantuan layar sebesar itu, lalu mau disimpan dimana? Ya mungkin teknologi nanti juga bisa menciptakan fasilitas pendukung, siapa tahu layar sebesar itu bisa dimasukkan kedalam sebutir kapsul, ya….kita serahkan saja semuanya pada Allah…amin….

Setelah semua laporan selesai kuprint, sambil menunggu follow up dari pak Marlan, aku dengan sengaja, dan dengan kesadaran penuh turun dari lantai tiga ke lantai dasar gedung untuk membeli beberapa potong kue dari si bapak tua. Beberapa potong aku makan di tempat, takutnya kalau semuanya kubawa ke ruangan nanti teman-temanku yang lain minta, bukannya aku pelit dan tidak mau berbagi dengan mereka, tapi takutnya aku disangka mengajarkan kebiasaan buruk yaitu makan di ruangan kerja pada jam kerja pula. Sambil makan aku ngobrol dengan si penjual kue, maafkan aku mama, aku telah melanggar perintahmu, karena kau selalu bilang kalau makan jangan bersuara, tapi kan capek ma kalau ngobrol sama si bapa pakai bahasa isyarat, belum tentu juga kan dia akan mengerti. Dia cerita bahwa sekarang ia tinggal sendiri di Pontianak, dua anaknya sudah tinggal jauh merantau, yang satu ke Taiwan, dan yang satunya lagi tinggal di Batam, dua-duanya perempuan, mereka pergi mengikuti suaminya masing-masing, soalnya kalau mengikuti suami orang takut dipukuli masyarakat. Istrinya baru saja meninggal lima bulan yang lalu, kasihan si bapak, tadinya aku mau ngomong sama dia agar mengangkat aku saja jadi anaknya kalau dia mau, tapi aku segera mengurungkan niat itu, aku takut nanti si bapak disangka pernah selingkuh sama orang negro jadi punya anak keling sepertiku, padahal aku yakin si bapak orang yang setia, karena foto istrinya masih ia tempel di gerobak jualannya, dan ia tunjukkan padaku dengan mata berkaca-kaca.

Pak Marlan memanggilku ke ruangannya untuk mengambil berkas yang tadi aku berikan ke ruangannya, terus sekalian juga dia titip kue, dasar pak Marlan, kok tahu dia aku disini, padahal kan aku duduk sengaja mencari tempat tepat di bawah tenda gerobak si bapak tua agar tidak terlihat dari lantai atas, ternyata baru saja dia dari ruangan marketing di lantai satu, dan itu berarti tegak lurus dengan tempat aku duduk, pak Marlan ini ada-ada saja, kan aku jadi tidak enak hati, tapi tiba-tiba jadi enak lagi karena pak Marlan menyuruh aku ambil uang buat bayar kuenya sekalian juga hitung yang aku makan.

Hari sudah sore, langit mendung, jam setengah lima sore tampak seperti jam sebelas malam, hanya bedanya jalanan di depan gedungku belum dipenuhi PSK yang jadwal keluarnya jam sebelas, bukan berarti aku salah satu konsumennya ya, tapi aku pernah lembur sampai jam satu malam dan melihat mereka bermunculan seperti kodok keluar dari air saat hujan, tidak keliahatan jelas, tiba-tiba banyak saja mereka di depan gedung kantorku, untung saja mereka tidak menerapkan strategi coba dulu, kalu puas baru beli, seperti SPG makanan ringan di swalayan-swalayan.

Aku harus pulang segera, nanti malam aku diundang temanku pameran tunggal lukisannya di taman budaya, sebenarnya aku agak sedikit malas, tapi dia mengancam kalau aku tak datang, lukisan foto keluarga yang dia janjikan gratis untukku akan dibatalkan, jadi aja harus datang, kenapa coba pake mengancam begitu, padahal dengan dia bilang di pamerannya banyak makananpun aku akan datang kok, nanti-nanti lagi aku harus janjian dulu sama dia kalau mau ancam-ancaman, biar nantinya tidak ada yang sakit hati dan salah mengerti, dan agar terlihat lebih eksklusif saja, maksudnya?!?!………..ah sudahlah.

Tiba di tempat pameran, malam ini pembukaannya, aku datang sendiri tiada teman yang menemani, Jani ada rapat di Jakarta tapi dia tidak mengajakku, dia bilang ini rapat kantornya, bukan family day…ah Jani tuh ada-ada saja. Jadi aja kan aku sendiri kayak orang bego ke tempat pameran, biasanya aku mengajak Dira temanku kalau ke acara-acara pameran senirupa seperti ini, dia pasti suka, tapi waktu tadi pagi aku ajak dia, dia bilang tidak bisa, aku tanya apa dia ada janji, dia jawab tidak, mau bertemu klien, dia jawab juga tidak, terus kenapa ya dia tidak mau, dia bilang yang pameran malam ini kan dia, makanya secara sistem kan yang pameran datang duluan, ohh….

Ada yang menari-nari di awal pembukaan pameran, baru MC ngomong, terus sambutan-sambutan dari ini…itu…entah….tapi yang pasti aku ngantuk dan malas sekali mendengarnya, terlalu bertele-tele. Tapi orang yang di sebelahku serius sekali sepertinya mendengarkan kata demi kata, mukanya seperti pemerhati seni, atau dia pengrajin mikrofon dan mimbar kayu, makanya dia lihat setiap orang yang bicara di mimbar forum. “ Mas, acara masaknya kapan ya?” Dia sedikit terkejut karena aku bicara padanya tiba-tiba, terus dia mengerutkan dahinya pertanda bingung, “Memangnya di agenda pameran lukisan hari ini ada acara masak-memasak juga ya, saya kurang tahu tuh mas.” Si laki-laki tua gondrong itu sepertinya terganggu dengan pertanyaanku, dan dia langsung membuka buklet agenda pameran yang dipegangnya, sebelum dia mulai bicara lagi, aku bertanya duluan padanya, “ Jadi ini bukan pameran dan launching merk wajan baru mas ya, saya kemarin lihat di berita ada pameran merk wajan baru, launching wajan berbentuk segi enam, terus saya datang karena ada acara makan-makan gratis, tahu begini lebih baik saya tidur, tapi tak apa lah, sekalian saya sudah disini, gak enak juga kan pak kalau saya keluar forum sekarang, iya kan pak?!” Kok si orang tua gondrong itu tidak menoleh lagi ke arahku, “ Iya “ Jawabnya.

