Tuesday, May 19, 2009

Terbentang alasan sang surya setia

Tak perlu dijabarkan dengan rangkaian bahasa

Ia terlalu pelik….

Terlahir atas restu sang maha romantik

Marka pasti pergantian hari

Di tangannya kuasa atas jingga menghias senja

Karenanya pulalah lelap terusik

Mengusik hati sang para khalifah masa

Kusinari langkahmu semua ucapnya….

Maka terbangunlah dengan syukur dan sejuta tawa

Jam sepuluh pagi, di lantai tiga lagi, melihat penjual kue tua yang berjualan dengan setia tepat di bawah gedungku lagi, usia lanjut tapi tetap setia dengan profesi yang telah memberinya makan hingga merasakan usia setua itu tanpa dihentikan oleh mati kelaparan. Sama juga dengan preman yang terkena razia di pelabuhan kota kemarin lusa, tidak kalah renta, tidak kalah setia, eksis selalu dengan profesi premannya, dia tidak pernah sadar bahwa bentuk garuda pada tato di lengannya sudah hampir menyerupai burung pipit karena tempat ia menempel sudah terlampau mengkerut. Akupun kurasa harus begitu, eksis dengan dunia desainku sampai usiaku tumbang, maka dari itu aku harus menabung, siapa tahu nanti ada layar komputer yang sebesar bioskop dijual di pasaran, jadi walaupun mataku sudah berkurang ketajaman visualnya, tapi aku masih tetap bisa bekerja dengan bantuan layar sebesar itu, lalu mau disimpan dimana? Ya mungkin teknologi nanti juga bisa menciptakan fasilitas pendukung, siapa tahu layar sebesar itu bisa dimasukkan kedalam sebutir kapsul, ya….kita serahkan saja semuanya pada Allah…amin….

Setelah semua laporan selesai kuprint, sambil menunggu follow up dari pak Marlan, aku dengan sengaja, dan dengan kesadaran penuh turun dari lantai tiga ke lantai dasar gedung untuk membeli beberapa potong kue dari si bapak tua. Beberapa potong aku makan di tempat, takutnya kalau semuanya kubawa ke ruangan nanti teman-temanku yang lain minta, bukannya aku pelit dan tidak mau berbagi dengan mereka, tapi takutnya aku disangka mengajarkan kebiasaan buruk yaitu makan di ruangan kerja pada jam kerja pula. Sambil makan aku ngobrol dengan si penjual kue, maafkan aku mama, aku telah melanggar perintahmu, karena kau selalu bilang kalau makan jangan bersuara, tapi kan capek ma kalau ngobrol sama si bapa pakai bahasa isyarat, belum tentu juga kan dia akan mengerti. Dia cerita bahwa sekarang ia tinggal sendiri di Pontianak, dua anaknya sudah tinggal jauh merantau, yang satu ke Taiwan, dan yang satunya lagi tinggal di Batam, dua-duanya perempuan, mereka pergi mengikuti suaminya masing-masing, soalnya kalau mengikuti suami orang takut dipukuli masyarakat. Istrinya baru saja meninggal lima bulan yang lalu, kasihan si bapak, tadinya aku mau ngomong sama dia agar mengangkat aku saja jadi anaknya kalau dia mau, tapi aku segera mengurungkan niat itu, aku takut nanti si bapak disangka pernah selingkuh sama orang negro jadi punya anak keling sepertiku, padahal aku yakin si bapak orang yang setia, karena foto istrinya masih ia tempel di gerobak jualannya, dan ia tunjukkan padaku dengan mata berkaca-kaca.

Pak Marlan memanggilku ke ruangannya untuk mengambil berkas yang tadi aku berikan ke ruangannya, terus sekalian juga dia titip kue, dasar pak Marlan, kok tahu dia aku disini, padahal kan aku duduk sengaja mencari tempat tepat di bawah tenda gerobak si bapak tua agar tidak terlihat dari lantai atas, ternyata baru saja dia dari ruangan marketing di lantai satu, dan itu berarti tegak lurus dengan tempat aku duduk, pak Marlan ini ada-ada saja, kan aku jadi tidak enak hati, tapi tiba-tiba jadi enak lagi karena pak Marlan menyuruh aku ambil uang buat bayar kuenya sekalian juga hitung yang aku makan.

