Thursday, December 23, 2010

Apa yang aku tunggu, sungguh tak benar-benar hanya tentang kepulangannya hari ini. Pukul tujuh malam sekarang, tak seharusnya aku datang secepat ini untuk menjemputnya, masih satu jam lagi, dan aku berpikir aku butuh sedikit waktu untuk mempersiapkan hatiku untuk menyambutnya pulang, bukan untuk kecewa, itu sudah biasa, rentang enam tahun aku mengenalnya cukup memberiku perbendaharaan peristiwa yang berlabel kecewa, tapi aku ingin semua tahu hebatnya manusia itu, rasa kecewa di awal selalu berakhir dengan tertawa dan kebahagiaan bersamanya, dan itu sungguh membuatku merindukan laki-laki itu, jadi untuk sesuatu yang bernama kecewa aku pikir tak perlu untuk mempersiapkannya. Aku justru belum siap dengan suatu rasa...... bahagia, andai dia memberikanku kejutan, oleh-oleh mungkin, atau sekedar permintaan maaf yang tulus , karena ia adalah orang yang sulit mewujudkan permintaan maaf kedalam suatu bentuk mahluk bernama kata-kata, jika ia mengucapkannya, aku tahu bahwa dia sangat menyesal, dan aku belum siap untuk menyikapi rasa bahagia itu, aku belajar seni tari, aku belajar seni peran, tapi aku sama sekali tak memahami bagaimana seni bahagia, ataupun sedikit tertawa untuk bahagia itu sendiri. Aku terlalu berharap apa yang akan terjadi hari ini berjalan sempurna, bukan untuknya, tapi untukku, yang dulu tak pernah tahu bahwa ia sempatkan lima menit dalam paginya yang padat untuk membawakan segelas susu dan sepotong roti keju ke dalam kamarku, dan setelah itu, dia hanya mengusap halus rambutku yang masih terlelap tidur, lalu berlalu tanpa keinginan untuk tampak hebat di hadapanku.
Aku merasakan cinta itu setiap pagi, walaupun ia tak menyelipkan tulisan berisi kata-kata cinta di bawah piring rotiku, aku merasakan besarnya cinta, walaupun aku tak tahu dari siapa. Aku menyantap sepotong roti tanpa ketakutan akan mati, kuminum segelas susu yang tersaji tanpa perasaan aneh ataupun jijik. Aku tahu ada yang menyimpan semua itu dengan alasan, aku terlalu ego untuk mencari tahu......dan setelah kehadirannya kusadari, dia sudah terlanjur pergi.
Langit Jakarta dan bulan sabit malam itu, kombinasi yang hebat di hadapanku sekarang, mencipta cerita baru yang menitipkan sedikit tawa untukku yang sedang terduduk dan menunggu, hal yang tak pernah sedikitpun kusuka, tapi dia satu orang yang entah tercipta dari tanah lapisan mana, mampu memaksaku untuk menunggu, satu kali aku pernah menunggu untuk satu hal yang tak kunjung pasti, yang membuatku mencipta jeruji untuk mereka yang bernama laki-laki, dan semoga itu tak terjadi untuk kali ini. Ini pasti untukku aku rasa, dan aku tak pernah tahu kenapa.
Suara anak kecil di ujung telfon, aku sangat menyukainya, bahkan trauma besar yang telah mengambil adikku satu-satunya tak lantas mengurangi rasa cintaku pada mahluk-mahluk kecil yang selalu mempunyai bahasa sendiri untuk membuat kita tertawa. Seorang pria dengan logat sunda berdiri di dekatku, badannya yang tegap tak menghalangi bahasa tubuhnya yang dipaksakan agar terlihat lucu, walaupun mungkin anaknya di ujung telfon sana tak akan tahu kalau bapaknya ini telah membuat orang di sekelilingnya bahagia, sebahagia ia yang akan segera pulang untuk menemui anaknya yang sudah lama terpisah, mungkin itu yang bisa aku tangkap dari pembicaraan yang aku dengar.
Pagi itu semuanya masih berjalan biasa saja, masih dengan Norah Jones di ujung telinga yang memaksa aku untuk mempermalukan diri di depan cermin sambil menyelesaikan olah raga pagiku. Nampak tidak akan ada sesuatu yang istimewa terjadi hari ini, diatas sofa merah ini lagi, berharap fameo berani yang diusung merah akan menular padaku, yaaa....anggap saja itu mungkin. Barisan foto yang kupajang di ruang enam kali tujuh meter ini cukup sebagai teman berbagi cerita yang walaupun alurnya selalu sama setiap hari namun tidak juga membuatku bosan untuk duduk berlama-lama disini, televisi sengaja tidak kuletakkan di ruangan ini, berharap senyap saja judul aktifitasku, tak mau diganggu drama politik ataupun isak tangis para pemain sinetron yang justru akan mengaburkan semua khayalan indahku. Kuletakkan jus mangga yang setengahnya telah habis kuminum di atas meja yang dipenuhi barang-barang aneh hasil tangan laki-laki ajaib di belahan dunia lain itu, dan beberapa oleh-oleh perburuanku selama berkeliling mencari objek fotoku. Selalu membuatku tersenyum, menambah warna prosa di jengahnya hari-hariku, aku ingat padanya setiap hari tanpa kuhendaki, biarkan saja, karena hal itu tak pernah memberikan sesuatu yang buruk sejauh ini.
Pandanganku terhenti pada sebuah buku tebal yang aku jilid sendiri, seingatku masih banyak halaman kosong yang seharusnya aku isi berdua dengan mahluk ajaib itu, entah kapan akan selesai. Aku membukanya perlahan, barisan foto polaroid disertai tulisan tanganku, cerita kesana-kemari tanpa tujuan jelas...baginya, tidak bagiku, dia mungkin tak pernah sadari itu, tapi ya sudahlah.
Siang sudah berangsur datang, tas kecil berisi satu kamera digital, buku catatan, dan ponselku kuraih cepat...aku terlambat nampaknya, entah apa yang ada di pikiranku hingga aku melupakan janji penting hari ini, aku ada kelas tambahan untuk komunitas kecil yang kunamakan “starshine magz”, obsesi keciku untuk mendaulatkan kecintaanku pada bintang, gemerlapnya yang maha ajaib, rotasi hidup yang memaksaku tertegun lama dan menghitung jumlahnya yang kuyakin tidak akan berujung pada kata selesai. Aku harus mengajar para starshiner itu soal rekayasa fotografi hari ini tepat jam dua siang, dan kamu tahu sekarang jam setengah dua lebih lima menit, dengan estimasi empat puluh lima menit jarak yang harus aku tempuh berarti aku akan telat sekitar dua puluh menit,aaahhh....maafkan aku.
Mereka menyambutku dengan senyuman, dan aku hanya tersipu malu, tak hanya di awal, tapi hingga tiga jam aktifitas itu berakhir.
