Friday, November 25, 2011

Kenapa dengan hari ini....dingin sekali, serasa ribuan misi tak juga berarti, jalur yang telah kita hapal tiba-tiba menjadi liar, aku tetap membatu dalam beku, kupandangi bibirku yang mulai tampak membiru, darahku berhenti bergejolak, dan tujuh puluh dua jam sudah kita disini berbagi peluh, beradu uap badan yang tersisa demi saling menghangatkan. Diantara celah batu teman, diantara celah batu yang di atasnya penuh perdu, lorong vertikal puluhan meter yang hanya layak dilalui oleh angin, disini kita terkubur dalam dingin. Kita belum mati, kupandangi mata kalian yang terpejam masih bersenandung dalam mimpi, dan aku menjadi pendengar yang baik sepanjang tiga malam ini, penghangat ketika tiba malam yang sungguh datang tanpa batasan, aku hanya menyadari kedatangannya ketika kicau burung berganti lengkingan halus kelelawar.
Sesungguhnya aku ketakutan, dan aku yakin kalian tahu itu dalam terpejam.....
Aku terjaga sendirian demi menjauhkan kalian dari terkaman, atau sekedar lintah jahil menggerayangi kulit kalian yang mulai mengeras. Kita akan menunggu lagi yang terjadi esok hari, berharap jejak kita belum terinjak, hingga ada yang akan menemukan kita dalam hidup, ya...dalam hidup, karena kita selalu ingin kembali lagi ke puncak ini setiap perjalanan tahun berganti, berjalan beriringan dalam satu formasi. Kalian, yang telah membuat sakramen gelas kopi tepat di pukul dua belas kurang lima menit, bukan kopi import ataupun hasil pemilahan biji kopi dari berak binatang, hanya kopi instan saja, dan sedikit cemilan dari kantin sekolah dimana dulu pertama kalinya kita saling bertemu. Kembang api....kita pernah mencobanya, mencoba menyalakannya di tengah riuh angin di puncak ini, dan sepertinya itu hal yang bodoh sekali, jadi cukuplah kita memandangi garis langit yang tersinari bulan, bersama kopi panas dan sedikit cemilan sederhana untuk menghargai pergantian tahun yang sungguh tidak pernah mempunyai arti khusus untuk kita lewati dalam suka ria.
Sesungguhnya aku ketakutan, dan aku yakin kalian tahu itu dalam terpejam....
Sekarang sudah lewat tengah malam, dan kita belum menyalakan api untuk sekedar memanaskan air untuk kopi, kalian nampak lelah sekali, dan aku masih saja terjaga dengan satu posisi. Habel....tingkahmu semahal namamu, setiap ucap kamu saring dengan sempurna, semua nyaman bersamamu untuk sekedar berbagi keluh kesah ataupun cerita sederhana, dan kamu tersandar disana, di batang kayu yang mulai menua menyerupai batu, genggamanmu tak terlepas dari radio panggil yang beberapa puluh jam yang lalu masih menjadi harapan kita akan ditemukan. Maafkan aku sempat meragukanmu beberapa tahun lalu, aku pikir yang kamu hapal hanya lagu padamu negeri dan nyiur melambai, ternyata kau serigala penguasa jejak dalam badai. Kita pernah bermimpi bersama membangun tempat makan yang menunya semuanya berasal dari pisang, tempatnya di dataran tinggi dimana kerlip kota jelas terpandang, mungkin mimpi yang terlalu sederhana untukmu yang selalu hidup teratur sesuai alur literatur.
