Saturday, May 23, 2009

Satu bab tugas akhirku sudah selesai, cepat bukan….bukan lah. Jakarta panas, hampir mirip Pontianak, tapi di Pontianak tidak bau sampah dan knalpot, tapi aku belum berniat untuk segera pulang ke Bogor, ada urusan penting yang harus aku selesaikan dulu hari ini, penting sekali, apa itu….potong rambut tentunya, baiklah mari kita melangkah ke salon.

Bangunan seksi kokoh berdiri diantara riuhnya suara laju kereta dalam kota dan anak-anak kecil yang sedang menyulap paku beton ukuran besar menjadi obeng negatif, loh bagaimana caranya…?...Ya, tentu saja dengan meletakkannya di atas rel kereta api saat kereta akan melintas, setelah kereta berlalu…abrakadabra….jadilah obeng negatif, untuk apa alat itu bagi mereka, entahlah, aku belum sempat melakukan penelitian atas itu. Dan aku sudah sampai juga di bangunan aneh itu, kelam, banyak grafiti yang entah maksudnya gambar mahluk apa, tapi yang pasti seram, walaupun kadang terlihat lucu, kalau aku bilang ini studio tatto sebenarnya lebih cocok, beberapa orang laki-laki dan perempuan yang didaulat menjadi karyawan disitu bertampang sangar, telinga penuh tindikan, lengan tattoan, ngomong sembarangan, idung meler ingusan, jalan ngesot sambil pegang kaleng susu bekas sambil nyanyi kangen band…..serius??? Tentu saja yang tiga hal terakhir itu tidak, tapi benar tampang mereka sungguh tidak cocok dengan profesi yang disandangnya, harusnya yang mereka pegang itu gitar listrik, minimal botol minuman, tapi apa kau tahu apa yang ada di tangan dan saku belakang celana mereka….ya, gunting cukur dan sisir, hebat bukan, mereka berlima sepakat mendirikan sebuah salon yang entah disengaja atau tidak sungguh jauh dari image kandang para wanita setengah tiang yang punya perbendaharaan bahasa sendiri yang hanya kelompok mereka saja yang tahu, tiga orang perempuan dengan umur mungkin tidak jauh beda dengan umurku, dan dua orang laki-laki kolektor besi di hidung mereka yang siap melayanimu di kursi keramas, dan tenang saja, mereka berdua tidak akan menggerayangimu sambil ngomong, “ Pulang kerja mas….cape ya…mau eyke pijit lehernya….?” Walah, buang jauh-jauh pikiranmu tentang itu.

Dan salah satu pekerja wanita disitu mulai memasangkan kain berwarna hitam di badanku, helai demi helai rambutku selesai dieksekusi, dia tanya mau model rambut apa, aku bilang terserah, dia nampak bingung, kasian aku melihatnya, lalu aku beri petunjuk lagi padanya untuk memotong rambutku seperti laki-laki pada umumnya, dengan pribadi mempesona, mengeluarkan aura berwibawa pada para wanita, memberi kesan rapi sekaligus tetap trendi, apakah itu cukup menolong wanita itu….tentu saja tidak, dia malah makin bingung, ya sudah aku bilang dia untuk merapikan saja rambutku sedikit lebih pendek.

Selesai sudah rambutku dirawat hari itu, sebelum aku melangkah keluar salah satu perempuan disitu mengahmpiriku, Astria namanya, darimana aku tahu, karena dia teman SMA aku dulu, ia bisikkan sebuah pesan padaku, ada seseorang yang ingin bertemu denganku di Blok S nanti malam, seorang wanita yang beberapa bulan ini memberi cerita lain di hidupku, hubungan terhalang jarak dan tentu saja terhalang oleh status kita berdua yang tidak memungkinkan kita untuk melanjutkan kisah ini menjadi prosa baru berjudul "bahagia selamanya".

Tuesday, May 19, 2009

Pelabuhan tua…aku jatuh cinta

Teramat sangat tanpa terkata

Kau menyambutku penuh warna

Warna jingga percikan air kunikmati

Warna tawa pekerja keras kurenungi

Ini sungguh indah….mohon jangan disanggah….