Hari sudah sore, langit mendung, jam setengah lima sore tampak seperti jam sebelas malam, hanya bedanya jalanan di depan gedungku belum dipenuhi PSK yang jadwal keluarnya jam sebelas, bukan berarti aku salah satu konsumennya ya, tapi aku pernah lembur sampai jam satu malam dan melihat mereka bermunculan seperti kodok keluar dari air saat hujan, tidak keliahatan jelas, tiba-tiba banyak saja mereka di depan gedung kantorku, untung saja mereka tidak menerapkan strategi coba dulu, kalu puas baru beli, seperti SPG makanan ringan di swalayan-swalayan.

Aku harus pulang segera, nanti malam aku diundang temanku pameran tunggal lukisannya di taman budaya, sebenarnya aku agak sedikit malas, tapi dia mengancam kalau aku tak datang, lukisan foto keluarga yang dia janjikan gratis untukku akan dibatalkan, jadi aja harus datang, kenapa coba pake mengancam begitu, padahal dengan dia bilang di pamerannya banyak makananpun aku akan datang kok, nanti-nanti lagi aku harus janjian dulu sama dia kalau mau ancam-ancaman, biar nantinya tidak ada yang sakit hati dan salah mengerti, dan agar terlihat lebih eksklusif saja, maksudnya?!?!………..ah sudahlah.

Tiba di tempat pameran, malam ini pembukaannya, aku datang sendiri tiada teman yang menemani, Jani ada rapat di Jakarta tapi dia tidak mengajakku, dia bilang ini rapat kantornya, bukan family day…ah Jani tuh ada-ada saja. Jadi aja kan aku sendiri kayak orang bego ke tempat pameran, biasanya aku mengajak Dira temanku kalau ke acara-acara pameran senirupa seperti ini, dia pasti suka, tapi waktu tadi pagi aku ajak dia, dia bilang tidak bisa, aku tanya apa dia ada janji, dia jawab tidak, mau bertemu klien, dia jawab juga tidak, terus kenapa ya dia tidak mau, dia bilang yang pameran malam ini kan dia, makanya secara sistem kan yang pameran datang duluan, ohh….

Ada yang menari-nari di awal pembukaan pameran, baru MC ngomong, terus sambutan-sambutan dari ini…itu…entah….tapi yang pasti aku ngantuk dan malas sekali mendengarnya, terlalu bertele-tele. Tapi orang yang di sebelahku serius sekali sepertinya mendengarkan kata demi kata, mukanya seperti pemerhati seni, atau dia pengrajin mikrofon dan mimbar kayu, makanya dia lihat setiap orang yang bicara di mimbar forum. “ Mas, acara masaknya kapan ya?” Dia sedikit terkejut karena aku bicara padanya tiba-tiba, terus dia mengerutkan dahinya pertanda bingung, “Memangnya di agenda pameran lukisan hari ini ada acara masak-memasak juga ya, saya kurang tahu tuh mas.” Si laki-laki tua gondrong itu sepertinya terganggu dengan pertanyaanku, dan dia langsung membuka buklet agenda pameran yang dipegangnya, sebelum dia mulai bicara lagi, aku bertanya duluan padanya, “ Jadi ini bukan pameran dan launching merk wajan baru mas ya, saya kemarin lihat di berita ada pameran merk wajan baru, launching wajan berbentuk segi enam, terus saya datang karena ada acara makan-makan gratis, tahu begini lebih baik saya tidur, tapi tak apa lah, sekalian saya sudah disini, gak enak juga kan pak kalau saya keluar forum sekarang, iya kan pak?!” Kok si orang tua gondrong itu tidak menoleh lagi ke arahku, “ Iya “ Jawabnya.