Fryl disana Habel, dia tetap menjaga lubang angin itu tertutupi rapat, sehingga kita tetap terjebak dalam hangat. Wanita itu juaranya tertawa, balutan baju serba ngetat nampaknya bertolak belakang dengan ledakan tawanya ketika ada orang bertidak bodoh dihadapannya, seksi....hilang seketika. Aku tahu Fryl adalah alasan terbesarmu ikut dalam pergumulan ini Habel, lama sekali waktu yang kamu butuhkan setiap pagi demi memandangi wanita itu di kantin sekolah dulu, dan baterai inspirasimupun akan penuh seharian sehingga harimu akan berjalan sempurna. Dan kini dia disana Habel, andai kamu lihat senyum Fryl tetap terselip disana di batas lelah dan keputus asaannya, sepertinya menertawakan kita yang lebih dulu melemah tanpa daya, dan sosok wanitanya melumpuhkan ego kelaki-lakian kita, dan maafkan aku aku tak bisa berbuat apa-apa untuk sekedar membuat ia menghangat dan sedikit tertawa, aku hanya mampu menjaganya dari terkaman hewan yang akan merusak sususan kulitnya yang tertata putih sempurna.
Sesungguhnya aku ketakutan, dan aku yakin kalian tahu itu dalam terpejam....
Betapa haruku luluh seketika saat kakak beradik yang jarang sekali damai dalam kesehariannya, malam ini bersama mereka saling melengkapi, menangkupi sesosok tubuh temannya yang terdiam tanpa detak ataupun desah nafas bersuara. Neza dan Putra....mungkin waktu yang dulu mengalurkan mereka menjadi manja, saling bertengkar demi memperebutkan sesuatu yang pada akhirnya akan sama-sama mereka tinggalkan, Neza lebih dulu bersinergi dalam koloni, dan Putra melengkapi setiap perjalanan kami dengan tingkah konyolnya yang sungguh menjadi warna walaupun kadang kita berpikir berulang untuk menimpalinya dengan tertawa. Seiring waktu membuat semua pribadi kian mengejar sempurna, tidak terkecuali untuk mereka, yang akhirnya saling mencinta dan menjaga, Putra kian dewasa, kadang dia terlihat lebih tua dibanding Neza kakaknya. Aku sering sekali tersenyum bangga saat memandangi aktifitas mereka berdua, seolah koloni ini yang membentuk mereka menjadi pribadi yang saling mengerti. Dan semuanya memuncak tiga malam ini, kebersamaan kalian mulia walaupun akhirnya semua berjalan pada alur yang sudah tertuliskan sebelumnya.
Sesungguhnya aku ketakutan, dan aku yakin kalian tahu itu dalam terpejam....
Tidak pernah berkurang ketakutan ini setiap malam, mungkin itu yang menyiratkan masih adanya harapan. Dan sekarang menjelang pagi datang, entah kenapa naluriku berkata ini akhir bahagia dari tujuh puluh dua jam kita bergumul dalam beku. Roti masih tersisa beberapa potong lagi, biarkan saja kita tinggalkan untuk para binatang yang selalu memberi kita nyanyian setiap malam, itupun jika memang kita akan pulang hari ini, jika tidak...roti basi itupun akan menjadi santapan ternikmat kita nanti malam. Hangat....ada hangat yang terasa pada tamu yang tak lama lagi akan datang, sinar matahari menghadiahi kita pagi nanti, orang-orang itu akan datang dan menemukan kita dalam hidup, dalam balutan daging dan kulit yang masih utuh. Dan menjelang setengah enam merekapun datang, cepatlah berpose senang kawan-kawan, agar jika foto kita terpampang di surat kabar tidak akan membuat orang tua kita di kampung menjadi khawatir, kita akan pulang teman, dan kamu tahu....ketakutanku semakin memuncak sekarang.......

Setiap puing.....
Setiap keping....
Tersusun menjadi menara indah saat kita bersama
Tempat dimana kita dapat dengan jelas memandang dunia
Kita punya mimpi.....tepat ketika langkah teriring mengiris tebing
Tawamu warna....walaupun kita tak pernah berbangga dalam sempurna
Kita tak pernah sama-sama saling menautkan rantai yang membuat kita berat berlari
Karena kita tahu kita tak akan kokoh berdiri dalam abadi
Perjalanan tahun mungkin akan terkikis perlahan
Hanya permasalahan siapa yang pergi paling depan
Teman.....aku merindu...
karena hanya itulah jalan untukku tetap dekat denganmu

Sesungguhnya aku ketakutan, dan aku yakin kalian tahu itu dalam terpejam....