Aku akan terduduk hingga redup memeluk langit

Hingga dingin meredakan segala sakit

Aku tak ingin rindu…

Rindu padamu….

Karena rindu…berarti aku kehilanganmu

Suara burung riuh diatas pantai Ancol, sudah lama aku tak melihatnya, mirip pelabuhan laut di salah satu kota di Kalimantan. Laptop di pangkuan, siap menerjemahkan lagi isi otak yang masih tersisa entah berapa potong lagi, terlalu usang karena kuforsir pemakaiannya untuk bekerja delapan belas jam sehari, lima jam sehari untuk bermimpi, dan satu jam sehari untuk satu exemplar Koran dan secangkir kopi setiap pagi, ini indah…maka dari itu, mari kawan kita cicil tugas akhirku lagi. Duduk berjam-jam di kursi malas, tanpa sadar ada anak kecil yang sedari tadi berdiri di hadapanku, menatapku aneh, seakan-akan menginginkan sesuatu dariku, ada apa kawan, kamu mau makan, atau mau belajar pakai laptop, atau mau numpang duduk di sebelahku, atau mau tanya padaku jam berapa kapal laut menuju Wamena lewat, aku tak tahu kawan, aku juga bahkan tak tahu apakah kapal laut dari Tanjung Priok menuju Wamena lewat ke pantai Ancol…..” Semir Sepatu bang?!” Ooooh…ternyata dia hanya mau menawarkan jasa semir sepatu padaku, bolehlah….tapi tak usah pakai buka sepatu ya, aku malas buka dan pakai lagi.

Nampaknya anak itu sangat menikmati setiap tahap yang dikerjakannya, tak terdengar suara, hanya sesekali ia mencoba mengajak aku mengobrol, tapi tak terlalu sering karena melihat aku yang sedang serius didepan laptopku, kasian dia, mungkin dia pikir aku sedang mengerjakan pekerjaan serius di laptop, padahal aku sedang main game, biarlah dia tak usah tahu…malu.

Kembali aku ke tugas akhirku, aku ketik huruf demi huruf, lalu jadi rangkaian kata, menjadi kalimat demi kalimat, dan setelah selesai beberapa lembar kuketik, sepatuku selesai disemir….darimana aku tahu??? Tahu dong, soalnya anak tadi sudah berdiri, tak mungkin kan tangannya cukup panjang untuk mencapai sepatuku sambil dia berdiri, tapi mungkin saja dia pegal terus berdiri dulu sebentar, tapi aku yakin sekarang kalau sepatuku sudah selesai, karena anak itu membereskan kotak kayu berisikan peralatan menyemir miliknya, aku menanyakan padanya berapa aku harus membayar, dia bilang terserah, aku jadi bingung, aku tanya dia kalau kubayar lima juta bagaimana, dia bilang jangan nanti dia pingsan…hahahaha…polos sekali dia, nanti ya aku akan menilai dulu pekerjaanmu, sehingga aku objektif untuk menentukan tarif yang pantas buatmu. Aku melihat ke arah sepatuku, Walaaah… kenapa sepatuku jadi warna hitam, bukannya sepatuku warna coklat, kapan aku beli sepatu warna hitam, aku tanya sama anak itu apakah sepatuku tadinya berwarna coklat, dia bilang hitam, aku tanya apakah dia berani sumpah, dia bilang berani, tapi aku bilang tak perlu nanti takut dosa main sumpah-sumpahan. Atau mungkin semir dia bisa merubah sepatu coklat jadi hitam, dia hanya tertawa….waah, berarti serius dari tadi aku pakai sepatu hitam, terus ini sepatu hitam punya siapa, jangan-jangan ini punya teman kantorku, tertukar waktu di mobil kemarin. Itulah makanya, aku terlalu sering pakai sepatu tanpa tali, jadi tak sering kuperhatikan apa yang kupakai, bahkan aku pernah memakai sepatu yang berbeda pasangan tanpa sadar. Tapi ya sudahlah, nanti aku telepon temanku siapa kira-kira yang tertukar sepatu, dan sekarang aku harus membayar jasa anak itu, aku keluarkan uang sepuluh ribu, dia tanya apa harus dia beri kembalian, aku bilang tidak usah, anggap saja ini sebagai permintaan maafku karena sudah menuduhnya tadi, dia bilang terima kasih lalu pergi meninggalkan daku sendiri.