Di kursi pojok itu aku terduduk sejenak menjelang pulang, menghela bangga atas apa yang berhasil kususun dari bawah hingga menjadi sesuatu yang bisa menghadirkan isi kulkas dan memenuhi kewajiban cicilan motor dan rumah mungilku. Disini aku merasa berarti dalam rentang dua puluh empat tahun umurku, andai orang tuaku tahu apakah mereka akan bangga, untuk mereka yang tak pernah kutemui wujudnya aku hanya ingin berbagi bahagia ini, tak banyak yang aku minta, Cuma senyuman kecil dan sedikit usapan di kepala dari dua orang yang tak pernah meninggalkan bayangan sedikitpun pada masa kecilku hingga sekarang, rinduku tak menentu, tak tentu bahkan arahnya untuk siapa, namun walau bagaimanapun, tak boleh kuingkari bahwa mereka pasti ada, membentuk wujud dan aliran darah dalam tubuh seratus enam puluh senti dengan kulit putihku ini. Dalam beberapa waktu sedia aku mereka-reka wajah mereka, mungkin kurang lebihnya aku dengan tubuh gemuk dan sedikit lebih pendek untuk mamaku, dan wajah hitam tegas dengan hidung sedikit menyerupai bangsa Inca untuk ayahku, dan aku akan tersenyum setelah itu membayangkan kita foto keluarga bertiga pada wisuda strata duaku yang hanya dalam hitungan hari lagi akan terjadi, dan selebihnya aku tak ingin membayangkan akan melewati moment penting itu sendiri.
Kujelang pulang dengan lantang, sesaat waktu yang tersisa kusinggahkan di meja kerjaku, kiriman rutinku telah datang, terlambat satu hari tapi belum terlalu basi aku rasa, komik serialku, kaos dari penggemar majalahku di Inggris sana, dan buletin outdoor, lengkap semuanya, dan segera aku meninggalkan starshine magz, karena kira-kira satu jam lagi, Bandung akan dihiasi kemacetan dimana-mana, aku lelah...apa kira-kira makanan yang enak untuk nanti malam menghantar tidurku, mmmhh...sepertinya serabi keju enak, tak perlu kubayangkan, langsung saja kubelokkan sepeda motor matic ini ke sebuah kios penjual serabi, baunya enak sekali, sepertinya dia akan menghantarkan mimpi indah nanti malam.
Bintang bersinar di ujung jendela sana, ikut menyanyikan lulaby terakhir hari ini bersama sepiring serabi di tanganku, aku ingin berbagi sedikit cerita, kamu cukup mendengarkannya saja, cerita hari-hari normal seperti biasanya, dengan kepulan asap di hadapan helm merahku, dengan starshiner yang selalu membuatku merasa harus terus belajar demi tetap menjaga konsistensiku yang dituntut untuk lebih tau dari mereka, itu menyebalkan sekali, mereka hanya memetik buah dari pohon yang aku tanam, aku bercanda...itu hanya di pikiranku saja, aku senang menjadi tempat bertanya, membuatku lebih punya posisi diantara mereka. Sampai bertemu besok malam lagi, aku mengantuk, tak perlu aku ucapkan selamat malam, karena kupikir kita tidak punya ikatan emosional yang menjadikan itu sesuatu yang penting untuk diucapkan.
Dia datang lagi dalam rangkaian dialog di panggung yang tepat mementaskan cerita di hadapanku sore ini, ini cerita yang aku hapal benar siapa penulisnya, sama dengan penulis buku tebal di ruang santaiku, dia menyerangku dari segala sisi tak bisa kuhindari, atau memang aku yang mengizinkan itu terus terjadi. Aku menikmati setiap lakon yang tersaji, membayangkan aku yang diatas sana bersamanya, tapi tak pernah adil untukku karena pelakon dia atas sana punya akhir cerita yang bahkan sudah mereka kuasai sebelumnya, sedangkan aku, tetap meniti cerita tanpa ujung awal dan akhir, sutradara dan penulis skenarionya sedang cuti teralu lama, semoga mereka tidak lekas mati, karena aku akan terancam mati suri dalam tanda tanya besar tentang apa dialog akhir menjelang tanda selesai bagi cerita besarku itu.
Panggungnya menarik, tapi tidak sama sekali menarik perhatianku untuk mengambil sedikit foto sebagai bukti otentik aku hadir disini, aku cukup menikmati menjadi penonton biasa bersama Anita yang kubaptis dengan terpaksa menjadi penyuka teater, kasian sekali, dunia gunting kuku dan rambut yang selalu menjadi pilihan pastinya aku ganti dengan terduduk satu setengah jam menonton teater bersamaku hari ini, “ Aku tahu Drai....” Kata-kata yang terucap tiba-tiba dari mulut anita hanya diakhiri senyuman yang menggangguku, “ What? Sok tahu, emangnya udah berapa puluh kali kamu nonton teater? “ aku mencoba menjawab, walaupun sebenarnya aku tak yakin soal apa yang sebenarnya dia maksud, ” yeyyy....bukan soal teater, soal ceritanya, nampaknya aku mendengar ini puluhan kali berulang dari mulut kamu setiap kali aku menginap di rumahmu, iya kan?” Ah, ingatannya teralu tajam untuk malam ini, aku sedikit membencinya, aku sungguh tak ingin berkhayal jauh sekarang, aku ingin disini...utuh, “ Aku ga nyangka kamu bakalan ngucapin itu Ta. Kirain ga ada yang kamu ingat selain kapan terakhir kamu mewarnai rambut violetmu itu.” Anita melempar mukaku dengan keripik yang ada di tangannya, jorok sekali wanita itu, wanita berambut ungu yang selalu menjadi daya tarik mata orang yang datang ke starshine, dia icon kantorku, manusia lemot yang selalu berkata iya untuk sesuatu yang bahkan ia tidak mengerti sama sekali. Tak sedikit laki-laki yang akhirnya mengutus aku menjadi kurir pengantar coklat, puding susu, atau sekedar satu batang bunga mawar untuk Anita, ah...profesi tanpa upah nyata, hasil ketidak beranian mereka mendatangi muka garang Anita. “ Udah kebelet pulang belum Ta?” aku memaksanya menjawab untuk memberi jeda waktu hingga aku bisa mengambil kantong keripik di pangkuannya, “ Ga, pemain utamanya ganteng juga, siapa namanya Drai?” Aku menoleh lama sekali ke arahnya sambil menghabiskan kunyahan keripik di mulutku, “ Feiza, serius Ta, ya ampun...diantara deretan konsumen kurirku untuk kiriman-kiriman hadiah kamu itu, kamu akhirnya memilih Feiza untuk menyandang gelar ganteng? Aku kira mulutmu terlanjur kelu untuk kata-kata itu Ta, malah aku khawatir kamu jadi lines, dan dengan terpaksa aku harus mengeluarkan kamu dari starshine karena itu...hahahahahaha.” Anita memutar badannya cepat, entah apalagi yang akan dia lempar sekarang setelah tadi keripik, oh tidak, jangan tasmu, aku tahu itu sangat berat sekali, “ Kurang ajaaaaaarrr, I’m normaly Drai, ya mereka aja yang hanya mengirimkan pernyataan suka tanpa meminta jawaban iya dari aku, punya keberanian aja nggak, akhirnya kamu lah yang jadi kurir makanan-makanan mereka untukku yang sebenarnya sebagian besar dihabiskan sama kamu.” Oh no, banyak segmen teater di sana yang terlewat gara-gara dialogku dengan Anita, menyebalkan sekali, stop...lebih baik kita meneruskan menonton lagi, dan setelah itu kamu bebas menjadi nona violet kembali, dan aku menjadi apa?mmhhh...entahlah, menjadi owner starshine kembali yang pasti, selamat malam.