Mungkin kini benar-benar kita akan berpisah dalam rentang waktu yang tidak sebentar, mereka telah datang teman, untuk menjemput kalian, dan mungkin bukan aku, tinggalkan saja aku disini hingga saatnya kalian akan kembali, jangan buatkan aku prasasti, itu akan semakin membuat aku merasa mati. Satu persatu dari kalian akan dibawa mereka bertemu matahari pagi, yang selama tiga hari tidak kita senyumi. Neza hampir meneteskan air mata saat Putra menjulurkan tangan dan memaksanya tersadar dan berdiri, dia tak juga hendak melepaskan genggamannya dari tanganku yang hampir membusuk dalam beku, aku titip salam untuk ibumu yang mungkin akan menjadi teman bercerita ibuku selama beberapa hari ke depan karena kehilanganku. Selamat jalan teman, bawalah tubuhku turut pulang, jika kopi instan itu tersaji lagi awal tahun depan...aku tidak akan lagi bersama kalian di tepi jurang memandangi bulan, aku hanya akan menjaga kalian dari terkaman hewan malam.

Aditia Kurniawan_2011

Tuesday, May 17, 2011

Hai…sulit kutemui kamu beberapa hari ini,kita bermain hitung-menghitung lagi, dan seperti biasanya kau yang akan menjadi objek bermain. Kalian terang sekali malam ini, lebih dari biasanya, memenuhi takdir lagu yang selalu menyertai kalian dengan akhiran kata gemintang atau benderang, sungguh kau tak diberi restu untuk murung, bahkan jika langit memberi halangan mendung yang menunda kemunculanmu setiap malam, sangat seksi sekali kalian bersanding dengan sisa lembayung di tengah langit yang hampir menggelap seluruhnya. Satu tahun lewat empat hari tepat saat ini, aku bisa sangat ingat, karena saat itu aku satu gerbong dengan rombongan anak-anak daerah yang pulang setelah ikut merayakan kemerdekaan di istana negara tepat tujuh belas agustus dua ribu sembilan pada pagi harinya, akupun ikut terlarut dalam euforianya, seraya memberi reda sedikit pada hatiku saat mengingat akan menemuinya tepat malam itu. Mungkin dia sudah terduduk lama disana waktu itu, saat kereta bersandar di stasiun Balapan pada pukul setengah enam pagi. Hiruk pikuk sajian kuliner pagi yang selalu kunantikan, sungguh tak terkalahkan pergerakan zaman yang menyajikan sajian super cepat tanpa bonus asap arang yang kadang menyesakkan bagi sebagian orang, sungguh mereka tak pernah tahu, bahwa sesungguhnya itu yang menambah selera makanku.