Dira tersenyum lalu mengahampiriku, dia bilang terima kasih sudah datang, aku bilang tidak masalah, kecuali dia pameran di Timor Timur baru aku tidak akan datang, lagipula pasporku sudah habis. Dia tanya apa kabar kuliahku, aku jawab sehat-sehat saja baru kemarin suntik tetanus. Dia tanya kapan aku lulus, aku bilang sebelum aku kawin, dia tanya lagi kapan aku kawin, aku bilang setelah aku lulus kuliah, dia tanya apa otakku belum sehat juga, aku tak menjawabnya soalnya nanti jadi keterusan nanya, memangnya aku kantor informasi pajak.

Aku melihat lukisan Dira satu-persatu, kadang dua-perdua, kadang misi-permisi, terus dia tanya komentarku, aku bilang bagus, warnanya penuh pasti catnya mahal, dia diam terus ngomong lagi kalau yang dia maksud itu konsepnya, concept…bukannya itu nama majalah desain grafis, apa dia lupa kalau aku desain produk. Dira kakak kelasku di kampusku dulu, kita cukup dekat karena satu pandangan denganku bahwa bulan itu mulus dan cantik, biarpun kata orang kalau wajah wanita cantik diumpamakan seperti rembulan itu salah, karena rembulan itu berongga-rongga. Biarlah, anjing menggonggong, kafilah mengembik, Dira mengaum, aku melongo, SBY pidato, hah…SBY siapa, Surabaya?!?!

Dira pulang bersamaku, mobil dia ditinggal di tempat pameran, kita mau makan malam bersama agar orang menganggap kita sangat akrab, padahal biasa saja. Kita singgah di warung kwetiaw yang cukup terkenal disini, letaknya di perempatan jalan, jadi aku dan Dira bisa makan sambil membahas polisi yang sedang berkumpul di posnya, entah menunggu orang yang melanggar lampu merah, atau menunggu giliran jaga dengan Hansip. Semua kita bahas, mulai dari kota yang cuacanya tidak bisa ditebak, listrik yang tidak bisa diandalkan kapan dia akan stabil menyala sehingga membuat pameran Dira terancam, kok aneh….bukannya sudah lama kau merasakannya, aku kan baru dua tahun disini, jadi wajar saja masih asing dengan keadaan lampu jalan yang selalu mati karena belum mendapat giliran jatah listrik. Dira lahap sekali makannya, satu porsi sudah habis dilahapnya, sekarang pesanan piring kedua sudah datang, kasihan dia mungkin beberapa hari ini lelah mempersiapkan pameran sampai lupa makan, pantaslah badan dia sudah mirip dengan jenglot, kurus kering, gigi berantakan, rambut gondrong tanpa belahan. Aku heran, padahal yang sebenarnya orang Pontianak itu Dira, tapi justru dia yang lebih tak betah dan tak tahan dengan suasana kotanya, yang dia bilang sepi dan panas, seingatku dulu semasa kuliah dia hanya pulang ke daerahnya saat Lebaran saja, dasar anak tidak berbakti, aku curiga dia dulu menghabiskan masa remaja di inkubasi, terus mamanya menyediakan home school untuk dia, jadi Dira tak pernah sadar kalau keadaan kotanya sudah seperti ini sejak dulu, atau bisa jadi kalau Dira tetap berpikiran bahwa Pontianak bukan di Kalimantan, tapi salah satu distrik di Rwanda.

Walau apapun yang terjadi kuucapkan selamat padanya karena ia telah sukses meyakinkan orang bahwa gambar mahluk bernyawa tidak selamanya haram, minimal itu menurut ayat Dira. Selamat malam seniman……

Jam berdentang…adzan berkumandang….

Aktifitas berulang….sibuk menantang…

Aku datang…..menghunus sebilah pedang…

Kutebas malas yang datang….karena aku butuh uang….

Banyak orang memandang….tak guna kularang…

Tapi mereka terus memandang…timbul rasa ingin kutendang…..

Untunglah aku orang penyayang…..

Walaupun kini mereka riang….mengitariku depan belakang…

Mau apa mereka sekarang…..

Ternyata mentertawakanku setengah telanjang…..

Terima kasih kolor belang-belang….

Kau menyelamatkan mukaku menjelang siang…..