Siang tak pernah terlalu panjang....
Mengekang lelah dalam balutan cahaya yang ia cipta
Dan setelah terang cahaya itu pergi....
Aku telah terlanjur membeku disini
Bangunkan aku...
Kala aku buta akan indahnya pergantian waktu
Tak peduli saat siang itu pergi
Karena aku terlalu memberanikan diri untuk berlari menembus gelap
Tanpa batas....
Tanpa kendali...
Aku biarkan semua itu mati sendiri
Saat aku tertawa lantang, sungguh saat itu aku merasa semuanya telah hilang
Dan setelah semua mereda
Aku sadar bahwa aku yang telah mencipta kesendirian itu tetap ada
Ini pilihan, bukan ancaman
Karena saat aku merasa bahaya
Aku sedang bersiap mengganti semuanya
Bahkan bekupun tak rela aku biarkan pergi
Apalagi aku yang secara sengaja membuat semuanya berganti
Aku menikmati ruang yang mereka namakan sendiri
Aku bahagia berada di batas waktu, yang mereka namakan mekanisme kaku
Karena aku yakin....
Aku punya bahasa bahagia sendiri
Dan mereka semua tidak akan pernah mengerti

Pagi ini aku malas sekali terbangun, entah kenapa, harusnya aku tak sendiri....Yovan terlalu puas menikmati hidupnya enam tahun saja, dan memustuskan untuk pergi meninggalkanku setelah itu. Dia adik yang kupilih sendiri, saat usiaku belum diizinkan negara untuk melakukan adopsi, namun setelah semua pihak mendukungku, aku boleh membawa bayi berumur satu tahun yang selanjutnya menjelma menjadi adik kecil yang kupanggil Yovan, aku hanya berkhayal bahwa ia adalah adik yang ditinggalkan ibu untukku, kala ia lihat anaknya ini hampir mati dalam sendiri, bahagia....untuknya yang memakai baju TK pertama kali dan berlari dengan sepatu karetnya yang mengeluarkan cahaya, gaji dari hasil honor liputan dan kontribusiku pada majalah anak-anak akhirnya mampu kukumpulkan dan kubelikan sepatu dan keperluan sekolah dia pertama kali, dan usianya empat tahun waktu itu. Semua tampak normal hingga detik terakhir dia pergi....aku pikir gejala parkinson kecil yang ia idap tidak terlalu berbahaya, dan aku sangat percaya waktu itu kepada dokter yang mengatakannya. Namun saat ia bermain tiba-tiba ia terjatuh dengan benturan kepala yang menyebabkan luka yang terlalu parah dan menjadi tiketnya pergi tanpa mengajak aku, dan setelah lima tahun saja aku memilikinya, aku akhirnya kembali sendiri.
Sungguh tak seharusnya pagi ini aku menyantap corn soup panas ini sendiri, andai Yovan disini, kita pasti berbagi, karena ini makanan yang sungguh sangat ia sukai, aku suapkan perlahan, memberi rentang waktu dan dimensi andai Yovan memutuskan untuk kembali, lama.......lama sekali aku menjalani ritual makan perlahan itu pagi ini..perlahan....hingga aku tiba di titik sadar bahwa semuanya akan mengakibatkan ini semakin buruk dan berbahaya untukku, aku berhak untuk memulai dan mengakhiri ini, otakku tak kubiarkan beku, ia berpikir cepat...kuraih telfonku, Anita...aku yakin dia tidak akan menolak perintah dariku untuk datang ke rumahku di minggu pagi, kalau dia ada perlu?!....mmmhh, sepertinya tidak ada, aku sedikit yakin soal itu, soal apa yang akan ia lakukan di minggu pagi, dan aku percaya dia akan sangat senang berbagi kesendirian dan akan bertransformasi menjadi keceriaan bersamaku Drai Vanatriandri yang menyandang status sebagai atasan untuk Anita di Starshine, namun untuk panggilan ibu atau panggilan lain bernada hormat, aku menolaknya, aku benci mencipta jarak, apalagi untuknya, yang selalu menjadi hiburan dengan segala kebodohan dan kepolosannya, maafkan aku Anita...tapi tolong jangan menolak ajakanku untuk menghabiskan hari minggu berdua, aku rela kalau nanti ada saatnya kamu kejam dan memaksaku diam menerima kutek violet kamu oleskan di kukuku, tapi tak apalah, asal kamu disini hingga pertunjukkan sinar bintang itu menghampiri lagi.
Memang sungguh nona ribet seluruh alam manusia itu, ya ampun Anita...dengan tas tangan di sebelah kiri dan plastik belanjaan di tangan kanan, sungguh bukan kombinasi yang nyaman untuk memencet bel rumah di depan pintuku...untung saja telingaku cukup tajam untuk mendengar suara rem taksi yang mengusikku dari kamar tidur yanga berada di lantai atas rumahku. Aku hanya memandangnya dengan lucu dari lantai atas melihat dia yang kesulitan menggapai bel yang hanya berjarak satu jengkal dari hidungnya,”Ahhhh...Drai, bukain lah, iseng amat cuman nontonin dari atas situ.” Akhirnya dia melihatku, bahayaaaa...pasti habis tanganku kena cubitan tangan-tangannya yang lentik itu, lebih baik aku segera membukakan pintu untuknya di bawah, sebelum hukuman atas keisenganku bertambah.” Hei...tumben cepet?” Entah apa yang dibawa Anita untuk mengekspansi kamarku menjadi kamar wanita sesungguhnya, biar aku tebak, majalah mode, make-up lengkap trend tahun ini, sendal berhak tinggi baru yang akan bergantian di mix and match dengan short dress dan celana kulit dan tengtop putih, wow....aku tak pernah berani membayangkan semua benda itu menggerayangi badanku. “ Aku bawa banyak makanan, untuk kita berdua, aku yakin baru nutrisi dari jagung serut dan susu kental dengan telur dan sedikit tepung itu yang masuk ke lambungmu kan, udah kubilang Drai...cobalah kamu kurangi kebiasaan sarapan anehmu itu, aku yakin air putihpun lupa kamu minum pagi ini kan?” gerbong kata-kata tanpa rem itu seraya memberondongiku, cerewet sekali Anita, tapi tak apa, aku suka sekali pilihan makanan yang sejauh ini selalu ia berikan untukku, aku kelaparan bukan karena tak punya uang, tapi terlebih karena miskin keinginan, pemalas ini terpasung, dan akhirnya Anita yang membukakan semua kuncinya, aku terbebas, makan enak, dan berubah menjadi sedikit feminin tanpa ketakutan akan ditertawakan banyak orang, karena disini hanya kita berdua yang tahu kegilaan apa yang hari ini akan meriuhkan kamarku.
Dan malam hari di week day ini mungkin menggambarkan ketidak aturanku saat ini, violet girl itu di sampingku, dekat, sambil memperlihatkan majalah kecantikan yang sungguh tak kumengerti sedikitpun, aku pasrah pada segmen berikutnya, ketika tas besar itu dibukanya, dan abrakadabra...aku harus rela menjadi badut eksperimennya. Masih ada kurang lebih sepuluh menit lagi menuju waktu eksekusi, kalkulasi dari setengah eksemplar majalah yang belum selesai ia pamerkan padaku, tak kumengerti sama sekali, dunia kita berbeda seratus enam puluh sembilan koma tujuh derajat, itu juga dipukul rata-rata mood-ku yang naik turun soal selera makan yang biasanya serupa dengan mahluk itu, dan sisanya...jangan berharap kita beremulsi menjadi satu formula yang mengusung pola pikir yang sama, kita sangat berbeda. Dan siapa yang sebenarnya menempati dunia yang normal, tak pernah ada yang tahu, atau mungkin kita berdua sama-sama mencipta dunia kita masing-masing yang orang lain tak akan pernah mengerti.
Ini hari kamis, seharusnya ia tidak disini, besok masih hari kerja, dan jaminan tidak akan tidur dibawah jam sebelas malam memberikan bonus bangun siang dan masuk kantor telat untuk besok pagi. Ayolah, kita menikmati waktu dua setengah jam berhura-hura wanita menurut judul yang ia berikan untuk aktifitas ini, hingga nanti tiba pada area pukul setengah sebelas yang akan kita habiskan untuk berbagi cerita, berbagi susu es, dan selimut tebal, dan saat itu tidak tertutup kemungkinan ia menjelma menjadi mahluk berbeda bentuk, dan aku tak akan pernah tahu malam ini dia akan menjadi miss. Bijak, Miss. Bawel, Miss.Melow...mmmhh...kedengarannya yang satu itu enak, menyerupai makanan favoritku.....ah, aku siap untuk kejutan yang akan kamu berikan dua setengah jam lagi, tapi untuk sepuluh menit yang ternyata sudah dilewati tanpa terasa itu, aku sungguh tidak pernah siap, dan tidak pernah terlatih untuk cepat-cepat mengelak, karena tangannya sudah memegang kotak riasan yang dikeluarkan dari tas besarnya, aku pasrah.
Aku menjelma menjadi wanita yang baginya sangat indah untuk mengusung riasan layaknya Moulin Rouge, dan selanjutnya kamera ponselnyalah yang akan beraksi, aku sudah capek meminta tolong dan memohon padanya untuk tidak menyimpan hasil foto eksperimennya atas aku di jaringan sosial dunia maya, biarkan saja, aku cukup bilang, " Itu tidak akan mengurangi pesonaku kan di mata para laki-laki, jadi silakan saja kamu berhura-hura dengan kamera ponselmu." Dan apakah itu cukup meredakan nafsunya untuk menjadi fotografer fashion? owh...tentu tidak, nafsunya malah semakin menggila, biarkan saja.