Cinta bukan rangkaian kata

Cinta itu rangkaian doa

Bersamamu doa itu nyata

Mengalir di setiap jengkal langkah

Menaungi dalam setiap lelah

Aku lemah……maka papah aku dengan doamu

Bimbing aku dengan cahayamu

Hingga kutemukan arti cerita ini berganti

Ditanganmulah wanita……

Lahir cerita cinta itu setiap hari

Tersaji di sarapanku setiap pagi

Hingga aku tulus menuliskan bait demi bait kisah hari ini untukmu

Untuk kau selesaikan akhirnya menjelang tidurmu

Hingga aku sadari penuh cela dalam cerita hidupku

Selasa pagi, aku tidak terlambat….terimakasih Ya Allah, akhirnya aku terlepas dari karma kaus kaki beda warna karena buru-buru berangkat beraktifitas. Jam setengah delapan sekarang, berarti satu setengah jam menjelang pesawatku terbang, lho…memangnya aku mau kemana? Ke Jakarta dong pastinya, aku ada rapat di Bogor dengan klien besar, entah dia butuh data desain bangunan tradisionalku untuk apa, jangan-jangan dia mau membajak, wah….lebih baik aku tidak jadi pergi, tapi aku terlanjur menginjak gas mobilku, terlanjur sampai ke kantorku, terlanjur parjo mengantar aku ke bandara karena tidak mungkin mobilku ikut naik ke pesawat( Untuk diketahui bahwa Parjo itu orang Dayak walaupun namanya nampak seperti tukang gudeg di Malioboro, dia baik, dia kepala keamanan di kantorku, dia selalu ingin ikut kalau aku pergi kemana-mana, kadang-kadang bikin repot, kadang-kadang bikin senang, kadang-kadang bikin perahu-perahuan dari kertas, kadang-kadang bikinkan aku kopi pahit sekali setiap pagi, kadang-kadang tanya aku kenapa datang terlambat, sekarang dia pakai baju serba hitam, seram seperti bodyguard saja ). Aku mengajak Parjo berhenti dulu untuk makan, karena sekarang masih jam delapan kurang sepuluh menit, berarti masih ada waktu untuk sarapan dulu, aku ajak Parjo, dia mau, dasar Parjo, aku kira dia akan menolak, tak apalah….kan besok dia tak mungkin aku ajak makan bareng lagi, soalnya aku kan di Bogor, kecuali Parjo kangen makan pagi denganku dan menyusul aku ke Bogor, jangan Parjo…nanti kamu tersesat, aku susah mencari orang sepertimu lagi.

Aku sudah di bandara, menjelang naik pesawat, aku melangkah menuju pintu masuk, tapi berhenti, lalu berbalik, aku lupa menyampaikan pesan pada Parjo agar dia jangan menangis sambil melambaikan sapu tangan ke arah pesawatku, malu lah….masa badan sebesar kingkong begitu nangis, Parjo mengangguk, entah dia mengerti atau bingung. Aku tinggalkan Parjo, tinggalkan Pontianak, walaupun hanya untuk satu minggu saja.

Aku sampai di Jakarta, tidak terasa, tapi capek sekali, tadi mimpi main bola, main bola dengan Jani, Jani bermain jujur, tapi aku bermain curang, biarlah….kan hanya dalam mimpi saja. Mimpinya hitam-putih, seperti TV kakekku dulu yang selalu bersemut, dan harus ditendang sedikit biar gambarnya bagus lagi, mungkin karena aku tidur di pesawat makanya mimpinya tanpa warna seperti itu, memang kenapa alasannya bisa begitu…..nggak sih, hanya menebak-nebak aja. Langsung aku menuju bis bandara yang langsung menuju Bogor, kau tak tahu kan ada bis yang langsung dari bandara ke luar Jakarta, akupun baru tahu sekarang kok, jadi tenang saja, kamu tidak kampungan sendirian, kan kasihan, sudah kampungan, sendirian lagi, mendingan kampungan bareng-bareng, siapa tahu kena kuota otonomi daerah dan diangkat jadi perkotaan bareng-bareng.