Kasihan tetangga-tetanggaku, mungkin mereka belum terbiasa melihat orang di sekeliling mereka tidur dengan pakaian seadanya. Tapi tak apalah mereka tetap baik terhadapku. Selepas Shalat sengaja aku mandi, menantang dingin sampai-sampai ujung-ujung jariku menciut. Sengaja aku mandi agak pagi, agar aku leluasa menjelajahi dunia maya, sekalian juga mengirim hasil analisis desain tugas akhirku pada pak Setiawan d’ greatest one and only, semoga jalur internet tidak terlalu padat jam segini, semoga tidak banyak orang yang hobi browsing jam lima pagi, lalu agar suasananya seperti warnet, kunyalakan lagu dengan speaker aktifku, sekalian juga jadi alarm buat tetangga-tetanggaku yang belum bangun, kusiapkan juga cemilan yang masih tersisa dilemari makananku, biasanya aku pesan fanta dingin, tapi tak bisa karena ini kamarku, bukan Warnet.Ya…tak apa lah, kukirimkan lembar demi lembar file tugas akhirku, puluhan lembar sampai aku setengah tertidur, kulihat remang-remang preview sent item di layar komputer, celaka enam belas….puisiku buat Jani ikut terkirim juga, aku deg-degan, segera saja kukirimkan pesan untuk pak Setiawan:

“ pak maaf tadi yang puisi selembar salah kirim, tenang lah pak, saya bukan homo kok, lagipula perbedaan usia kita kan jauh berbeda untuk membina hubungan yang lebih serius, maaf pak ya, saya lanjutkan lagi mengirim e-mailnya pak ya.”

Jam setengah tujuh pagi baru selesai semuanya aku kirimkan, segera aku bergegas merapikan diri, pakai kemeja, celana jeans hitam, kaca mata hitam baruku, tapi itu hanya mencoba saja dan tak mungkin kupakai ke kantor, nanti takutnya aku disangka Bucek Deep, kubereskan tas kerjaku dan kuletakkan di atas meja, segera aku keluar rumah untuk memanaskan mobil, tiba-tiba Jani datang, menanyakan aku mau kemana? Aku balik bertanya padanya kenapa hari ini ia tidak bekerja, malah nongkrong di rumahku pagi-pagi, Jani menjelaskan dengan sangat detail, sesuatu yang berat namun mau tak mau harus aku terima, ternyata ini hari minggu, dan ternyata aku berjanji menemaninya main tenis hari ini, aku bertanya lagi padanya apakah aku boleh pake baju ini, yee…..kata Jani, tuh kan Jani…jadi aja aku harus ganti baju, coba kalau dia tidak bilang hari ini hari minggu, aku kan tak perlu repot-repot ganti baju lagi.

Aku dan Jani sudah sampai di komplek olag raga, dan segera menuju lapangan tenis, sebenarnya aku ingin ke lapangan basket, lapangannya lebih bagus, banyak gambarnya berwarna-warni, sedangkan lapangan tenis polos dan hanya bermotif garis-garis, tapi Jani tetap pada pendiriannya untuk ke lapangan tenis, mungkin Jani punya phobia pada lapangan yang bermotif lucu, atau mungkin kontur lapangan basket kurang cocok dan enak untuk bermain tenis. Jani jauh lebih jago bermain tenis dibandingkan denganku, dia sangat lincah sekali bergerak kesana kemari, pasti waktu SMA dia aktif di ekstra kurikuler olah raga catur.

Aku tahu satu hal baru sekarang, pengalaman hari ini memberikan pelajaran baru , bahwa sesungguhnya main tenis itu capek, dan Jani bilang aku tidak boleh langsung minum air es, harus menunggu sampai keringatnya kering, dan suhu badanku kembali normal. Terus dia membandingkan tubuhku dengan gelas yang panas, jika langsung kena air es maka gelas itu akan pecah, makanya aku menurut saja apa kata saran Jani, daripada nanti organ dalamku pecah dan berderai.

Sepulang olah raga kita tidak langsung pulang, Jani memintaku untuk mengantar dia singgah di toko obat Cina, aku langsung memarahi dia, aku kira dia mau beli obat pelangsing, ternyata dia hanya mencari obat buat sakit pinggang, baguslah….aku beri tahu dia kalau sering-sering makan obat pelangsing nanti efek sampingnya mukanya kayak keramik terus ngomongnya jadi cadel (maaf ya, aku sama sekali tidak bermaksud rasis…hehehe…piss) mirip kayak iklan krim pemutih kulit buatan negeri tirai bambu itu, dan apakah Jani percaya…oh, tentu tidak, karena dia cukup cerdas.Tokonya mengerikan, kalau kau ingat seting opening film Friday the 13th, mirip sekali dengan suasana toko obat ini, banyak benda-benda aneh, baunyapun aneh, yang gak ada disini hanya toples berisi otak manusia yang direndam dengan cairan pengawet. Tapi di bagian pojok juga ada toples kaca besar yang isinya entah air apa, yang pasti aneh dan sedikit mengerikan, waktu aku tanya ternyata itu air campuran rempah-rempah, beberapa binatang, dan serangga, katanya berkhasiat untuk vitalitas dan aku ditawari untuk mencobanya….terima kasih…..mungkin lain waktu kalau aku cukup sableng baru mau mencicipi, dan sekarang visualisasi ruangan toko obat itu berubah dari Friday the 13th, sekarang malah menyerupai Fear Factor yang nyuruh orang makan yang aneh-aneh. Tiba-tiba Jani memegang sebentuk benda, seperti dendeng, tapi ada kepalanya, ya…itu adalah tokek kering, si penjual obat bilang kalau dicampur dengan beberapa rempah akan ampuh mengobati penyakit kulit, dan kalau ditambah dengan ginseng akan menambah daya tahan tubuh, lalu aku tanyakan padanya kalau dicampur dengan bumbu rendang akan mengobati apa selain mengobati lapar, pasti cara masaknya tuh, bumbu rendangnya dipanaskan, masukkan tokek kering terus masukan daging sapi cincang, setelah satu jam masakan diangkat lalu disaring, tokeknya dibuang, lalu daging sapi cincangnya yang dimakan. Terus kenapa sahabatku yang kebetulan orang Cina dipanggil tokek, padahal dia kan tidak dikeringkan saat sudah tua dan tidak bisa mengobati penyakit kulit juga kan.