Sunday, October 17, 2010

Vlade Plum, huruf L yang terpampang disana mulai meredup, tapi tulisan sembilan huruf itu tetap menunjukkan mukjizatnya, Rayya yang kaku, bangun setiap pukul lima pagi untuk mengawali semua aktifitas yang akan berakhir saat coffee maker kuhidupkan sambil kuletakkan semua tas dan lembar kerja yang sudah menemani berjam-jam waktu harianku hingga pukul setengah tujuh menjadi jadwal tetap gelas kopi keramik putih bertuliskan “happy ending” itu menemani di samping sofa tanpa mengerti aku yang tertawa sendiri menonton rentetan DVD komedi yang akan menghantarkanku tertidur di pukul sepuluh, berulang terus seperti itu, mencipta hidup kaku laksana batu. Tapi tidak disini, Vlade Plum tanpa paksaan yang menyiksa, ataupun rayuan garansi uang kembali telah berhasil memasung Rayya yang kaku dan kontra nocturnal ini untuk bertahan hingga pukul dua belas lewat lima menit. Kafe kecil yang menyaji Latte hangat dengan roti kering lapis coklat dan blackberry cukup menjadi surga kecil tanpa suara “emmmhh.....” yang biasanya keluar dari mulut pelayan saat melihat konsumen awet yang telah bertahan hampir tiga setengah jam dengan pengulangan pesanan yang sama dalam rentang satu jam, apakah itu syarat aku untuk bertahan lebih lama disini tanpa dinikmati, tentu saja kamu salah kalau berpikiran seperti itu, aku sangat menyukai dan menikmati yang kupesan, walaupun itu telah melebihi porsi normal orang menikmati Latte dan cemilan roti kering.
Di meja yang kupilih ini aku hanya termenung menikmati setiap pergantian cerita yang menghiasi trotoar di samping kafe, mulai dari sekumpulan pegawai supermarket yang menikmati waktu pulang sebagai kepuasan kecil setiap sore hari dan menganggap itu bonus harian yang mengikuti gaji mereka yang mungkin tidak terlalu besar, selang waktu yang tidak lebih dari setengah jam hingga mereka pulang masing-masing itu hangat dipenuhi tawa dan gosip-gosip hangat yang mewarnai hari mereka. Riuh pegawai supermarket berganti hening, tadi ada dua kelompok remaja yang memanfaatkan lantai trotoar sebagai kanvas raksasa dimana berkaleng-kaleng cat semprot mereka habiskan untuk menggambar dan mencatat nama mereka masing-masing, dengan perbandingan yang tentu saja lebih banyak nama mereka dibanding karya gambar, dan malam hari merupakan waktu yang mereka pilih karena dapat mengurangi resiko mereka untuk balap lari dengan polisi karena aktifitas seni ilegal mereka di trotoar kota. Aku memilih satu meja pojok yang berbatasan langsung dengan muka jalanan diantara empat meja yang terletak di luar bangunan utama kafe dan enam meja yang terletak di dalam bangunan Vlade Plum, karena disini aku bisa menikmati visual malam dengan nyata dan tentu saja dengan sejuta cerita yang pernah tersaji di meja ini.
Kusisakan satu kursi di depanku dengan sengaja, formasi ini mentransformasi aktifitas menarik di setiap malam menjalang tujuh belas agustusan, magnet lain dari Vlade Plum adalah tawaran dia untuk menyajikan tontonan pasar malam yang menghiasi lapangan kosong tepat di seberang jalan yang dipenuhi ribuan orang menjelang hari kemerdekaan, dan tepat pada tanggal tujuh belas agustus pagi hari semuanya dipaksa menghilang dan berganti barisan upacara dan tujuh belas siswa kelas dua SMA yang mengharap-harap cemas karena diberi tugas mengibarkan bendera. Kursi itu tetap kusisakan untuk kamu Marlin, gadis tercantik, kloning terbaik yang dihadiahkan ibuku saat usiaku empat tahun dulu, dan setelah orang tua kita pergi, total hanya dia yang aku punya, untuk menikmati kopi berdua, atau hanya sekedar tertawa semalaman mendengar teriakan orang-orang di area tong setan, membayar sepuluh ribu untuk histeria sepuluh menit. Cukup sedikit usaha saja mungkin, dan “Alakazam......” kau akan berada tepat di depanku, tapi semua saling bertarung, antara rindu dan keinginan aku dan Marlin untuk mencipta keajaiban untuk pertemuan yang entah kapan akan terjadi.
Kesepakatan yang aneh itu menjadi beban pada awalnya, dipaksa untuk berpkir mencari jalan untuk bertemu dengan larangan untu menelpon ataupun mengirm surat, tentu saja yang kedua itu akan sulit dilakukan karena kita berpijak di tempat yang sama tidak pernah lebih dari satu bulan, tapi kesempatan untuk alternatif pertama tentunya terbuka lebar, karena aku tahu hampir semua teman-teman Marlin. Empat tahun sudah semeneak prasasti itu resmi didaulatkan, aku melangkah ke Guatemala dan Marlin memilih arah ke Perth, dan setelah itu kita sama-sama menghilang dimakan bumi tanpa tahu keberadaan masing-masing. Kini akucukup menikmatinya, misteri yang mungkin akan menyisakan keindahan pada akhir prosanya, setiap saat aku menebak-nebak dimana kiranya kita akan bertemu dan menikmati Latte lagi berdua, semoga bukan di Vlade Plum, karena akan menjadi alur sinetron yang sama sekali tidak menarik untuk diperbincangkan. Berangan-angan akan suasana yang dramatis, ataupun hanya bengong berdua menikmati perubahan masing-masing yang terjadi dalam kurungan waktu empat tahun, atau mungkin heran karena sama sekali tidak ada yang berubah.
Pasar malam tetap menjadi eksotisme yang membuai kita sejak ayah kita mengajak kita pertama kali empat belas tahun yang lalu, kau berumur empat tahun waktu itu, dan aku sudah mulai menikmati euforia lupus dan trio libels di usiaku yang menginjak sembilan tahun. Dan setelah itu setiap menjelang tujuh belas agustus adalah perburuan pasar malam bagi aku dan Marlin, dan semenjak tujuh tahun yang lalu pencarian pasar malam kita berakhir di sudut yang sama, lapangan kosong yang berubah riuh yang tepat bisa kita nikmati dari meja pojok yang selalu tersedia di Vlade Plum, menu minuman dan cemilan yang selalu tersedia dan tidak pernah mengalami transformasi berarti kecuali harganya dari pertama kali kita ke tempat ini tujuh tahun yang lalu kita cukup menghabiskan sembilan ribu untuk satu gelas latte dan dua potong roti kering, dan hingga terakhir kucek bon pembayaranku aku harus mengeluarkan empat puluh delapan ribu untuk dua gelas latte dan empat potong roti kering. Esok pagi sehrusnya kita melakukan perburuan kedua keliling kota, topeng monyet...cukup menjadi teater termegah bagi Marlin, da aku cukup tersenyum melihat gadis itu bahagia melihat polah hewan kecil yang tidak pernah lelah berlompatan diantara riuh orang yang mengelilinginya. Dan tahukah kamu Marlin, sekarang kita tidak perlu keliling kota hingga ke pelosok kampung untuk mencari pertunjukkan topeng monyet, kita cukup menyusuri perempatan jalan dan tersajilah pertunjukkan itu untuk kita, dan aku yakin kamu sudah tahu itu, karena koleksi stik eskrim yang terpampang di papan tulis sebelah luar Vlade plum tepat di sebelah poster Rolling Stone telah bertambah oleh karya stik eskrim buatanmu, media yang cukup menarik untuk kita berhasta karya, itu menurut J.S. Badudu dalam cakupan EYD yang baik dan benar...aduhhh.....klasik sekali. Dan tmbahan stik eskrim di papan tulis itu menunjukkan bahwa si pemiliknya telah menikmati Latte made in Vlade Plum sebelum aku tiba malam ini.
Aku rindu, tak usah kusangkal itu, tapi biarlah perjuangan kita saling mencari tidak ternodai oleh jalan curang yang akan kuambil untuk mempercepat pertemuan. Dan sekarang hampir jam dua subuh, riuh pasar malam mulai mereda sedikit demi sedikit, aku cuku tersenyum dan Arini di ujung sana sudah mengerti bahwa ritual tiga gelas Latte dan enam potong roti keringku akan segera berakhir, dia salah satu bukti nyata Vlade Plum tidak pernah mengalami transformasi besar, Arini telah menjadi manager operasional sejak pertama aku kenal tempat ini hingga sekarang. “ Kapan kamu kesini lagi?” Pertanyaan Arini mengalun pelan sambil meletakkan bon yang harus kubayar, “Entah....aku tak pernah tahu.” Jawaban pendek dan senyuman kecil dariku cukup membuat dia mengerti, “ Sebentar ya, aku ambil kembalian sekalian compliment gelas kecil Moccachino untuk pelanggan terawt Vlade Plum.” Kita tertawa kecil mendengar statement yang tidak pernah terdengar menyindir keluar dari mulut Arini,” Apa kali ini regukan terakhir yang kupasrahkan pada gelas kecil Moccachino itu akan kemanisan juga, dan semakin menguatkan aku untuk tetap lebih memilih memesan Latte panas dibanding Moccachino Vlade Plum yang lebih dikenal orang itu?!” Arini tersenyum sambil menyentuh pipinya dengan telunjuknya yang malam ini berhiaskan kutek berwarna ungu, “Mmmmmhhh..sepertinya iya, karena kamu tahu harga Latte kan lebih mahal, jadi biarlah kamu tetap memesan itu pada kedatangan berikutnya.” Dia tertawa sambil hendak membalikkan badan, tapi tertahan karena ia menemukan sesuatu di saku Blazer hitamnya, “ Oh iya Rayya....sepertinya kuas ini milik Marlin, tertinggal saat ia kesini.” Ya, aku sangat mengenal kuas kecil itu,” Iya, biar kusimpan. Memang kapan dia kesini?” aku meletakkan kuas itu di kantong depan tas kerjaku,” Kurang lebih enam jam yang lalu, tak berpaut jauh dengan kamu datang kan?! Sepertinya jarak semakin mendekat Rayya, mungkin sebentar lagi kalian akan bertemu.” Arini kembali mendekatiku, “ No....dulu di Pattaya kita menginap di hotel yang sama, dengan jarak aku check-out dan dia check-in hanya sepuluh menit, dan itu dua tahun yang lalu, dan hingga sekarang kejadian itu tida pernah menjadi awal pertemuan yang mudah, mungkin tidak juga untuk kejadian hari ini.” Aku mebalas senyumnya yang berangsur berubah menjadi rasa heran, “ Dua saudara yang aneh.” Arini menggeleng kepala sambil berlalu dariku yang kembali tenggelam dalam pesona kerlip lampu pasar malam yang sekarang tanpa dihiasi suara......Selamat malam Marlin.

