Tuesday, May 17, 2011

Hai…sulit kutemui kamu beberapa hari ini,kita bermain hitung-menghitung lagi, dan seperti biasanya kau yang akan menjadi objek bermain. Kalian terang sekali malam ini, lebih dari biasanya, memenuhi takdir lagu yang selalu menyertai kalian dengan akhiran kata gemintang atau benderang, sungguh kau tak diberi restu untuk murung, bahkan jika langit memberi halangan mendung yang menunda kemunculanmu setiap malam, sangat seksi sekali kalian bersanding dengan sisa lembayung di tengah langit yang hampir menggelap seluruhnya. Satu tahun lewat empat hari tepat saat ini, aku bisa sangat ingat, karena saat itu aku satu gerbong dengan rombongan anak-anak daerah yang pulang setelah ikut merayakan kemerdekaan di istana negara tepat tujuh belas agustus dua ribu sembilan pada pagi harinya, akupun ikut terlarut dalam euforianya, seraya memberi reda sedikit pada hatiku saat mengingat akan menemuinya tepat malam itu. Mungkin dia sudah terduduk lama disana waktu itu, saat kereta bersandar di stasiun Balapan pada pukul setengah enam pagi. Hiruk pikuk sajian kuliner pagi yang selalu kunantikan, sungguh tak terkalahkan pergerakan zaman yang menyajikan sajian super cepat tanpa bonus asap arang yang kadang menyesakkan bagi sebagian orang, sungguh mereka tak pernah tahu, bahwa sesungguhnya itu yang menambah selera makanku.
Dia selalu merelakan untuk datang jauh lebih awal dari waktu yang kita janjikan, dia bilang untuk membuat semuanya terlihat lebih wajar, rasa bosan baginya dapat sedikit meredakan rasa deg-degan atas jawaban waktu yang memberikan sedikit kejutan untuknya, mungkin di selang waktu ia datang dan ketibaanku dia habiskan untuk tersenyum sendiri, atau bahkan menepuk-nepuk bangku seperti yang ia lakukan zaman kita sama-sama sekolah dulu saat dia mulai panik dan terjebak buntu untuk menjawab pertanyaan yang diberikan guru. Semua terdengar lucu, tapi tidak untukku, sampai saat inipun aku tak pernah merasa pantas mendapat perlakuan istimewa itu darinya, bahkan untuk arah hatiku yang sama sekali ia tak tahu, atau mungkin ia sudah tahu semuanya, dan mulai kebal untuk tidak mempedulikan ujung dari semua cerita yang kita susun berdua. Dia pernah bilang, bintang yang kita pandangi sama, walaupun kita memandangnya dari tempat berbeda, dan itu sama terangnya, walaupun bagimu bintang disana untuk memberi terang, sedang bagiku bintang hanya menjalani takdirnya untuk meneruskan sinar matahari pada bumi pada malam hari, sedangkan ia sendiri tak menikmati terang atasnya. Dia bilang, bergurulah pada bintang, tak usah kita bertanya alasan ia datang setiap malam, yang penting baginya, seluruh langit dan di dasar bumi bahagia atasnya. Jangan untukku, sungguh bahagia yang kuberikan semu, tak pernah benar-benar nyata untukmu, bahkan ia tak ada disaat kamu terbaring lemah tanpa pegangan, saat itu sungguh kamu tak pernah mencari tahu aku dimana, kamu hanya cukup terbuai bahagia karena masih merasa ada yang perlu kamu tunggu.
Sungguh cinta yang fiksi, aku selalu berharap itu tidak meleset menjadi cinta yang fitri, karena sebentar lagi akan melalui sesi keduanya di televisi, ah aku sedang membicarakan apa sih….entahlah, lupakan saja, jangan berpikir terlalu keras karena kereta yang akan aku tumpangi sudah datang, terlewat akan membuatku menjadi orang bodoh yang akan menunggu lama untuk kereta esok subuh. Sepertinya sekantung kertas berisi dua potong ayam goreng tepung, lima buah perkedel kentang, dua kepal nasi, dan dua gelas pepsi akan cukup meredakan raungan perutku sepanjang perjalanan, dan aku tak mau berbohong untuk satu hal kali ini, aku deg-degan…mungkin sama seperti yang kali ini sedang kamu rasakan, yaaaaa…minimal itu sekedar membesarkan hatiku yang sudah mulai buntu dan tak karuan.