Sekantong barang-barang aneh yang katanya obat sudah dipegang Jani, sebenarnya lebih seperti barang-barang buat sesajen. Kita segera menuju mobil karena langit sudah mulai menangis, meneteskan bulir-bulir air ke batang hidungku. Sesampainya di mobil Ponselku berbunyi lagi, Jani bertanya dari siapa, aku jawab pak Setiawan, Jani tanya lagi ada apa, aku jawab lagi mungkin pak Setiawan rindu berat sampai-sampai minggu pagi begini sudah menghubungiku, Jani bilang jangan bercanda dan suruh aku segera buka, aku bilang jangan disini lah malu, nanti banyak orang yang lihat, bagaimana kalau anak kecil yang lihat, nanti kita dibilang memberi contoh yang tidak baik untuk perkembangan akhlak mereka, Jani diam…sedikit melotot…..akhirnya aku menjawab lagi, “ Oh, maksudmu buka isi pesannya kan, jangan marah dong nanti cepat tua, sebentar ya…” Ternyata isinya tentang tugas akhirku, Jani tanya apakah aku lupa lagi mengirimkan lembar asistensi minggu ini, aku jawab sudah tadi pagi, terus ada apa dong kata Jani, aku bilang kalau yang aku kirimkan tadi pagi itu ternyata lembaran BAB I, sedangkan aku sekarang kan sedang mengerjakan BAB III, maafkan saya pak nanti siang saya segera mengirimkan lagi lembar asistensinya, maaf lah pak soalnya tadi masih pagi, jadi saya masih agak-agak mengantuk. Jani menutup muka mungkin dia agak sedikit sakit kepala, mungkin migran, mungkin menjelang menstruasi, atau malu jalan denganku, jangan dong….kan kita sehati, senasib sepenanggungan, berat sama dipikul ringan sama dipikul, sedang-sedang saja juga dipikul, kalau nakal dipukul, kalau bandel dijewer, tapi yang pasti aku sayang kamu….selalu…..

Thursday, April 9, 2009

Senja meredup…

Emosi memudar samar perlahan

Ditelan gelap aku berjalan

Pelan, hingga tak terbangun sang penguasa malam karenaku

Kuhela ceria…kuhembuskan keras pada buana…

Aku bahagia, cukup begini saja

Jangan kau tambahkan bumbu perasa bila kau tak suka

Aku telah mengalahkanmu malam

Aku belum terlelap, saat tiga jam sudah kau menetap

Menetap bagai selimut surga bagi sang pengelana

Pengelana yang tak pernah percaya batas usia itu ada

Hingga sorak menjadi puisi pengisi sepi

Sepi…dan akhirnya belia itu berhenti tanpa arti

Aku lelah, biar kubagi cerita hari ini esok malam saja

Karena cerita kemarin telah lenyap ditelan lupa

Aku pelupa…..maka biarkan saja.

Koran pagi sudah tersaji, tapi penjual korannya sudah pergi. Kok dia tidak meninggalkan semangkuk bubur juga sekalian, nanti aku mau usul sama dia untuk membuat paket langganan lengkap, koran dan sarapan.Kubaca lembar demi lembar, halaman demi halaman, banyak sekali, jadi kapan habisnya, tapi aku orang yang sabar, kucicil terus sedikit demi sedikit, mulai dari berita perampokan, pengangkatan gubernur baru, soal perkawinan Anisa Tri Hapsari, loh…ini kan bukan koran gosip, kenapa ada berita itu, tenang yang tadi itu kan iklan tentang make-up pengantin, memangnya artis itu kawin disini, bukannya di Jakarta, kira-kira mas kawinnya apa ya? Kayaknya mobil mewah, atau pulau kecil, atau anak sapi delapan, tuh kan aku malah ikut-ikutan menggosip, cukup ah…nanti jadi dosa.

Pontianak memang indah, lihat itu langit yang biru, sungai yang mengalir sampai jauh seperti bengawan Solo, tapi ini tentunya jauh lebih besar, lihat itu truk kecil berisi babi yang sudah dapat giliran dipotong untuk kemudian dibawa ke restoran-restoran untuk dijadikan campuran nasi, selamat jalan beb, kau sudah mejalankan tugasmu sebagai mahluk hidup, walaupun aku tak mau memakanmu. Panas, seperti biasanya, tapi tetap saja indah, dengan sesekali dihiasi bau dari pabrik karet, dan itu membuatku lapar, karetnya….bukan lah tentunya, aku bukan mahluk pemakan biji karet, tapi bercerita semua ini kan butuh energi dan membuatku lapar.