Wednesday, July 21, 2010

Sunday, July 4, 2010


Besok aku pergi noah.....
aku tak pernah tau bagaimana cara yang bijak menyampaikan ini padamu

Friday, July 2, 2010

sepekan sebelum hari ini Noah.....
tepat lima tahun sudah kamu hanya meraba untuk mengenaliku, aku tak pernah lekang untuk meminta maaf padamu atas itu, walaupun mungkin bukan aku yang mengambil semua warna yang seharusnya menjambangi kornea indahmu. kebisuanmu atas waktu yang membuatku berpikir semua tak pernah terlalu sia-sia untuk kulalui bersamamu, kutiupkan lilin kue ulang tahunku untuk kamu, semoga kamu bisa menciumi kebahagiaanku tepat beberapa puluh senti jarak di bangku taman yang penuh kugambari wajahmu. Selamat ulang tahun untukku, kau cukup tersenyum Noah.....itu cukup sebagai hadiah terindah hari ini....

Thursday, July 1, 2010


Aku membeli dua buku yang sama, agar kita bisa saling berbagi cerita, karena rentang waktu yang kita hirup bersama tak juga bisa menciptakan bahasa yang tepat untuk membuat kau mengerti bahwa aku membutuhkanmu. Empat tahun kurang satu menit sudah aku selalu tak tahu apa yang harus kuberikan padamu menjelang pukul dua belas malam menjelang pergantian umurmu. Satu detik di depan toko cokelat cukup membuatku takut akan omelanmu karena efek gemuk yang akan meruntuhkan program diet yang mengungkung kebebasan wanita itu beberapa tahun belakangan ini. Ungu muda anggrek di etalase toko bunga itu tak juga membuatku lega, karena ia tak punya bahasa yang cukup elegan untuk membuatmu tersenyum dan berkata terima kasih.
mungkin segelas teh hijau di pinggir pantai sambil menghitung jajaran bintang adalah hal terindah yang akan membuatmu bersandar manja di pundakku, tapi kau tahu wanita itu tak pernah punya waktu untuk sekedar dua jam di pantai bersamaku. Aku hanya menikmati sepuluh menit di malam minggumu tanpa tumpukan bon yang harus dipindahkan ke buku laporan, hanya untuk sekedar menikmati wajahmu yang cantik berbaur dengan peluh, sepuluh menit di ujung sabtu kuhabiskan hanya untuk memuji program dietmu yang mungkin hanya mengurangi satu persen dari bobot pipimu, dan itu cukup untuk membuatmu terdiam dan memandangi wajah di dalam spion motorku.
Kini tepat satu menit sebelum pukul dua belas di hari kelahiranmu yang sudah berulang dua puluh tujuh kali tanpa henti, hanya sekedar untuk mengetuk pintumu saja aku ragu, aktifitas yang berat mungkin telah melelapkan matamu dengan rambu jangan diganggu. tapi aku tak mau menunggu tahun depan untuk merasa menjadi laki-laki berarti dan tak pernah lupa untuk menjadi orang yang serba pertama untukmu. Aku membisikan namamu berulang dengan pelan sambil memegangi buku untukmu yang kubungkus seadanya sepulang aku kerja, dan berharap kamu menengok ke arah luar rumahmu dari balik jendela dan menyadari laki-laki ini sudah berdiri untukmu dari sepuluh menit yang lalu.
Satu menit itu habis wanita, selamat ulang tahun......kuletakan dengan ragu buku itu di depan pintu, seiring dengan pagar besi yang mulai terbuka olehmu dan seorang laki-laki yang memeluk erat pinggangmu. Aku pulang....biarkan buku itu yang bercerita tentang sepuluh menit yang kulalui dengan bayangan-bayangan indah tentangmu, empat tahun sudah, cukup untuk aku sadari bahwa aku sama sekali tak tahu banyak tentangmu....bahkan untuk tahu bahwa yang kau inginkan hadir di ulang tahunmu bukan aku. bintang......antar aku pulang......

Friday, June 25, 2010

pagi saat semua cerita berjalan pada prosanya, aku terdiam. Di kursi yang sama dan gelas kopi yang sudah mulai dihiasi retakan namun tak juga hendak kuganti, ia sudah terlalu banyak mendengar cerita yang kusampaikan sambil kutiupi panas yang hendak kusibak di atas kopi yang hendak kuminum. Semua coba kulewatkan tanpa beban yang hanya akan menambah cerita baru bagi lembar hitam yang tiba-tiba menyampaikan kelam bagi harapan yang hendak kususun. Ia tak coba hilang dengan sendirinya tanpa permisi, atau meninggalkan klapetart yang sudah kusaji untuknya, namun ia hanya tersenyum kecil bersama halaman terakhir cerita senja yang dulu tersusun berdua, ia akhiri dengan jamak tanpa meminta opini yang aku harap.
venus itu pergi....mungkin untuk waktu yang lama, semoga bukan untuk selamanya. Ada banyak senja yang ingin kubagi berdua. Untuk satu regukan kopi terakhir pagi ini aku tak ingin terdiam. Kamu terlalu istimewa...bahkan untuk sekedar mendengar kata-kata cinta. venus, aku ingin berlari tanpamu hari ini....bukan berlari menjauhimu, bukan pula berlari menujumu, aku menuju tempat yang mungkin kau tak tahu.....
Aku kehilanganmu....biarkan saja tetap seperti itu....

Tuesday, June 22, 2010

kamu berarti sejuta puisi dalam diammu, siang itu, saat kau hanya tersenyum atas dua lapis roti isi sarden yang kusuapkan padamu....kamu tak menolaknya, kamu hanya meneteskan air mata dalam kebingunganmu, tangkupan dua telapak tangan cukup membuatku mengerti atas terima kasih yang tak terucapkan olehmu. Esok hari lagi noah, saat semua lelah memasung aku dalam diam, aku akan disini, disini lagi dan mungkin tidak dengan dua lapis roti isi lagi, tapi akan kuberikan kalung untuk mengganti liontin berisi foto kakakmu yang tak sengaja pernah kurusak dulu. kau istimewa noah....andai kutahu itu dari dulu....selamat senja....kamu tak usah mengantarku ke depan gerbang stasiun kereta.....

Monday, June 14, 2010

delapan jam sudah semenjak pujianmu atasku....
aku mencerna dengan sulit sabda yang kau cerita di batas senja
aku istimewa dalam sendiri
dan kau coba untuk tahu itu tanpa todongan belati
selamat pagi Noah...
andai yang kemarin sore kau katakan hanya untuk meredakan tangisku
aku akan tetap tersenyum lagi pada pagi berikutnya
dimana aku akan mendapati kau lagi sedang menyirami taman bunga di depan rumahku