Dia selalu merelakan untuk datang jauh lebih awal dari waktu yang kita janjikan, dia bilang untuk membuat semuanya terlihat lebih wajar, rasa bosan baginya dapat sedikit meredakan rasa deg-degan atas jawaban waktu yang memberikan sedikit kejutan untuknya, mungkin di selang waktu ia datang dan ketibaanku dia habiskan untuk tersenyum sendiri, atau bahkan menepuk-nepuk bangku seperti yang ia lakukan zaman kita sama-sama sekolah dulu saat dia mulai panik dan terjebak buntu untuk menjawab pertanyaan yang diberikan guru. Semua terdengar lucu, tapi tidak untukku, sampai saat inipun aku tak pernah merasa pantas mendapat perlakuan istimewa itu darinya, bahkan untuk arah hatiku yang sama sekali ia tak tahu, atau mungkin ia sudah tahu semuanya, dan mulai kebal untuk tidak mempedulikan ujung dari semua cerita yang kita susun berdua. Dia pernah bilang, bintang yang kita pandangi sama, walaupun kita memandangnya dari tempat berbeda, dan itu sama terangnya, walaupun bagimu bintang disana untuk memberi terang, sedang bagiku bintang hanya menjalani takdirnya untuk meneruskan sinar matahari pada bumi pada malam hari, sedangkan ia sendiri tak menikmati terang atasnya. Dia bilang, bergurulah pada bintang, tak usah kita bertanya alasan ia datang setiap malam, yang penting baginya, seluruh langit dan di dasar bumi bahagia atasnya. Jangan untukku, sungguh bahagia yang kuberikan semu, tak pernah benar-benar nyata untukmu, bahkan ia tak ada disaat kamu terbaring lemah tanpa pegangan, saat itu sungguh kamu tak pernah mencari tahu aku dimana, kamu hanya cukup terbuai bahagia karena masih merasa ada yang perlu kamu tunggu.
Sungguh cinta yang fiksi, aku selalu berharap itu tidak meleset menjadi cinta yang fitri, karena sebentar lagi akan melalui sesi keduanya di televisi, ah aku sedang membicarakan apa sih….entahlah, lupakan saja, jangan berpikir terlalu keras karena kereta yang akan aku tumpangi sudah datang, terlewat akan membuatku menjadi orang bodoh yang akan menunggu lama untuk kereta esok subuh. Sepertinya sekantung kertas berisi dua potong ayam goreng tepung, lima buah perkedel kentang, dua kepal nasi, dan dua gelas pepsi akan cukup meredakan raungan perutku sepanjang perjalanan, dan aku tak mau berbohong untuk satu hal kali ini, aku deg-degan…mungkin sama seperti yang kali ini sedang kamu rasakan, yaaaaa…minimal itu sekedar membesarkan hatiku yang sudah mulai buntu dan tak karuan.
Tasku kuletakkan tak jauh dari tangan kananku, di kantung sampingnya terletak manis sebuah surat, aku tak perlu ceritakan apa itu, nanti kamu akan tahu sendiri jawabannya apa, bahkan aku sendiri tak pernah ingin merasa ia ada, biarkan saja tugasnya hanya untuk memenuhi kantung tasku. Kereta melaju, tepat jam delapan lebih sepuluh, dua puluh empat Agustus hari ini, seharusnya tidak ada yang istimewa bagi kebanyakan orang, tapi tidak untukku. Aku tidak berharap kamu menungguku dari subuh, karena jam tujuh pagi jadwal kereta akan tiba disana, tepat dimana setiap satu tahun sekali kamu menyambutku dengan gaun terusan berwarna ungu, dan melepasku pergi satu minggu kemudian untuk bertemu kembali satu tahun berikutnya dengan celana panjang dan kemeja krem di tempat yang sama. Aku menyetel suara ponselku dengan volume dering paling keras, menjaga-jaga kalau kamu akan menelponku di saat aku sedang terpejam, biarkan saja aku berharap seperti itu, walaupun entah untuk apa kamu nantinya menghubungiku. Jaket sudah kupakai dengan rapi, seperti yang selalu kau wanti-wanti, dompet sudah kumasukkan ke dalam tas, menghindari cedera paha karena ganjalan tebalnya dompet jika tetap berada di kantung belakang celanaku, dan entah kenapa aku selalu percaya teori kamu itu.