Belok aku ke sebuah kios penjual bubur pedas, yang sebenarnya rasanya tidak pedas, kenapa namanya seperti itu? Aku tak yakin juga ya, mungkin saat menciptakannya dulu bersamaan dengan terciptanya keripik pedas, dan gulai pedas, jadi biar tidak dianggap tidak kompak dan dianak tirikan, maka namanya dibuat bubur pedas. Makanan yang cukup beradab untuk pagi ini, walaupun ini akan membuka peluang untuk aku lancar buang air nanti di tempat meeting, biarkanlah….itu kan hal yang wajar-wajar saja, orang pergi ke kamar mandi untuk mengeluarkan sesuatu dari lubang anus kan bukan hal yang istimewa.Semangkuk sudah bubur itu kuhabiskan, lalu mangkuk kedua datang karena aku ternyata masih belum kenyang, setelah mangkuk kedua habis baru aku minum segelas es teh manis, dingin sekali, terus kubayar. Lalu aku berniat untuk meninggalkan tempat itu untuk segera menuju tempat meeting, tapi tak bisa, kenapa? Apa uangnya kurang? Atau si ibu penjual bubur masih ingin curhat denganku? Bukan itu, aku tak bisa pergi karena ban belakang mobilku bocor….ya ampun, sial lagi, mana mobil sebesar ini, pasti aku gak akan bisa membuka baut-baut bannya hanya dengan bantuan tang dan kekuatan lenganku, itu berarti aku harus mencari alat yang diciptakan secara khusus untuk membukanya, dan ternyata ada, tepat di bawah jok supir, aku cium dulu, siapa tahu kan bau kentut, soalnya setiap aku meyetir mobil selalu berbagi udara segar dari pantatku itu ke seluruh ruangan mobil. Ternyata alat itu tidak bau, tapi membukanya sulit sekali, membuka satu baut saja sudah cukup membuatku menarik nafas panjang, sepertiya aku harus semakin rajin berlatih yoga untuk memperkuat nafasku…memang ngaruh ya?! Akhirnya selesai juga semua baut aku buka, lalu kubawa ban itu dengan cara digelindingkan, tadinya mau kuangkat ke atas pundak, tapi ternyata berat. Tak seberapa jauh dari mobilku ada bengkel tambal ban, pasti dia seorang penambal ban handal, karena kulihat ada kunci pas dan obeng yang kulihat di bengkel itu, atau kondisi ban di Pontianak pada beberapa hari ini sedang kurang fit, sehingga banyak sekali yang bocor dan pecah. Sekarang giliranku, aku tanya pada si tukang bengkel apakah ban dalamku harus diganti, ternyata tidak, lho kenapa, saya mampu bayar kok pak?! Bannya ternyata tidak bocor, hanya kurang angin saja, jujur sekali tukang bengkel ini, coba kalau di tempat lain, yang sebenarnya tidak bocorpun dia buat agar jadi bocor. Dia tanya lagi dimana aku simpan mobilku, tuh kan dia perhatian pula. Dia bilang kenapa aku gak ngomong kalau mobilnya bocor tidak jauh dari bengkel, yeh…aku kan tidak berniat bocor pak, kalau tadi aku berniat lebih baik kan bocor ban di dekat dealer mobilku saja, kan lebih mudah. Dia menjelaskan lagi, maksudnya kan kalau hanya dekat begitu dia bisa membawa alat-alat pompanya ke dekat mobil, lagipula kalau hanya kurang angin kan tidak perlu dibuka bannya seperti ini. Ya ampun bang, janganlah membuat perjuanganku tadi terkesan sia-sia, abang tega sekali.

Tiba juga aku di sebuah kafe, disana aku akan meeting, tepatnya presentasi desainku kepada klien, dan tentu saja kalau dia senang dia akan memberiku uang, tapi lewat pak Marlan, terus pak Gilda ikutan minta upeti, masuk bagian keuangan dan administrasi, barulah akhir bulan nanti aku dapat bagian, sungguh sistem yang rumit, mending jualan bayam, aku berikan bayamku pada pembeli, pembeli memberi aku sejumlah uang, sederhana sekali bukan?!Aku jelaskan konsep dekorasi rumah itu pada sang klien, dia bertanya, lalu kujawab, dia tanya lagi, terus kujawab lagi, terus seperti itu sampai beberapa jam lamanya, aku terangkan kalau kayu itu memberi kesan alami dan kedamaian, aku jelaskan pula bahwa atap berwarna biru itu memberikan kesan dingin dan segar, padahal dalam hati aku tidak yakin akan hal itu, menurutku merah justru kesannya lebih segar, karena aku lebih sukafanta dibandingkan denganpepsi blue, apalagi dingin-dingin di siang bolong. Tapi kemudian dia tersenyum, tandanya dia senang pada desainku, lalu dia tanda tangan surat perjanjian, disertai pula selembar cek, angka nolnya banyak sekali, mirip dengan iklan perusahaan telekomunikasi swasta yang mempromosikan biaya telephon per menitnya dengan banyak sekali nol di belakang koma. Meeting berakhir, kita bersalaman tanda setuju. Dan semua meninggalkan ruangan dengan tanpa beban dan dendam, padahal kan disini enak sekali, dingin karena AC, mempercepat adanya kerutan bagi orang-orang yang terlalu sering merasakannya, maka akupun ikut keluar karena tak mau ikutan keriput dengan cepat.

Sekarang jam lima sore, hari masih terang, laporan sudah kuserahkan ke kantor, lalu apalagi sekarang, mungkin enak gangguin orang, tapi takut dosa, mending cari buku, lebih bermanfaat, pergilah aku ke toko buku besar yang ada di sebuah mall, keliling-keliling mencari sesuatu yang akupun tak tahu, mungkin ada pekerja toko buku yang melihatku kebingungan dan mencoba membantu, dia bertanya padaku apakah ada yang bisa dia bantu, aku mau meminta tolong dia untuk membantuku mengecat rumah tidak tega juga, soalnya dia perempuan, “ Ada buku tentang tata cara merebus anak gorilla biar matangnya merata tidak mba ya? “ Sang penjaga toko buku bingung, lalu dia memanggil temannya, yang ini pria, lalu si penjaga toko yang perempuan menyampaikan maksud yang aku cari pada penjaga toko yang pria…dasar comel…si penjaga toko yang pria itupun ikut bingung, lau ia menanyakan buku yang saya cari pada temannya, yang ini laki-laki, terus si penjaga toko laki-laki bilang pada si penjaga toko pria mungkin yang aku maksud buku tentang anatomi gorilla, dan si penjaga toko pria menyampaikannya padaku, lalu aku menjawabnya karena kasihan, “ Tapi gorillanya direbus tidak, soalnya di toko sebelah ada, tapi gorillanya dimasak bumbu asam manis.”Si penjaga toko laki-laki geleng kepala, si penjaga toko pria juga ikut-ikutan geleng-geleng kepala, si penjaga toko yang perempuan gak ikutan karena ia tidak tahu apa-apa, lalu akupun pamit mau mencari buku yang lain saja, si penjaga toko pria, dan penjaga toko perempuan mempersilakan sambil melambaikan sapu tangan, penjaga toko yang laki-laki entah kemana, mungkin dia menanyakan pada teman-teman penjaga toko yang wanita soal buku menu gorilla bumbu kari.