Tergesa Heva berlari dari kejauhan, kompilasi keringat, nafas setengah terkuras, dan kulit hitam terawatnya cukup membuatku tersenyum di sela satu setengah jam aku menunggu di ruang tunggu bandara ini. Segera ia menghampiriku, mencoba untuk menunjukkan wajah bersalah karena telah terlambat menjemput tanpa ingin mengungkapkannya dengan ujung mulutnya yang bergerak-gerak tak jelas. Laki-laki itu tak pernah berhenti memberikan kebahagiaan untukku sejak pertama aku menghancurkan bola futsalnya karena emosi pada seseorang, dan aku malu untuk mengatakan bahwa emosiku ternyata salah sasaran, aku kira bola yang kuhancurkan milik Gizta, laki-laki yang pernah membuatku berbunga-bunga dalam tiga hari pertama ia pernah memuji lagu ciptaanku yang dia bilang cocok dinyanyikan oleh mulutku yang tipis dan merah, lalu tiba-tiba menghancurkanku seketika karena ia hadir di acara sekolahku bersama sepupu perempuanku, memuakkan sekali mereka berdua waktu itu. Heva hanya garuk-garuk kebingungan melihat bola futsal yang baru berumur empat hari hasil ia menabung tiga bulan dan mengorbankan makan siangnya tertunda hingga malam, aku hancurkan kejam dengan sebatang bolpoint. Awalnya aku bingung melihat tingkahnya yang terpaku dan tak berkata apa-apa, dan kamu tahu setelah aku tahu bahwa benda yang kuhancurkan itu adalah miliknya aku meminta maaf padanya selama tiga hari berturut-turut tanpa henti dan berjanji akan menggantinya dengan yang baru, dan manusia itu hanya kebingungan melihat aku yang menahan malu dan setengah menangis. Dan dihari ketiga dia baru angkat bicara bahwa dia meminta ganti atas bola miliknya dengan nomer teleponku saja, dan anehnya dia langsung ketawa, dan gantian aku yang bingung, kenapa dengan orang itu tiba-tiba bertanya nomer telepon lalu tertawa dengan keras, bagi yang tidak tahu siapa dia tentu itu sangat aneh, tapi kalau kamu tahu betapa sangat pemalunya dia mungkin kamu akan mengerti, dan permintaannya sungguh-sungguh waktu itu. Aku kabulkan permintaannya dengan senyuman dan secarik kertas berisi nomer ponselku yang kuberikan ke tangannya, ia tersenyum manis sekali setelahnya.
Waktu berjalan dengan sempurna sejak itu, emosiku pada Gizta teredam perlahan bersamanya, dia gantikan dengan lima hari waktu sekolah yang dipenuhi dengan kegilaan yang dia pendam dalam pendiamnya ,sama sekali aku tak menyangka kalau ia bisa melakukan itu semua, mulai dari menempel fotokopian fotoku memenuhi semua area majalah dinding bersama tulisan, “Orang bodoh mana yang mengingkari cahaya bintang dari mata wanita ini?”, awalnya aku malu, tapi kemudian ikut tertawa dalam kegilaannya, itu protes Heva atas kebosanannya mendengarkan cerita tentang Gizta yang kuulang berkali-kali setiap hari. Lalu yang aku ingat lagi adalah semua yang dilakukannya untuk membuatku tersenyum di kantin, aku kaget saat sebelas porsi makanan dari semua pedagang kantin tiba-tiba ada di mejaku, dia bilang lebih baik aku tutup mulutku itu dengan makanan daripada dia harus melihatnya manyun terus. Lalu dua hari di setiap hari sabtu dan minggu dia mengajakku ke tempat yang tak lazim seorang cowo mengajak seorang cewe menghabiskan akhir pekan, mulai dari pasar ikan yang buka jam sepuluh malam, hingga pabrik batu bata yang dia gunakan untuk menumpahkan semua kegilaan yang aku yakin belum habis hingga kini.
Malam itu hari ulang tahunku yang kedelapan belas, pertama kalinya aku terluka melihat ia menutup mata menahan rasa sakitnya atas apa yang aku lakukan, dan aku tak sempat meminta maaf untuk itu, maafkan aku Heva. Dia datang tanpa kutahu ke rumahku tepat beberapa menit sebelum jam dua belas malam hanya untuk mengucapkan selamat ulang tahun yang pertama kalinya untukku, dan andai semua bisa kembali pada malam itu, aku sangat menyesal mengiyakan ajakan Gizta untuk menonton pertunjukan musik yang berakhir tepat saat Heva menungguku di mulut pintu rumahku. Heva tersenyum sambil berlalu, aku melihat sebuah bungkusan yang ia letakkan di depan pintuku, sebuah buku, dengan tulisan yang dapat kubaca dengan jelas, “ Selamat ulang tahun bintang, mungkin ini tidak mahal tapi semoga berarti, kalau tak berarti....ya sudah, mau diapakan lagi....” Aku menangis karena ketidak pekaanku atas sikap yang ingin ia tunjukkan dalam diamnya. Dan setelah malam itu, yang aku takutkan tak pernah terjadi, Heva selalu bilang, ia tahu betapa besar perasaanku atas Gizta, dan mungkin tak sebesar perasaan Heva padaku, daripada ia mencoba menghancurkan gunung es itu, lebih baik ia mati beku diatasnya. Dan semuanya berjalan biasa saja hingga kini, seolah-olah tak pernah ada yang terjadi malam itu, sungguh istimewa kamu bodoh, termasuk membuatku merelakan “Azfa Alia”, nama yang melekat padaku sejak umurku tiga hari, kamu ganti dengan panggilan “bintang” yang ia kumandangkan setiap jam setengah tujuh pagi disertai teriakan....” bangunnnnn bodoh, udah siang.....”