Stasiun kedelapan kulewati sudah, dan aku belum terlelap, aku harap kamu tidak lupa kita terpaksa turun disini beberapa tahun lalu karena ada kecelakaan kereta di stasiun berikutnya, dan saat itu kita terpaksa meneruskan perjalanan dengan bis antar kota dan terjebak macetnya mudik hari raya, dan itu pertama kalinya aku mengunjungi kotamu, alasan ingin punya kampung untuk tujuan aku mudik cukup ampuh untuk membujuk kamu berkata iya atas tawaranku mengantar kamu pulang kampung. Aku memang laki-laki asli buatan kota yang tak punya desa tujuan pulang saat hari raya, dari zaman sekolah dulu aku selalu ikut teman-temanku yang punya desa untuk sekedar menikmati euforia hari raya. Semoga kamu tidak lupa itu semua, bahkan untuk satu gelas kopi yang kutawarkan padamu di warung dekat stasiun, yang ternyata adalah tawaran yang salah, aku baru tahu lambungmu sangat rentan untuk menerima terjangan kafein kopi, tapi kamu tetap meminumnya demi menemaniku yang menggigil menahan dingin karena gerimis tanpa jaket, karena aku relakan jaket hijau kesayanganku kupakaikan padamu yang malam itu hanya berkulitkan celana jeans pendek dan kaus ospek yang warna biru tuanya hampir berubah menjadi warna biru muda, dan itu sangat cocok bersanding dengan rambut pendek acak-acakan yang menerima sisir hanya pada hari kamis, saat kamu harus mengenakan kerudung untuk menghadiri pengajian mingguan di kampus.
Kereta hanya berhenti beberapa menit saja,mengangkut beberapa penumpang dan berjalan kembali, ya….setidaknya untuk sementara aku terbebas dari kutukan stasiun ini, dan tidak harus meneruskan perjalananku dengan bis antar kota. Setengah perjalanan lebih sudah kulalui dengan sukses, tinggal beberapa jam saja aku akan tiba disana, kembali bertemu dengan tukang becak yang sangat jujur dan menyelamatkan dua puluh lima ribu uangku karena tukang ojek sialan yang menipuku kalau alamat tujuan yang aku tunjukkan padanya sangat jauh, padahal kata si tukang becak itu hanya berjarak lima menit saja, kuberi saja dia bonus sarapan bersama sambil mengobrol kesana kemari di warung sate berdua, dan kamu tahu, bahasa Indonesia featuring bahasa Jawa yang disandingnya cukup memaku aku untuk hanya menjawabnya dengan jawaban setahuku saja, tidak adil, aku orang Sunda asli, dan dari bahasanya aku yakin dia bukan orang Papua…pasti dia orang Jawa, seharusnya agar semuanya adil kita ngobrol saja dengan bahasa Batak, dijamin obrolan itu seratus persen ngaco dan tanpa tujuan, setidaknya itu bisa memperpanjang pertemuanku dengan si bapak.
Aku hanya menghela nafas saat mengingat sempitnya waktu yang mengijinkan kita untuk bertemu, sepuluh hari cuti yang kantor berikan padaku diluar hari libur tidak bisa sepenuhnya untuk kamu, ada beberapa orang disana yang juga menuntut waktu atas aku. Tapi aku bersyukur atasnya, semua waktu yang kamu cipta sungguh istimewa…bahkan lebih banyak memberi dibandingkan mereka yang bersamaku setiap hari. Kamu tak pernah menuntut lebih, bahkan untuk mengingatkan aku hari ulang tahunmu kamu punya cara yang lebih eksklusif,bisa-bisanya kamu tiba-tiba membuka pertanyaan soal potongan rambutmu yang aku tahu hanya kamu potong pada saat ulang tahunmu, kamu tanya aku kira-kira model rambut apalagi yang pantas kamu pakai, dan saat aku tanya kenapa potong rambut, kamu hanya menjawab, “yaaaa….biar keliatan berbeda aja setiap tahun” dan itu cukup mengingatkan aku kalau kamu ulang tahun esok harinya.
