Sunday, October 17, 2010

Vlade Plum, huruf L yang terpampang disana mulai meredup, tapi tulisan sembilan huruf itu tetap menunjukkan mukjizatnya, Rayya yang kaku, bangun setiap pukul lima pagi untuk mengawali semua aktifitas yang akan berakhir saat coffee maker kuhidupkan sambil kuletakkan semua tas dan lembar kerja yang sudah menemani berjam-jam waktu harianku hingga pukul setengah tujuh menjadi jadwal tetap gelas kopi keramik putih bertuliskan “happy ending” itu menemani di samping sofa tanpa mengerti aku yang tertawa sendiri menonton rentetan DVD komedi yang akan menghantarkanku tertidur di pukul sepuluh, berulang terus seperti itu, mencipta hidup kaku laksana batu. Tapi tidak disini, Vlade Plum tanpa paksaan yang menyiksa, ataupun rayuan garansi uang kembali telah berhasil memasung Rayya yang kaku dan kontra nocturnal ini untuk bertahan hingga pukul dua belas lewat lima menit. Kafe kecil yang menyaji Latte hangat dengan roti kering lapis coklat dan blackberry cukup menjadi surga kecil tanpa suara “emmmhh.....” yang biasanya keluar dari mulut pelayan saat melihat konsumen awet yang telah bertahan hampir tiga setengah jam dengan pengulangan pesanan yang sama dalam rentang satu jam, apakah itu syarat aku untuk bertahan lebih lama disini tanpa dinikmati, tentu saja kamu salah kalau berpikiran seperti itu, aku sangat menyukai dan menikmati yang kupesan, walaupun itu telah melebihi porsi normal orang menikmati Latte dan cemilan roti kering.
Di meja yang kupilih ini aku hanya termenung menikmati setiap pergantian cerita yang menghiasi trotoar di samping kafe, mulai dari sekumpulan pegawai supermarket yang menikmati waktu pulang sebagai kepuasan kecil setiap sore hari dan menganggap itu bonus harian yang mengikuti gaji mereka yang mungkin tidak terlalu besar, selang waktu yang tidak lebih dari setengah jam hingga mereka pulang masing-masing itu hangat dipenuhi tawa dan gosip-gosip hangat yang mewarnai hari mereka. Riuh pegawai supermarket berganti hening, tadi ada dua kelompok remaja yang memanfaatkan lantai trotoar sebagai kanvas raksasa dimana berkaleng-kaleng cat semprot mereka habiskan untuk menggambar dan mencatat nama mereka masing-masing, dengan perbandingan yang tentu saja lebih banyak nama mereka dibanding karya gambar, dan malam hari merupakan waktu yang mereka pilih karena dapat mengurangi resiko mereka untuk balap lari dengan polisi karena aktifitas seni ilegal mereka di trotoar kota. Aku memilih satu meja pojok yang berbatasan langsung dengan muka jalanan diantara empat meja yang terletak di luar bangunan utama kafe dan enam meja yang terletak di dalam bangunan Vlade Plum, karena disini aku bisa menikmati visual malam dengan nyata dan tentu saja dengan sejuta cerita yang pernah tersaji di meja ini.
Kusisakan satu kursi di depanku dengan sengaja, formasi ini mentransformasi aktifitas menarik di setiap malam menjalang tujuh belas agustusan, magnet lain dari Vlade Plum adalah tawaran dia untuk menyajikan tontonan pasar malam yang menghiasi lapangan kosong tepat di seberang jalan yang dipenuhi ribuan orang menjelang hari kemerdekaan, dan tepat pada tanggal tujuh belas agustus pagi hari semuanya dipaksa menghilang dan berganti barisan upacara dan tujuh belas siswa kelas dua SMA yang mengharap-harap cemas karena diberi tugas mengibarkan bendera. Kursi itu tetap kusisakan untuk kamu Marlin, gadis tercantik, kloning terbaik yang dihadiahkan ibuku saat usiaku empat tahun dulu, dan setelah orang tua kita pergi, total hanya dia yang aku punya, untuk menikmati kopi berdua, atau hanya sekedar tertawa semalaman mendengar teriakan orang-orang di area tong setan, membayar sepuluh ribu untuk histeria sepuluh menit. Cukup sedikit usaha saja mungkin, dan “Alakazam......” kau akan berada tepat di depanku, tapi semua saling bertarung, antara rindu dan keinginan aku dan Marlin untuk mencipta keajaiban untuk pertemuan yang entah kapan akan terjadi.
Kesepakatan yang aneh itu menjadi beban pada awalnya, dipaksa untuk berpkir mencari jalan untuk bertemu dengan larangan untu menelpon ataupun mengirm surat, tentu saja yang kedua itu akan sulit dilakukan karena kita berpijak di tempat yang sama tidak pernah lebih dari satu bulan, tapi kesempatan untuk alternatif pertama tentunya terbuka lebar, karena aku tahu hampir semua teman-teman Marlin. Empat tahun sudah semeneak prasasti itu resmi didaulatkan, aku melangkah ke Guatemala dan Marlin memilih arah ke Perth, dan setelah itu kita sama-sama menghilang dimakan bumi tanpa tahu keberadaan masing-masing. Kini akucukup menikmatinya, misteri yang mungkin akan menyisakan keindahan pada akhir prosanya, setiap saat aku menebak-nebak dimana kiranya kita akan bertemu dan menikmati Latte lagi berdua, semoga bukan di Vlade Plum, karena akan menjadi alur sinetron yang sama sekali tidak menarik untuk diperbincangkan. Berangan-angan akan suasana yang dramatis, ataupun hanya bengong berdua menikmati perubahan masing-masing yang terjadi dalam kurungan waktu empat tahun, atau mungkin heran karena sama sekali tidak ada yang berubah.