Ia tepat di depanku sekarang, tangan kanan memegang plastik berisi banyak minuman dan cemilan, tangan kiri memegang selembar kertas yang coba ia berikan padaku, “ Aku memang kangen sama kamu Bintang, sangat, dan harusnya sekarang aku mengatakan rasa rindu itu sambil bertanya tentang cerita apa yang hendak kau bagi, tapi ini sudah jam lima lebih sepuluh menit, dan itu berarti tinggal satu jam dua puluh menit lagi menuju pertunjukkan Gizta, ini tiketnya....lekas bergegas, ini pertunjukkan penting buat dia dan juga mungkin buat kamu, aku tahu aku juga yang terlambat dan membuat ini menjadi terburu-buru, tapi mungkin........” Aku segera memotong berondongan kata-kata yang keluar dari mulutnya dengan hanya kekuatan jari telunjuk yang kutempelkan erat di mulutnya,”Heva....duduk dulu kenapa ya. Udah lah, kalau emang terlambat ke acaranya yaudah, memang bukan rezekiku mungkin. Kamu apa kabar?” Heva duduk di sampingku sambil menenangkan nafasnya yang tadi berlomba dengan waktu, dibukanya botol minuman yang ia bawa dalam plastik belanjaan tadi,” Sejauh ini ga ada yang istimewa dengan cerita keseharianku, selain minggu depan aku pameran karya patungku, dan lima bulan lagi aku mungkin lulus. Aku kangen kamu Bintang, kamu baik-baik aja kan di Inggris sana?” Ia melirik pelan ke arahku, seolah-olah berkata “ kalau kamu gamau jawab juga gapapa” hahahaha......mukanya aneh sekali menatapku, aku tak banyak bercerita padanya, hanya kukeluarkan bundel kertas yang dulu heva buatkan untukku, berisi semua cerita yang aku tulis disitu, foto-foto zaman SMA dulu tak lupa terpampang dengan rapi disitu,mmmmm......mungkin kata rapi itu harus direvisi sedikit, coretan berbentuk kumis di fotoku, dan gambar tompel besar yang kucoretkan di foto wajah Heva sedikit mengurangi kata rapi itu, tapi tak mengurangi semua makna cerita yang tersimpan di dalamnya. Di satu lembar bundel itu terpampang foto Heva berkostum mafia Italia sambil memegang cerutu yang dulu coba ia hisap namun hanya sekali saja dan itu cukup untuk membuat ia terbatuk-batuk selama malam perpisahan sekolah, bodoh sekali kamu Heva, tapi untunglah kamu bukan pemegang NEM terbaik, jadi tak perlu memberikan sambutan di mimbar, karena pidato komplikasi dengan batuk tak berhenti-berhenti bukan pasangan yang enak didengar. Tapi kamu tahu, foto mafia pasar kampret itu adalah foto moment terakhir kita berbagi, dan setelah itu, hanya aku yang tahu dan mengisi bundel ini sendirian. Heva memperhatikan satu demi satu foto dan tulisan yang telah menemani dua tahun perjalanan study-ku di London, mulai dari hari pertama aku kuliah, foto kamar asramaku yang rela aku bagi dengan gadis gipsy yang tak henti-hentinya memenuhi area tidurnya dengan wewangian aneh setiap malam, lalu foto-fotoku selama di laboratorium farmasi, hingga foto bandara Heathrow yang baru saja beberapa jam yang lalu kucetak hanya untuk memastikan bahwa aku benar-benar naik pesawat, tak seperti yang Heva bilang kalau mungkin bisa juga sekali-sekali aku datang ke Indonesia naik kereta kuda yang biasa ia lihat di foto-foto tentang inggris. “ Kamu tetap menyimpannya dengan rapi bodoh....aku hampir lupa pernah membuatkannya untukmu. Jadi mau bagaimana sekarang, apa perjalananmu akan sia-sia kalau ga jadi datang ke acara Gizta?” Heva menutup bundel itu dan menyerahkannya padaku,” Heva....hidup kita bukan hanya berisi tentang aku dan Gizta, tak juga untuk hari ini, aku datang juga untuk menemui kamu, walaupun tak lama tapi aku ingin membuat ini berarti setelah dua tahun aku ga bareng-bareng kamu. Oh iya, aku bawa gitar bodoh....lebih baik aku dengar lagu `Lulaby for a little star` dari penciptanya langsung kan daripada Gizta yang nyanyi.” Heva mengangkat alisnya yang lebal hampir tersambung dari dua belahnya,” Hah....nafasku masih belum utuh bodoh, nanti dulu ya. Tapi kok aku ngerasa aneh ya, jadi apa kabar dong dengan tiket ini?” Aku hanya tersenyum, lalu mengambil tiket itu dan memasukannya ke dalam tas, “ Aku menyimpannya hanya untuk jaga-jaga, siapa tahu nanti Gizta marah karena aku ga datang, aku tinggal liatin tiket ini dan bilang sebenarnya aku udah niat untuk datang tapi pesawatku terlambat, beres kan?!” Heva tersenyum dan garuk-garuk kepala, ah sudahlah...tak perlu juga semua kamu ngerti kan.
“ Lalu.....apa yang akan kita lakukan sekarang?” Heva kembali bertanya padaku, “ Untuk satu jam kedepan aku hanya ingin bersandar di kaki kamu sambil mendengarkan kamu bernyanyi.” Heva makin kelihatan bingung, “ Kenapa?” aku menyerahkan gitar yang aku bawa sengaja dari London,”Karena sayang ini seharusnya buat kamu.” Aku tersenyum paling manis untuknya, tapi tak juga membuat ia tersipu, menyebalkan sekali,” Mukamu kenapa aneh gitu? Ah bodoh...ngomong apa sih kamu tadi?” Ia membuka sarung gitar sambil sedikit memainkannya,” Ah....kamu tuh ya, emang ga boleh gitu? Atau jangan-jangan kamu ga ngerti sama sekali lagi ya?” aku membaringkan kepalaku di kakinya sambil membuka cemilan dari plastik belanjaannya,” Aku tahu sayang kamu, kalau sayang aku ga perlu lagi aku jelaskan kan?! Tapi ya gausah dibikin sentimentil begitu lah.” Aku menatap erat-erat matanya yang berwarna coklat,” Jadi kalau kita udah sama-sama sayang kita mau gimana sekarang?” Sekarang aku sungguh-sungguh menunggu jawaban apa yang akan keluar dari mulutnya,” Yah....aku kan masih punya Risti, masa mau diputusin sekarang tanpa sebab.” Aku menghela nafas untuk menutupi sedikit kecewaku, dan aku janji kalau itu hanya sedikit saja aku rasa,” Ya udah...aku yang gantian nunggu kamu sekarang.” Aku masukan lekas potongan coklat yang hampir meleleh di tanganku,” Cieeehhh...ada yang kecewa kayaknya, bahaya ah....” Dia sentuh hidungku dengan hidungnya, aku sangat merindukan saat-saat seperti ini, dan aku rela tertawa semalaman dengan semua tingkah yang Heva lakukan.
“ Semoga aku ada uang awal tahun depan, aku pengen gantian nemuin kamu ke inggris, aku juga pengen ngerasain pegunungan Alpen.” Aku mengkerutkan keningku sambil sedikit mencerna ucapan Heva,”Ah....perasaan Alpen bukan di Inggris lah bodoh.” Heva kembali menggaruk-garuk kepalanya, sungguh ia lebih terlihat ganteng saat bingung, “ Oh iya ya....jadi Alpen dimana dong?” Aku tak yakin kalau dia benar-benar ingin tahu jawabannya,” Nyanyi dulu dong, nanti baru aku kasih tahu jawabannya” Hahahahahaha....kita tertawa untuk sesuatu yang tak jelas, “ Ah....bilang aja gatau.”