Dira tersenyum lalu mengahampiriku, dia bilang terima kasih sudah datang, aku bilang tidak masalah, kecuali dia pameran di Timor Timur baru aku tidak akan datang, lagipula pasporku sudah habis. Dia tanya apa kabar kuliahku, aku jawab sehat-sehat saja baru kemarin suntik tetanus. Dia tanya kapan aku lulus, aku bilang sebelum aku kawin, dia tanya lagi kapan aku kawin, aku bilang setelah aku lulus kuliah, dia tanya apa otakku belum sehat juga, aku tak menjawabnya soalnya nanti jadi keterusan nanya, memangnya aku kantor informasi pajak.

Aku melihat lukisan Dira satu-persatu, kadang dua-perdua, kadang misi-permisi, terus dia tanya komentarku, aku bilang bagus, warnanya penuh pasti catnya mahal, dia diam terus ngomong lagi kalau yang dia maksud itu konsepnya, concept…bukannya itu nama majalah desain grafis, apa dia lupa kalau aku desain produk. Dira kakak kelasku di kampusku dulu, kita cukup dekat karena satu pandangan denganku bahwa bulan itu mulus dan cantik, biarpun kata orang kalau wajah wanita cantik diumpamakan seperti rembulan itu salah, karena rembulan itu berongga-rongga. Biarlah, anjing menggonggong, kafilah mengembik, Dira mengaum, aku melongo, SBY pidato, hah…SBY siapa, Surabaya?!?!

Dira pulang bersamaku, mobil dia ditinggal di tempat pameran, kita mau makan malam bersama agar orang menganggap kita sangat akrab, padahal biasa saja. Kita singgah di warung kwetiaw yang cukup terkenal disini, letaknya di perempatan jalan, jadi aku dan Dira bisa makan sambil membahas polisi yang sedang berkumpul di posnya, entah menunggu orang yang melanggar lampu merah, atau menunggu giliran jaga dengan Hansip. Semua kita bahas, mulai dari kota yang cuacanya tidak bisa ditebak, listrik yang tidak bisa diandalkan kapan dia akan stabil menyala sehingga membuat pameran Dira terancam, kok aneh….bukannya sudah lama kau merasakannya, aku kan baru dua tahun disini, jadi wajar saja masih asing dengan keadaan lampu jalan yang selalu mati karena belum mendapat giliran jatah listrik. Dira lahap sekali makannya, satu porsi sudah habis dilahapnya, sekarang pesanan piring kedua sudah datang, kasihan dia mungkin beberapa hari ini lelah mempersiapkan pameran sampai lupa makan, pantaslah badan dia sudah mirip dengan jenglot, kurus kering, gigi berantakan, rambut gondrong tanpa belahan. Aku heran, padahal yang sebenarnya orang Pontianak itu Dira, tapi justru dia yang lebih tak betah dan tak tahan dengan suasana kotanya, yang dia bilang sepi dan panas, seingatku dulu semasa kuliah dia hanya pulang ke daerahnya saat Lebaran saja, dasar anak tidak berbakti, aku curiga dia dulu menghabiskan masa remaja di inkubasi, terus mamanya menyediakan home school untuk dia, jadi Dira tak pernah sadar kalau keadaan kotanya sudah seperti ini sejak dulu, atau bisa jadi kalau Dira tetap berpikiran bahwa Pontianak bukan di Kalimantan, tapi salah satu distrik di Rwanda.

Walau apapun yang terjadi kuucapkan selamat padanya karena ia telah sukses meyakinkan orang bahwa gambar mahluk bernyawa tidak selamanya haram, minimal itu menurut ayat Dira. Selamat malam seniman……

0 comments:

Post a Comment

 
Copyright (c) 2010 karma sang fajar. Design by Wordpress Themes.

Themes Lovers, Download Blogger Templates And Blogger Templates.