Pasar malam tetap menjadi eksotisme yang membuai kita sejak ayah kita mengajak kita pertama kali empat belas tahun yang lalu, kau berumur empat tahun waktu itu, dan aku sudah mulai menikmati euforia lupus dan trio libels di usiaku yang menginjak sembilan tahun. Dan setelah itu setiap menjelang tujuh belas agustus adalah perburuan pasar malam bagi aku dan Marlin, dan semenjak tujuh tahun yang lalu pencarian pasar malam kita berakhir di sudut yang sama, lapangan kosong yang berubah riuh yang tepat bisa kita nikmati dari meja pojok yang selalu tersedia di Vlade Plum, menu minuman dan cemilan yang selalu tersedia dan tidak pernah mengalami transformasi berarti kecuali harganya dari pertama kali kita ke tempat ini tujuh tahun yang lalu kita cukup menghabiskan sembilan ribu untuk satu gelas latte dan dua potong roti kering, dan hingga terakhir kucek bon pembayaranku aku harus mengeluarkan empat puluh delapan ribu untuk dua gelas latte dan empat potong roti kering. Esok pagi sehrusnya kita melakukan perburuan kedua keliling kota, topeng monyet...cukup menjadi teater termegah bagi Marlin, da aku cukup tersenyum melihat gadis itu bahagia melihat polah hewan kecil yang tidak pernah lelah berlompatan diantara riuh orang yang mengelilinginya. Dan tahukah kamu Marlin, sekarang kita tidak perlu keliling kota hingga ke pelosok kampung untuk mencari pertunjukkan topeng monyet, kita cukup menyusuri perempatan jalan dan tersajilah pertunjukkan itu untuk kita, dan aku yakin kamu sudah tahu itu, karena koleksi stik eskrim yang terpampang di papan tulis sebelah luar Vlade plum tepat di sebelah poster Rolling Stone telah bertambah oleh karya stik eskrim buatanmu, media yang cukup menarik untuk kita berhasta karya, itu menurut J.S. Badudu dalam cakupan EYD yang baik dan benar...aduhhh.....klasik sekali. Dan tmbahan stik eskrim di papan tulis itu menunjukkan bahwa si pemiliknya telah menikmati Latte made in Vlade Plum sebelum aku tiba malam ini.
Aku rindu, tak usah kusangkal itu, tapi biarlah perjuangan kita saling mencari tidak ternodai oleh jalan curang yang akan kuambil untuk mempercepat pertemuan. Dan sekarang hampir jam dua subuh, riuh pasar malam mulai mereda sedikit demi sedikit, aku cuku tersenyum dan Arini di ujung sana sudah mengerti bahwa ritual tiga gelas Latte dan enam potong roti keringku akan segera berakhir, dia salah satu bukti nyata Vlade Plum tidak pernah mengalami transformasi besar, Arini telah menjadi manager operasional sejak pertama aku kenal tempat ini hingga sekarang. “ Kapan kamu kesini lagi?” Pertanyaan Arini mengalun pelan sambil meletakkan bon yang harus kubayar, “Entah....aku tak pernah tahu.” Jawaban pendek dan senyuman kecil dariku cukup membuat dia mengerti, “ Sebentar ya, aku ambil kembalian sekalian compliment gelas kecil Moccachino untuk pelanggan terawt Vlade Plum.” Kita tertawa kecil mendengar statement yang tidak pernah terdengar menyindir keluar dari mulut Arini,” Apa kali ini regukan terakhir yang kupasrahkan pada gelas kecil Moccachino itu akan kemanisan juga, dan semakin menguatkan aku untuk tetap lebih memilih memesan Latte panas dibanding Moccachino Vlade Plum yang lebih dikenal orang itu?!” Arini tersenyum sambil menyentuh pipinya dengan telunjuknya yang malam ini berhiaskan kutek berwarna ungu, “Mmmmmhhh..sepertinya iya, karena kamu tahu harga Latte kan lebih mahal, jadi biarlah kamu tetap memesan itu pada kedatangan berikutnya.” Dia tertawa sambil hendak membalikkan badan, tapi tertahan karena ia menemukan sesuatu di saku Blazer hitamnya, “ Oh iya Rayya....sepertinya kuas ini milik Marlin, tertinggal saat ia kesini.” Ya, aku sangat mengenal kuas kecil itu,” Iya, biar kusimpan. Memang kapan dia kesini?” aku meletakkan kuas itu di kantong depan tas kerjaku,” Kurang lebih enam jam yang lalu, tak berpaut jauh dengan kamu datang kan?! Sepertinya jarak semakin mendekat Rayya, mungkin sebentar lagi kalian akan bertemu.” Arini kembali mendekatiku, “ No....dulu di Pattaya kita menginap di hotel yang sama, dengan jarak aku check-out dan dia check-in hanya sepuluh menit, dan itu dua tahun yang lalu, dan hingga sekarang kejadian itu tida pernah menjadi awal pertemuan yang mudah, mungkin tidak juga untuk kejadian hari ini.” Aku mebalas senyumnya yang berangsur berubah menjadi rasa heran, “ Dua saudara yang aneh.” Arini menggeleng kepala sambil berlalu dariku yang kembali tenggelam dalam pesona kerlip lampu pasar malam yang sekarang tanpa dihiasi suara......Selamat malam Marlin.
 
Copyright (c) 2010 karma sang fajar. Design by Wordpress Themes.

Themes Lovers, Download Blogger Templates And Blogger Templates.