Bogor dingin…..padahal ini jam dua siang. Aku naik taksi, jalannya pelan sekali, diputarkan oleh sang supir lagu GIGI, terkenang zaman SMP dulu, saat sama-sama beli kaset bajakan dengan teman kelasku untuk pertama kalinya, seneng, deg-degan, keluar keringat dingin, merasa dikucilkan, merasa bersalah yang teramat sangat, tapi kemudian sedikit mereda, karena di tempat pusat pembajakan ada tetanggaku seorang aparat yang sering merazia barang-barang bajakan, tapi waktu itu dia beli kaset bajakan juga, dasar dia….akhirnya ketahuan juga. Aku mencoba untuk bersembunyi darinya, malu, takut dia lapor sama bapakku, nanti dia mengarang-ngarang cerita lagi kalau aku terjaring saat dia melakukan razia, akhirnya dia pulang duluan….syukurlah.

Dan kembali ke masalah taksi, aku mau kemana ya..??? Oh iya, mau ke penginapan, soalnya syaratnya harus seperti itu, Jani pernah bilang jangan sembarangan tidur di tengah jalan, nanti ada yang culik, terus disodomi, habis itu dikasih permen biar tidak lapor ke polisi, jadi aku mencari penginapan dengan segera.

Hari berganti lagi, tadi malam aku tidak mimpi, tidurnya lelap sekali. Sekarang jam 7 pagi, di mejaku sudah ada sepiring roti dan secangkir kopi, hitam sekali, lama kupandangi…..lama sekali….setelah itu kuambil, lalu kuseruput, aku teriak, karena ternyata masih panas sekali, harusnya tadi kuikuti instingku untuk memakan roti terlebih dahulu, sial….tragedi gelas kopi. Mas Darwinto meneleponku, menanyakan kabarku, menanyakan perjalananku kemarin, menanyakan kabar Pontianak, menanyakan kabar pak Marlan, menanyakan panjang sungai Kapuas, terus kira-kira ada berapa spesies bakteri di dalamnya, bertanya kalau kolor hanyut kesitu terus diangkat 3 bulan kemudian masih utuh apa tidak, dasar Dasar Darwinto, ada-ada saja….tidak juga sih, aku yang ada-ada saja, orang Darwinto hanya menanyakan kabarku dan menanyakan apakah sudah siap meeting, aku bilang boleh tidak ditunda sampai tahun depan, Darwinto bilang tidak bisa, ya sudah lah…aku berangkat ke ruang pertemuan sekarang.

Meeting sudah selesai, sekarang sudah larut malam tapi masih ramai, Bogor kota besar, hidup 24 jam tanpa henti, orang hilir mudik silih berganti. Aku mencari swalayan untuk membeli makanan kecil untuk di penginapan nantinya, tapi teman-temanku yang ada di mobil mengajakku dulu ke kafe, aku bilang tidak mau soalnya aku tak bawa raket, mereka tanya untuk apa raket, aku jawab untuk main badminton tentunya, masa begitu saja tidak tahu, setelah itu mereka diam tak menjawab, mungkin mereka takut berurusan terlalu jauh denganku, tapi tiba-tiba kita sampai di satu kafe diatas bukit, ah…mereka menculikku, mengajak aku main malam-malam tanpa konfirmasi ke orang rumahku terlebih dahulu. Duduk kita di sebuah meja, maksudnya di kursinya, kalau duduk diatas meja nanti tabu, kata mamaku nanti ada apa-apa dengan pantatku kalau sering-sering duduk diatas meja, kalau kata bahasa jermannya Boeroet bool, iih…mengerikan sekali kan. Makanan sudah datang, steak daging diatas hot plate, nampaknya enak, tak menyesal aku ikut teman-temanku itu ke kafe.