Kereta terlambat tiba, entah kenapa, maka jangan tanyakan aku alasannya. Total aku tidak terlelap selama perjalanan, makanan tuntas kumasukkan ke lambungku, suasana menjelang pagi di kotamu telah rapi tersaji di jendela kereta. Aku datang beberapa saat lagi, aku rindu gaun ungumu, sungguh indah melengkapi badanmu yang tidak terlalu tinggi, dan aku tidak pernah punya bahasa yang bijak untuk berkata padamu kalau aku sangat suka melihatnya. Kubereskan tasku, kumasukkan buku yang kubaca sepanjang perjalanan, kakiku sudah siap untuk segera kupijakkan, tepat di tempatmu…saat dimana akan tercipta waktu beku, kita membisu beberapa saat untuk sama-sama mempersiapkan berodongan kata-kata rindu…mmmhhh…tepatnya semua terangkum dalam kata “apa kabar”, dan sejauh ini selalu kamu yang menang dan pertama kali berani untuk mengucapkannya. Serangan ketidak sabaran mulai menghantamku dari segala arah, kota ini memang seksi dengan sendirinya, dan hari ini gerimis kecil menjadi latar indah cerita pagi, wangi tanah basah, riuh pedagang wingko babat favoritku, terima kasih waktu…yang telah mengizinkan aku bercumbu dengan indahnya kota ini.
Kereta mulai memperlambat kecepatannya, pertanda ia akan segera tiba. Kuletakkan tasku di atas pangkuan, kukeluarkan ponselku dan kuletakkan di tangan, ada pertanda bahwa ia akan berbunyi beberapa saat lagi, entah petunjuk dari mana aku tak tahu. Ketidak sabaran mulai berubah menjadi resah, berkhayal atasmu membuatku merasa tidak punya kuasa untuk berbuat apa-apa. Waktu yang jengah terputus suara ponselku, ada nama kamu disitu, apakah kamu sudah tidak sabar juga menunggu kedatangan keretaku tiba, aku kira tidak, suara halusnya beradu dengan sisa tangis di ujung telpon sana, namun suaranya tetap tegar menahan getar yang ingin ikut berkata halo dan selamat datang untukku, “Kamu dimana Pandu? Akad nikahku sudah selesai beberapa saat tadi, tidak ada halangan apapun, mungkin ini juga salah satunya karena doa dan ikhlas dari kamu, terima kasih. Semoga acara resepsiku juga tidak akan kulewati tanpa kamu……Pandu, kamu tahu…..aku rindu” Dan hanya kata iya yang mampu aku berikan, kututup ponselku tepat saat kereta benar-benar berhenti,ingin rasanya aku kembali dan tidak menginjakkan kakiku di kota ini, tapi sungguh ini terlalu naïf untukku, dan juga mungkin untuknya, jangan membayar semuanya dengan kata menyesal, karena semuanya akan terjawab kali ini, apakah senyummu akan tetap tersaji…bahkan jika untuk terakhir kali. Kamu janjikan akan memakai warna ungu seperti yang kamu saji di setiap pertemuan kita setahun sekali, walupun bukan gaun pendek seperti yang biasanya kamu pakai, tapi ini adalah gaun berhias renda dan bordiran mewah, bersanding dengan mahkota perak di ujung rambutmu, dan karangan bunga di genggaman tanganmu. Aku sudah disini, dan kini aku rela untuk tidak berharap kamu akan mengantarku pulang satu minggu lagi.