Thursday, June 3, 2010

Sunday, May 30, 2010

senang telah menjadi matahari....mengawasimu tanpa kau ketahui....kau kucipta dari asa yang kupinta pada sang pencipta.....dan hanya untuk bersyukur atas senyummu, aku ada....( "18.08 saat petang" by. AnnaCalista )-poho grip gitarna euy...tulungan barudak...

Monday, May 17, 2010

ia istimewa tanpa kusangkal......
jangan berharap ia mudah dalam berkata iya
hanya senja yang dapat membuatnya terkagum dalam sendiri
dia menjaga jarak agar semuanya semakin terasa dekat
marka dunia yang diciptanya sungguh hanya membuatnya semakin istimewa
aku dunia, dan ia mendaulat sebagai warna di dalamnya
izinkan aku bersimbiosis.....menjadi yang kau mau
atau hanya agar kau bahagia
saat memutuskan untuk dilebur dunia......
atas semua...
AKU MENCINTA....

Sunday, May 16, 2010

Hey itu siapa…..
Menatapku penuh curiga….
Sedari tadi tak mengedipkan mata…..
Entah benci atau cinta….
Tapi ia menyuguhkan ke hadapanku sebentuk cendera mata…..
Dibawanya jauh dari luar kota……
Diberikannya juga padaku pelukan mesra….
Pelukan yang kukenal baik sejak lama…
Mama…..
Akhirnya dikau datang juga…..
Mamaaaaaaa…….kukejar sosok itu dengan penuh haru, dengan harapan dia akan balik berteriak histeris, “Halah” kata mamaku, sungguh tidak romantis. Bapak dan adikku menyusul di belakangnya, entah mereka tadi darimana.
Segera kubantu mama mengangkat koper yang entah membawa persediaan untuk bertahan hidup berapa tahun, biarlah……kalo kutegor nanti malah aku yang bakalan kena ceramah dibilangnya aku ga bakalan ngerti soal ini. Mama menanyakan mana Jani, kujawab sedang ke Zimbabwe, ngapain,,,,?...... Belajar masak gajah, iya gitu, emangnya penting? Penting lah mah, kan salah satu syarat biar bisa jadi pengurus PKK kelurahan, “ Dasar kamu.’ Kata mama, “ Mama percaya gitu” Itu aku yang nanya, “ Ya nggak lah…….” Ah dasar mama…… tau aja.
Melalui hari-hari bersama mama, bersama orang yang paling tau jam berapa aku harus ke kamar mandi setiap pagi, apa yang aku lakukan setelah menghabiskan semangkuk bubur ayam dan menggaruk-garuk bagian belakang celana pendekku, orang yang selalu tahu kalau aku mulai tidak nyaman berada di suatu kumpulan orang. Dua puluh lima tahun cukup untuk membuat dia mengerti bahwa aku sangat menyayanginya lebih dari apapun tanpa perlu aku ucapkan. Dan pagi ini sudah tersaji semangkuk bubur ayam, dan itu bukan dari penjual bubur di depan rumah yang rajin mengabsen namaku setiap pagi, mama sengaja dan dengan kesadaran penuh memasakkannya untukku, dan kamu tahu….itu enak sekali, tanpa tercium bau asap sama sekali.
Aku bahagia ada dia disini sekarang, menemaniku di tempat yang kupilih untuk menghabiskan sebagian fase hidupku menjauh dari dunia yang dulu membuatku lumpuh seketika. Ia memberi terang untuk langkah yang harus kuambil, tak terkecuali saat ini. Ia tak memaksakan tentang suatu pilihan, namun lebih kepada memberikan ketenangan agar semua keputusan yang aku ambil bermuara pada akal sehat bukan pada kuasa emosi semata.
Bersandar di hangat dua belah kakinya sore itu, keyakinan itu tiba-tiba tumbuh seiring pertanyaan yang terlontar dari senyum sederhananya, pertanyaan apakah kepulanganku jadi atau tidak tiba-tiba menjadi mantra sakral yang harus kuterima tanpa kuasa untuk menahan. Rasa sakitnya hanya sesaat, bersarang dalam dua menit aku terjebak di indah kenangan tentang Jani, dan beberapa detik sakit yang ia berikan dengan pengkhianatan. Aku tetap yakin pada langkahku ma, esok aku pulang, entah dengan atau tanpa pamit dan senyuman terakhir dari wanita yang telah menemaniku beberapa tahun terakhir ini.
“Udah pamit sama jani?” elusan halus di rambutku yang dulu menjadi lagu pengantar tidur kurasakan lagi seiring pertanyaan yang diucapkannya perlahan, “ Belum, mungkin aku harus cari cara tepat untuk menyampaikannya, tapi aku yakin dia udah tahu.”
 
Copyright (c) 2010 karma sang fajar. Design by Wordpress Themes.

Themes Lovers, Download Blogger Templates And Blogger Templates.