Kita berbincang panjang lebar, lalu panjang kali tinggi, terus panjang diagonal segi tiga sama sisi, terus tertawa-tawa entah menertawakan apa, karena bagiku tidak lucu, masa membicarakan sekretaris baru yang salah masuk ruangan dan tiba tiba duduk di meja manager operasional saja menurut mereka lucu, kasihan kan sekretaris itu, apa teman-temanku tak bisa merasakan penderitaan dan tekanan batin yang diterima oleh sekretaris itu karena malu, maka dari itu aku hanya diam dan konsentrasi dengan steak di hadapanku saja.

Oooh…aku kekenyangan, badanku lemas tak tertahankan, tiga porsi makanan tadi sudah kuhabiskan, tak jadi aku ke swalayan, lagipula aku tidak mungkin mengemil lagi nanti malam dengan keadaan tanki utama kembung seperti ini. Masuk aku ke penginapan, teman-temanku belum pergi, pelayan di front office nampaknya sedang mereka godai, aku tak peduli, bantal guling sudah kugagahi, selamat tidur Bogor, jangan bangunkan aku tengah malam nanti, karena tak ada siaran sepakbola yang bisa menemani aku begadang semalaman.

Terbentang alasan sang surya setia

Tak perlu dijabarkan dengan rangkaian bahasa

Ia terlalu pelik….

Terlahir atas restu sang maha romantik

Marka pasti pergantian hari

Di tangannya kuasa atas jingga menghias senja

Karenanya pulalah lelap terusik

Mengusik hati sang para khalifah masa

Kusinari langkahmu semua ucapnya….

Maka terbangunlah dengan syukur dan sejuta tawa

Jam sepuluh pagi, di lantai tiga lagi, melihat penjual kue tua yang berjualan dengan setia tepat di bawah gedungku lagi, usia lanjut tapi tetap setia dengan profesi yang telah memberinya makan hingga merasakan usia setua itu tanpa dihentikan oleh mati kelaparan. Sama juga dengan preman yang terkena razia di pelabuhan kota kemarin lusa, tidak kalah renta, tidak kalah setia, eksis selalu dengan profesi premannya, dia tidak pernah sadar bahwa bentuk garuda pada tato di lengannya sudah hampir menyerupai burung pipit karena tempat ia menempel sudah terlampau mengkerut. Akupun kurasa harus begitu, eksis dengan dunia desainku sampai usiaku tumbang, maka dari itu aku harus menabung, siapa tahu nanti ada layar komputer yang sebesar bioskop dijual di pasaran, jadi walaupun mataku sudah berkurang ketajaman visualnya, tapi aku masih tetap bisa bekerja dengan bantuan layar sebesar itu, lalu mau disimpan dimana? Ya mungkin teknologi nanti juga bisa menciptakan fasilitas pendukung, siapa tahu layar sebesar itu bisa dimasukkan kedalam sebutir kapsul, ya….kita serahkan saja semuanya pada Allah…amin….

Setelah semua laporan selesai kuprint, sambil menunggu follow up dari pak Marlan, aku dengan sengaja, dan dengan kesadaran penuh turun dari lantai tiga ke lantai dasar gedung untuk membeli beberapa potong kue dari si bapak tua. Beberapa potong aku makan di tempat, takutnya kalau semuanya kubawa ke ruangan nanti teman-temanku yang lain minta, bukannya aku pelit dan tidak mau berbagi dengan mereka, tapi takutnya aku disangka mengajarkan kebiasaan buruk yaitu makan di ruangan kerja pada jam kerja pula. Sambil makan aku ngobrol dengan si penjual kue, maafkan aku mama, aku telah melanggar perintahmu, karena kau selalu bilang kalau makan jangan bersuara, tapi kan capek ma kalau ngobrol sama si bapa pakai bahasa isyarat, belum tentu juga kan dia akan mengerti. Dia cerita bahwa sekarang ia tinggal sendiri di Pontianak, dua anaknya sudah tinggal jauh merantau, yang satu ke Taiwan, dan yang satunya lagi tinggal di Batam, dua-duanya perempuan, mereka pergi mengikuti suaminya masing-masing, soalnya kalau mengikuti suami orang takut dipukuli masyarakat. Istrinya baru saja meninggal lima bulan yang lalu, kasihan si bapak, tadinya aku mau ngomong sama dia agar mengangkat aku saja jadi anaknya kalau dia mau, tapi aku segera mengurungkan niat itu, aku takut nanti si bapak disangka pernah selingkuh sama orang negro jadi punya anak keling sepertiku, padahal aku yakin si bapak orang yang setia, karena foto istrinya masih ia tempel di gerobak jualannya, dan ia tunjukkan padaku dengan mata berkaca-kaca.