Wednesday, February 23, 2011

Empat puluh lima menit tepat hingga sekarang, belum bernjak kemanapun, aku amati seksama setiap jengkal etalase, sudah semuanya, tak ada lagi angka tujuh yang tersisa. Lekas aku pergi, dan aku tahu pasti dimana aku akan berhenti berikutnya, selalu di tempat itu, tegak lurus menghalangi pagar rumah yang dulu sering kubuka, ah...kenapa harus angka tujuh yang menempel di tembok itu yang kamu inginkan, tapi nampaknya pilihan untuk melengkapi seribu buah angka tujuh yang tertata rapi di tembok tempat kau membersihkan piano itu setiap hari adalah ini, dan hanya disinilah langkah kamu akan terhenti, tersenyum ke arah bidak kayu yang membentuk angka tujuh yag menunjukkan alamat rumah ini, kamu sudah memilih, aku yang belum, kamu hapal betul apa yang pernah terjadi di rumah ini, mungkin itu dari sedikit yang tersisa di memori otakmu yang menyisakan sedikit saja, aku, not balok, orang tua, mungkin rumah ini, dan angka tujuh. Terlalu berat aku izinkan kaki ini membawaku mendekati benda yang kamu inginkan itu, karena kemungkinan Anna akan secara begitu saja menemuiku di depan pintu, aku akan sangat bersyukur kalau dia meneriakiku maling karena terlihat sedang akan mencopot nomer rumahnya, karena dengan itu aku bisa berlari sekencang-kencangnya, namun jika bukan terakan maling yang keluar, tapi malah sapaan apa kabar, tentu itu akan membuatku tak bisa kemana-mana.
Anna calista, untuk semua yang pernah terjadi beberapa tahun yang lalu, aku tak tahu cara yang tepat untuk meminta angka tujuh yang menempel di tembok dekat pintu rumahmu, mungkin aku harus menerangkan dari awal kejadian hingga angka itu menjadi salah satu hal penting yang mengisi sisa memori bagi Aizy, hingga saat seribu buah angka tujuh itu lengkap menempel di hadapannya terpenuhi, dia akan kembali bernyanyi dan memainkan piano itu untukku, dan sejenak aku akan berpikir semuanya baik-baik saja, karena aku masih memiliki Aizy yang dulu, satu-satunya warisan berharga yang ditinggalkan mama papaku, rumah besar itu terasa siksaan bagiku, trlalu banyak kenangan papa dan mama yang tertinggal disana. Andai Aizy tidak disitu untuk menungguku melengkapi apa yang ia mau, aku sudah lama pergi menjauh. Namun entah apakah aku cukup berbesar hati untuk menemuimu yang mungkin masih lantang membuangku seperti beberapa tahun lalu, dan menceritakan apa yang terjadi, hingga aku tidak sendiri untuk berusaha membuat Aizy bernyanyi kembali. Aku tidak menyisakan marah itu untuk kamu Anna, mungkin tidak saat aku tak melihat wujudmu lagi, tapi nampaknya Aizy tak memberiku pilihan.
Hari itu, tepat sepuluh tahun yang lalu, di ulang tahun Aizy yang ketujuh, seharusnya semuanya menjadi hal terindah bagi adik cantikku itu, hari pertama ia memakai sepatu bertali, hari pertama ia bisa berangkat sekolah sendiri dengan sepeda baru hadiah ulang tahunnya. Namun prosa itu terlalu indah untuk Aizy, saat mama dan papaku mengajaknya berjalan-jalan dengan kereta api dalam kota, kereta itu terbakar, papa sempat memberikan kesempatan kedua untuk Aizy hidup dengan melemparnya keluar dari gerbong tujuh dari rangkaian kereta api yang membawa orang tua dan adikku tersebut, ribuan nyawa berakhir disitu, kepala Aizy terbentur, hingga angka tujuhlah yang terngiang berulang di telinganya saat orang-orang berteriak," Gerbong tujuh terbakar...gerbong tujuh terbakar....mungkin kita tidak akan bisa menyelamatkan ribuan orang di dalamnya." Dan aku dimana saat itu? Lembayung itu terlambat datang, hingga aku yang terbuai untuk menantikannya di lensa kameraku tidak menyadari temanku menelponku dan mengabari bahwa ayahku membutuhkan banyak darah yang golongannya sangat langka, dan salah satunya dimiliki oleh aku, anaknya. Andai lembayung itu datang beberapa menit lebih cepat, semuanya tidak akan ikut terlambat.