Tasku kuletakkan tak jauh dari tangan kananku, di kantung sampingnya terletak manis sebuah surat, aku tak perlu ceritakan apa itu, nanti kamu akan tahu sendiri jawabannya apa, bahkan aku sendiri tak pernah ingin merasa ia ada, biarkan saja tugasnya hanya untuk memenuhi kantung tasku. Kereta melaju, tepat jam delapan lebih sepuluh, dua puluh empat Agustus hari ini, seharusnya tidak ada yang istimewa bagi kebanyakan orang, tapi tidak untukku. Aku tidak berharap kamu menungguku dari subuh, karena jam tujuh pagi jadwal kereta akan tiba disana, tepat dimana setiap satu tahun sekali kamu menyambutku dengan gaun terusan berwarna ungu, dan melepasku pergi satu minggu kemudian untuk bertemu kembali satu tahun berikutnya dengan celana panjang dan kemeja krem di tempat yang sama. Aku menyetel suara ponselku dengan volume dering paling keras, menjaga-jaga kalau kamu akan menelponku di saat aku sedang terpejam, biarkan saja aku berharap seperti itu, walaupun entah untuk apa kamu nantinya menghubungiku. Jaket sudah kupakai dengan rapi, seperti yang selalu kau wanti-wanti, dompet sudah kumasukkan ke dalam tas, menghindari cedera paha karena ganjalan tebalnya dompet jika tetap berada di kantung belakang celanaku, dan entah kenapa aku selalu percaya teori kamu itu.
Stasiun kedelapan kulewati sudah, dan aku belum terlelap, aku harap kamu tidak lupa kita terpaksa turun disini beberapa tahun lalu karena ada kecelakaan kereta di stasiun berikutnya, dan saat itu kita terpaksa meneruskan perjalanan dengan bis antar kota dan terjebak macetnya mudik hari raya, dan itu pertama kalinya aku mengunjungi kotamu, alasan ingin punya kampung untuk tujuan aku mudik cukup ampuh untuk membujuk kamu berkata iya atas tawaranku mengantar kamu pulang kampung. Aku memang laki-laki asli buatan kota yang tak punya desa tujuan pulang saat hari raya, dari zaman sekolah dulu aku selalu ikut teman-temanku yang punya desa untuk sekedar menikmati euforia hari raya. Semoga kamu tidak lupa itu semua, bahkan untuk satu gelas kopi yang kutawarkan padamu di warung dekat stasiun, yang ternyata adalah tawaran yang salah, aku baru tahu lambungmu sangat rentan untuk menerima terjangan kafein kopi, tapi kamu tetap meminumnya demi menemaniku yang menggigil menahan dingin karena gerimis tanpa jaket, karena aku relakan jaket hijau kesayanganku kupakaikan padamu yang malam itu hanya berkulitkan celana jeans pendek dan kaus ospek yang warna biru tuanya hampir berubah menjadi warna biru muda, dan itu sangat cocok bersanding dengan rambut pendek acak-acakan yang menerima sisir hanya pada hari kamis, saat kamu harus mengenakan kerudung untuk menghadiri pengajian mingguan di kampus.
Kereta hanya berhenti beberapa menit saja,mengangkut beberapa penumpang dan berjalan kembali, ya….setidaknya untuk sementara aku terbebas dari kutukan stasiun ini, dan tidak harus meneruskan perjalananku dengan bis antar kota. Setengah perjalanan lebih sudah kulalui dengan sukses, tinggal beberapa jam saja aku akan tiba disana, kembali bertemu dengan tukang becak yang sangat jujur dan menyelamatkan dua puluh lima ribu uangku karena tukang ojek sialan yang menipuku kalau alamat tujuan yang aku tunjukkan padanya sangat jauh, padahal kata si tukang becak itu hanya berjarak lima menit saja, kuberi saja dia bonus sarapan bersama sambil mengobrol kesana kemari di warung sate berdua, dan kamu tahu, bahasa Indonesia featuring bahasa Jawa yang disandingnya cukup memaku aku untuk hanya menjawabnya dengan jawaban setahuku saja, tidak adil, aku orang Sunda asli, dan dari bahasanya aku yakin dia bukan orang Papua…pasti dia orang Jawa, seharusnya agar semuanya adil kita ngobrol saja dengan bahasa Batak, dijamin obrolan itu seratus persen ngaco dan tanpa tujuan, setidaknya itu bisa memperpanjang pertemuanku dengan si bapak.