Aku tak memperdulikannya lagi, karena aku segera pergi, keluar dari toko buku tersebut. Sekarang aku ke toko ponsel, bukan mau mencari ponsel khusus gorilla, tapi aku mau membeli pulsa, karena aku harus menelepon Jani jam berapa dia pulang kerja? Apakah aku harus menjemputnya? Layakkah aku ada di pintu kantornya saat ia pulang nanti? Apa baju yang pantas untuk menjemputnya di hari Sabtu ini? Terus aku juga mau bertanya apakah Sabtu malam dengan malam Minggu itu sama, kalau sama kenapa ia tidak pernah memintaku menjemputnya Sabtu malam? Lalu pulsa dua puluh ribu terisikan ke ponselku, saat aku hendak menelepon , tiba-tiba ada pesan singkat dari Jani, seperti ini :

“ ass..sayang jangan lupa ini sabtu malam, nanti jemput aku jam tujuh ya, pakai kemeja yang rapi, nanti malam kan kita mau makan malam sama mama.”

Lalu kujawab :

“WS….masa sih?”

Jani tidak menjawab lagi, mungkin Jani sedang sibuk.

Merapat senja membawa Tanya…

Tanya untukmu wahai sang dara

Jika kelak cinta ini renta

Maka ingatkanlah….

Bahwa banyak barisan kisah dari catatan hari

Yang telah menggariskan diri ini tetap disini

Tetap di inginku yang kujelang menjelang petang

Yang kuyakini di pintu pagi

Bahwa kaulah pembuka makna…

Makna bahwa kau adalah pertanda bahagia

Di garis batas kututup mata…

Ya….kau Jani, yang kupandangi fotonya setiap saat, gambar yang kupandangi sebelum aktifitas pagi melilitku. Kau yang menjadi cerita terakhir yang kukenang menjelang tidur, cerita yang kubawa serta sebagai penyejuk diantara peliknya rutinitas kerja. Senyum yang dulu selalu membuatku tertawa diatas kereta, membutakan pandanganku, hingga aku tak pernah peduli semua orang memandang dan menganggapku gila.

Ini hidupku, hidup yang kumulai di pukul tujuh. Bertahun tanpa henti, karena ternyata lambungku belum bosan untuk meminta kuisi setiap hari. Hari ini aku terlambat, karena semalam aku tidur larut, mengejar deadline desain yang kuharapkan bisa mengucurkan dana segar untuk membayar cicilan mobilku bulan ini. Mungkin kamu berpikir aku terlalu ngoyo mengejar kendaraan roda empat itu sampai-sampai harus kredit, tapi kalau kau melihat betapa banyaknya barang-barang yang harus kubawa ke kantor, pasti kau tidak akan tega melihat vespa tahun.1979 warna biru punyaku membawa beban sebanyak itu.

Sepotong roti sudah di tangan, entah roti dari hari apa akupun tak tahu, tapi kalau tidak salah Jani yang membawakannya untukku beberapa hari yang lalu…mmmm…beberapa minggu lalu mungkin…entahlah aku lupa, yang aku ingat adalah semalaman aku lupa makan hingga pagi ini aku lapar sekali. Kubereskan berkas-berkas kerja ke tasku, ya Tuhan…..”ya…ada apa umatku yang pelupa?”…mungkin itu tanya Tuhan padaku, kusibak seberkas tumpukan kertas, ya…berkas skripsiku.Entah apa pak Setiawan masih mau menerima alasanku lupa mengirimkan lembar asistensi skripsiku lewat e-mail minggu ini, aku ingin lulus, tapi perut ini perlu makan, mobilku perlu minum,dan Ponsel-ku perlu pulsa….hahaha…lalu kenapa masih lupa kau mengabariku, pak Setiawan…dosen pembimbing tugas akhirku selalu mengulang itu setiap hari.

Setahun ini aku diberi kesempatan untuk mengambil asistensi on-line, karena ternyata aku tak bisa meningalkan kerjaanku disini, walaupun aku harus terpisah jauh dengan kampusku di Bandung sana, dan aku belum berani untuk meminta izin asistensi secara telepati, minimal dosenku tahu kalau aku berniat lulus. Tapi aku sial, ternyata lulus tidak cukup hanya butuh niat, tapi juga butuh uang…ini bukan kelucuan, tapi ini kenyataan, tapi aku tak pernah mengeluh, karena bu Isnaeni guru TK-ku dulu selalu berpesan untuk aku bekerja keras dan jangan terlalu banyak mengeluh, selain ia juga mengajarkan aku mewarnai gambar secara penuh, dan kau tahu….itu menjadi ilmu pertama yang kemudian aku terapkan dalam pekerjaanku sekarang, setidaknya aku berpikir bahwa ada satu bagian desainku yang jelek tak perlu dihapus, tapi aku imbangi dengan gambar lain yang lebih mencolok, seperti panu yang saat bergabung dengan bedak bau badan akan tersamarkan.