Dan hari ini ulang tahunnya yang ke tujuh belas, tepat kemunculan angka tujuh berikutnya di atas kue ulang tahun Aizy, seharusnya hari ini saat yang tepat aku memberikan angka tujuh baginya yang keseribu, dan ia akan kembali bernyanyi bersama-sama denganku, dan tangannya akan bergerak anggun di atas tuts piano miliknya, setidaknya itu yang ia janjikan atas aku. Rumah ini pernah menghancurkan harapanku beberapa tahun lalu, tiga tahun yang sudah dilalui tak membuat Anna yakin untuk menyandarkan hari tuanya bersamaku, dan aku keluar dari pintu yang sama dengan janji yang tidak terucap, aku tidak akan pernah mengetuk pintu itu lagi. Hari ini, aku minta kesempatan kedua, kepada hatiku untuk memaafkan semuanya, melangkah ke pintu itu, dan menceritakan semua yang terjadi, demi Aizy, dan tentu untuk aku.
Semuanya terlalu keras mengikatku, bahkan untuk sesuatu yang sama sekali tidak kuyakini, semakin jauh aku berlari, semakin semuanya terasa mendekat. Jingga langit di kejauhan, memantul keras di kaca mobilku, ada pesan yang coba ia sampaikan, dia datang saat aku sama sekali tak punya alasan, apa yang seharusnya aku lakukan, ia mengingatkan aku bahwa semua yang salah tidak selamanya akan seperi itu, seperti kedatangannya sepuluh tahun lalu yang menyisakan penyesalan yang dalam untukku. Aku kirimkan lekas senyumku untuknya, dan segera aku berjalan cepat menuju pintu rumah itu, dan tak perlu aku mengetuk untuk kedua kalinya Anna sudah berdiri disana tersenyum dan membukakan pintu rumahnya lebar-lebar. Aizy sudah berada di dalam sana, tepat duduk di depan piano kesayangannya, dia ulurkan tangannya tanda panggilan, segera aku menghampiri tubuh kecil berbalut gaun pendek berwarna biru, dia cantik sekali hari ini. Aizy menengokkan kepalanya ke atas langit-langit rumah, semua angka tujuh yang kami kumpulkan tergantung disana, mulai dari potongan majalah, potongan plat nomer mobil camat yang kita berdua sangat benci, hingga nomer antrian dokter yang waktu itu kita mendapatkan nomer antrian periksa yang ke tujuh puluh tujuh. Ia mendekatkan kepalanya ke telingaku, tangannya yang dingin erat memegangku, sepertinya ia baru selesai mandi, sedangkan kakaknya….kumel berbau matahari karena seharian keliling kota untuk melengkapi seribu buah angka tujuh untuk upeti dia bernyanyi. Aku Tanya apakah semuanya sudah lengkap seribu buah, dia menggelengkan kepalanya, aku liat nomer rumah Anna juga masih terpasang rapi di tempatnya, “ Bukan nomer rumah itu yang akan melengkapi semuanya, aku menunjuk ke arah rumah ini untuk menuntun kamu agar lebih terbuka dan memaafkan, bukan untuk kembali lagi pada Kak Anna, tapi semata untuk membuat kebahagiaan kamu lebih sempurna, dan itu juga akan lebih sempurna juga untukku.”
Terduduk tenang aku di sofa, dan Anna disana tepat di sampingku, mengalun suara Aizy dan pianonya mengisi ruangan yang dipenuhi banyak orang yang datang di ulang tahunnya yang ketujuh belas. Jingga langit masih disana, menjadi hiasan dalam bingkai jendela kayu bercat putih di rumah ini. Lembayung ternyata tidak pernah datang terlambat, setidaknya tidak untuk kedua kalinya.
 
Copyright (c) 2010 karma sang fajar. Design by Wordpress Themes.

Themes Lovers, Download Blogger Templates And Blogger Templates.