Aku hanya menghela nafas saat mengingat sempitnya waktu yang mengijinkan kita untuk bertemu, sepuluh hari cuti yang kantor berikan padaku diluar hari libur tidak bisa sepenuhnya untuk kamu, ada beberapa orang disana yang juga menuntut waktu atas aku. Tapi aku bersyukur atasnya, semua waktu yang kamu cipta sungguh istimewa…bahkan lebih banyak memberi dibandingkan mereka yang bersamaku setiap hari. Kamu tak pernah menuntut lebih, bahkan untuk mengingatkan aku hari ulang tahunmu kamu punya cara yang lebih eksklusif,bisa-bisanya kamu tiba-tiba membuka pertanyaan soal potongan rambutmu yang aku tahu hanya kamu potong pada saat ulang tahunmu, kamu tanya aku kira-kira model rambut apalagi yang pantas kamu pakai, dan saat aku tanya kenapa potong rambut, kamu hanya menjawab, “yaaaa….biar keliatan berbeda aja setiap tahun” dan itu cukup mengingatkan aku kalau kamu ulang tahun esok harinya.
Kereta terlambat tiba, entah kenapa, maka jangan tanyakan aku alasannya. Total aku tidak terlelap selama perjalanan, makanan tuntas kumasukkan ke lambungku, suasana menjelang pagi di kotamu telah rapi tersaji di jendela kereta. Aku datang beberapa saat lagi, aku rindu gaun ungumu, sungguh indah melengkapi badanmu yang tidak terlalu tinggi, dan aku tidak pernah punya bahasa yang bijak untuk berkata padamu kalau aku sangat suka melihatnya. Kubereskan tasku, kumasukkan buku yang kubaca sepanjang perjalanan, kakiku sudah siap untuk segera kupijakkan, tepat di tempatmu…saat dimana akan tercipta waktu beku, kita membisu beberapa saat untuk sama-sama mempersiapkan berodongan kata-kata rindu…mmmhhh…tepatnya semua terangkum dalam kata “apa kabar”, dan sejauh ini selalu kamu yang menang dan pertama kali berani untuk mengucapkannya. Serangan ketidak sabaran mulai menghantamku dari segala arah, kota ini memang seksi dengan sendirinya, dan hari ini gerimis kecil menjadi latar indah cerita pagi, wangi tanah basah, riuh pedagang wingko babat favoritku, terima kasih waktu…yang telah mengizinkan aku bercumbu dengan indahnya kota ini.
Kereta mulai memperlambat kecepatannya, pertanda ia akan segera tiba. Kuletakkan tasku di atas pangkuan, kukeluarkan ponselku dan kuletakkan di tangan, ada pertanda bahwa ia akan berbunyi beberapa saat lagi, entah petunjuk dari mana aku tak tahu. Ketidak sabaran mulai berubah menjadi resah, berkhayal atasmu membuatku merasa tidak punya kuasa untuk berbuat apa-apa. Waktu yang jengah terputus suara ponselku, ada nama kamu disitu, apakah kamu sudah tidak sabar juga menunggu kedatangan keretaku tiba, aku kira tidak, suara halusnya beradu dengan sisa tangis di ujung telpon sana, namun suaranya tetap tegar menahan getar yang ingin ikut berkata halo dan selamat datang untukku, “Kamu dimana Pandu? Akad nikahku sudah selesai beberapa saat tadi, tidak ada halangan apapun, mungkin ini juga salah satunya karena doa dan ikhlas dari kamu, terima kasih. Semoga acara resepsiku juga tidak akan kulewati tanpa kamu……Pandu, kamu tahu…..aku rindu” Dan hanya kata iya yang mampu aku berikan, kututup ponselku tepat saat kereta benar-benar berhenti,ingin rasanya aku kembali dan tidak menginjakkan kakiku di kota ini, tapi sungguh ini terlalu naïf untukku, dan juga mungkin untuknya, jangan membayar semuanya dengan kata menyesal, karena semuanya akan terjawab kali ini, apakah senyummu akan tetap tersaji…bahkan jika untuk terakhir kali. Kamu janjikan akan memakai warna ungu seperti yang kamu saji di setiap pertemuan kita setahun sekali, walupun bukan gaun pendek seperti yang biasanya kamu pakai, tapi ini adalah gaun berhias renda dan bordiran mewah, bersanding dengan mahkota perak di ujung rambutmu, dan karangan bunga di genggaman tanganmu. Aku sudah disini, dan kini aku rela untuk tidak berharap kamu akan mengantarku pulang satu minggu lagi.
 
Copyright (c) 2010 karma sang fajar. Design by Wordpress Themes.

Themes Lovers, Download Blogger Templates And Blogger Templates.