Sudahlah, tak usah banyak berkoar, sekarang sudah jam 8.30, dan itu berarti aku sudah terlambat setengah jam untuk bertemu “ My Head Division”, ditambah lagi dengan estimasi waktu yang harus aku tempuh menuju tempat kerja, berarti total aku terlambat satu jam. Tapi aku yakin pak Marlan adalah orang yang baik hati, dan tidak akan memotong gajiku, karena dia melihat betapa merahnya mataku dan betapa lemasnya aku karena kurang tidur.

Pos satpam sudah kulewati dengan sukses, tiba aku di penyebrangan menuju istana langit, biru, indah, tapi panas, membuatku tak nyaman, naik aku ke punggung Gilda sang kura-kura bodoh, jalannya lambat, makan dakinya sendiri, semua binatang air menyapaku, semua mentertawakan dan berbisik-bisik tentang si kuat dan bodoh Gilda, air beriak muncul cahaya…keluar si naga ketawa, dia terlampau ramah, semua dia beri senyum, tapi tak satupun yang membalasnya, karena si naga mengeluarkan api setiap ia tertawa, Gilda ketakutan, ia berdiri, akupun naik, naik terus hingga aku merasa melayang dan agak mual, dan tiba-tiba aku sudah ada di lantai tiga, khayalan-khayalan tadi harus aku lakukan agar aku tidak muntah dan berkeringat, itu artinya aku sudah melewati phobia-ku yang berlebihan pada lift, berarti aku sudah dekat dengan ruanganku, berarti aku sudah harus bersiap-siap memberikan alasan keterlambatanku pada atasanku, pak Marlan….oh ruangannya tepat di depanku sekarang…oh tidak…oh aku masuk…oh beruntungnya ternyata aku lupa kalau pak Marlan ternyata sedang rapat di Singkawang, dan aku yang mengantarnya tadi malam, bodohnya aku……aku duduk di kursi kerjaku sambil setengah berbaring, enaknya kerja seperti ini, “Pagi pak Gilda “ itu dia si gemuk bodoh, tapi aku harus tetap ramah dan hormat padanya, karena ia komisaris kantor advertising ini….maaf pak , aku tidak bermaksud menunggangimu tadi.

Ini tumpukan kertas, kalau tumpukan uang sudah aku masukan kantong dari tadi, tapi jangan salah, semakin banyak kertas order di depanku, maka semakin banyak bonus yang kuterima bulan ini, dan itu adalah uang, bukan tikus tanah….apa hubungannya?!?!tiba-tiba saja terbersit gambar billboard yang membuatku hampir menabrak pohon karena melihatnya, bukan karena bagus…justru karena kupikir sangat norak, gambarnya duit dan seekor tikus, dan kau tahu tikusnya jelek sekali ( dengan tanpa bermaksud menghina ciptaan sang Khalid ), bulunya tegak, sedikit botak, mungkin korengan, terus ada tulisannya “ Hari Gini Masih Korupsi “, kasian si tikus, padahal aku yakin ia tak pernah korupsi, paling-paling dia korupsi ikan asin, itupun hanya di dapur mamaku, dan aku rasa tidak merugikan banyak orang.

Kutarik garis pertama di kertas kalkirku, anggap saja itu garis start aku mulai bekerja hari ini, garis demi garis, lalu menjadi kotak, lalu menjadi balok, terus jadi kamar, terus aku scan, terus aku masukan perabotan yang aku rancang kemarin, terus kuwarnai di komputer, terus kubawa ke ruangan mba Vay, terus kuminta tanda tangan dia di kertas laporan, terus aku push-up, terus aku main PS2…maaf yang dua tadi tentu saja tidak, maksudnya tidak dilakukan selama pak Gilda masih ada di kantor.Lapar…kenapa sudah lapar lagi ya?! Pantas, sudah jam satu siang sekarang.

Itu Simin, penjaga markas dua, ruangan kecil tepat di bawah tangga lantai dasar, hanya 3 x 3 M, di dalamnya banyak tersedia makanan, terdapat pula lemari berwarna merah, pintunya terbuat dari kaca, kacanya selalu berembun sepertinya dingin sekali kalau aku dikurung semalaman di dalamnya, dan ditempeli stiker bertuliskan, “apapun makanannya minumnya ga boleh ngutang”, terus Simin sibuk melayani permintaan setiap orang yang datang, kok mau ya Simin disuruh-suruh?!?!…entahlah, tapi kalau sudah kenyang semua yang datang harus ngasih Simin uang, dan ini namanya kantin. Sebenarnya agak berjalan menuju arah kanan pintu masuk ada markas satu, Pujasera yang lebih besar dan lengkap, tapi aku lebih memilih disini, lebih sepi dan santai karena tidak ada yang menunggu giliran duduk di tempatku selagi makan, lagipula aku sulit menerima kenyataan bahwa teman-teman kantorku ternyata adalah orang-orang yang sangat peduli dan up to date akan kabar teman-temannya, temannya ada yang beli mobil baru diskusi, ada yang punya selingkuhan baru diskusi juga, ada yang memelihara gadis SMA baru diskusi lagi, sampai-sampai bosku jam tangannya mati aja jadi bahan diskusi hebat, karena mereka menganggap bosku menjelang bangkrut karena tak mampu membeli baterai baru untuk jam tangannya.Mereka sungguh peduli dengan keadaan rekan-rekannya, tidak seperti aku yang cuek dan tak mau ikutan pusing.

Ada suara lagu Axl Rose terdengar, sepertinya aku hapal, ternyata tebakanku selalu benar tentang lagu itu akhir-akhir ini, Ponselku berbunyi, ada nama Jani, tapi bukan nyanyi lagu Axl Rose, dia hanya mengirimkan pesan singkat berupa kata-kata, mengingatkan aku makan siang, ohh….perhatian sekali Jani ini, pasti wanita ini ada hasrat padaku, hasrat untuk memiliki jadi kekasih hatinya, tapi kalau tidak salah enam tahun lalu aku pernah mengatakan seuatu padanya, setelah itu ia tertawa, lalu aku pegang tangannya, lalu ia tersipu, lalu aku disuruh pulang, karena ternyata ayahnya sudah menunggui dari balik pintu sedari tadi….sial aku malu sekali, lalu setelah malam itu aku dan dia sering nonton bioskop, film-film romantis tentunya, itupun dia yang milih kok…sumpah….terus Jani juga jadi sering menyuruhku datang ke rumahnya setiap malam minggu. Jani memang tidak pernah berubah sejak enam tahun yang lalu.

Tuh kan…hujan lagi, tapi tak apa lah, setidaknya sekarang kertasku tidak akan basah lagi seperti dulu waktu kuliah, sekarang kan kendaraanku ada atapnya, beberapa hari yang lalu atapnya bocor, terpaksalah aku ke bengkel, membenarkan lubang yang ada di atap mobil, terus dilas, didempul, dicat, dan abrakadabra…ketok mejik, mobilku seperti baru lagi, biarlah aku membayar tiga ratus ribu untuk itu, yang penting aku senang. Jani melihat, dan diapun ikut senang, karena sebenarnya kalau kita pergi berdua bagian kepala dia yang kena bocor bukan aku, habis Jani selalu menolak kalau aku suruh duduk di belakang, kata dia nanti seperti naik taksi, dan aku sopirnya, padahal kan kalau dia bisa melihat kedalam isi hatiku aku tidak bermaksud seperti itu, pasti dia bohong, pasti sebenarnya Jani mabuk perjalalan, makanya dia maunya duduk di muka, di samping pak supir yang sedang bekerja mengendarai Strada supaya baik jalannya.

Jam istirahat sudah selesai, aku berlari karena melihat orang-orang juga berlari, tapi berlainan arah denganku, tapi kok pakaian mereka berbeda, seperti aku melihat orang-orang yang ke Senayan setiap Minggu pagi. Padahal ini kan hari Jumat…Jumat…ya, aku baru ingat, kan setiap Jumat sore waktunya olah raga, segera aku mengikuti mereka ke lapangan, ikut instruktur yang badannya seksi, pakai baju tanpa lengan, melenggak-lenggok, seksi sekali, sampai dada diapun ikutan langsing dan rata, rambutnya cepak, ternyata dia laki-laki, tapi sudahlah yang penting kan dia intruktur aerobik, coba kalau instruktur senam hamil, kan lebih bingung lagi. Demi menjaga eksistensiku sebagai laki-laki jantan yang tak pernah basah ketek, kutanggalkan kemejaku sehingga terlihatlah kulitku yang masih perawan dari sengatan matahari itu, kuikuti setiap gerakan dari sang istruktur, mulai dari pemanasan, gerakan kaki bangau, rangkaian gerakan jepit…tahan…jepit…tahan…hinga kurasakan ada yang kejepit, tapi aku ga tahan, ternyata itulah makanya produsen sepatu menciptakan sepatu untuk olah raga, sehingga kaki lebih nyaman saat melakukan gerakan-gerakan seperti tadi. Ternyata olah raga bertelanjang dada, bercelana bahan woll, dengan sepatu kulit hampir setinggi lutut adalah kebiasaan yang buruk, dan dapat diklasifikasikan perbuatan menyiksa tumit dan jari kaki. Sudah ah, aku sudah kebanyakan kejepit dan ga tahan lagi, jadi aja harus balik lagi ke markas Simin,soalnya haus habis olah raga, jadi aja Simin nanya kok balik lagi, jadi aja Simin bingung kenapa aku keringatan, ya olah raga lah, masa gitu aja Simin bingung, tapi kan anak advertising olah raganya hari selasa, hari jumat kan bagian administrasi dan pemasaran.Iya gitu Min? Kenapa ga ngomong dari tadi pas saya belum ganti baju, kan si Simin ….jadi aja aku malu masuk ruangan, masa keringatan sendiri, pantesan tadi liat orang-orang yang olah raga agak-agak asing gitu.

Mba Vay memarahiku lagi setibanya di ruangan, katanya sudah aku datang terlambat, terus korupsi waktu istirahat pula jadi satu jam, padahal jatahnya kan setengah jam…iya gitu..kapan mba Vay ngomong gitu, perasaan aku ga pernah dengar, Iya lah yang ngomong kan Pak Marlan. Masa mba Vay gitu aja jadi galak, masa aku bilang kalau aku telat karena melatih anak-anak administrasi dan pemasaran soal senam yang baik buat karyawan kreatif seperti apa, mba Vay gak percaya. “ Emang kalau bikin celana olah raga dari bahan woll dosa mba ya? “ Mba Vay bingung, ia berpikir keras, keras sekali, kasian mba Vay, “ Ya enggak lah.” ya gak usah marah lah mba, baru juga jadi kepala bagian desain,apalagi jadi kepala suku Hutu, pasti mba paling putih dan paling cantik, tapi tetep galak, bawa-bawa kapak besar sekali, terus tindiknya ada sepuluh di masing-masing telinga, badannya bertato gambar kadal, jalan-jalan sambil makan anak ayam mentah-mentah….serem…” Oh ga salah tapi mba ya, yaudah lah…maafkan saya mba ya terlambat, tapi jangan bilang-bilang sama pak Marlan mba ya, kan ini rahasia kita berdua.” Mba Vay tersenyum, udah mba ah jangan tertawa, jelek.

 
Copyright (c) 2010 karma sang fajar. Design by Wordpress Themes.

Themes Lovers, Download Blogger Templates And Blogger Templates.