Pak Marlan memanggilku ke ruangannya untuk mengambil berkas yang tadi aku berikan ke ruangannya, terus sekalian juga dia titip kue, dasar pak Marlan, kok tahu dia aku disini, padahal kan aku duduk sengaja mencari tempat tepat di bawah tenda gerobak si bapak tua agar tidak terlihat dari lantai atas, ternyata baru saja dia dari ruangan marketing di lantai satu, dan itu berarti tegak lurus dengan tempat aku duduk, pak Marlan ini ada-ada saja, kan aku jadi tidak enak hati, tapi tiba-tiba jadi enak lagi karena pak Marlan menyuruh aku ambil uang buat bayar kuenya sekalian juga hitung yang aku makan.

Hari sudah sore, langit mendung, jam setengah lima sore tampak seperti jam sebelas malam, hanya bedanya jalanan di depan gedungku belum dipenuhi PSK yang jadwal keluarnya jam sebelas, bukan berarti aku salah satu konsumennya ya, tapi aku pernah lembur sampai jam satu malam dan melihat mereka bermunculan seperti kodok keluar dari air saat hujan, tidak keliahatan jelas, tiba-tiba banyak saja mereka di depan gedung kantorku, untung saja mereka tidak menerapkan strategi coba dulu, kalu puas baru beli, seperti SPG makanan ringan di swalayan-swalayan.

Aku harus pulang segera, nanti malam aku diundang temanku pameran tunggal lukisannya di taman budaya, sebenarnya aku agak sedikit malas, tapi dia mengancam kalau aku tak datang, lukisan foto keluarga yang dia janjikan gratis untukku akan dibatalkan, jadi aja harus datang, kenapa coba pake mengancam begitu, padahal dengan dia bilang di pamerannya banyak makananpun aku akan datang kok, nanti-nanti lagi aku harus janjian dulu sama dia kalau mau ancam-ancaman, biar nantinya tidak ada yang sakit hati dan salah mengerti, dan agar terlihat lebih eksklusif saja, maksudnya?!?!………..ah sudahlah.

Tiba di tempat pameran, malam ini pembukaannya, aku datang sendiri tiada teman yang menemani, Jani ada rapat di Jakarta tapi dia tidak mengajakku, dia bilang ini rapat kantornya, bukan family day…ah Jani tuh ada-ada saja. Jadi aja kan aku sendiri kayak orang bego ke tempat pameran, biasanya aku mengajak Dira temanku kalau ke acara-acara pameran senirupa seperti ini, dia pasti suka, tapi waktu tadi pagi aku ajak dia, dia bilang tidak bisa, aku tanya apa dia ada janji, dia jawab tidak, mau bertemu klien, dia jawab juga tidak, terus kenapa ya dia tidak mau, dia bilang yang pameran malam ini kan dia, makanya secara sistem kan yang pameran datang duluan, ohh….

Ada yang menari-nari di awal pembukaan pameran, baru MC ngomong, terus sambutan-sambutan dari ini…itu…entah….tapi yang pasti aku ngantuk dan malas sekali mendengarnya, terlalu bertele-tele. Tapi orang yang di sebelahku serius sekali sepertinya mendengarkan kata demi kata, mukanya seperti pemerhati seni, atau dia pengrajin mikrofon dan mimbar kayu, makanya dia lihat setiap orang yang bicara di mimbar forum. “ Mas, acara masaknya kapan ya?” Dia sedikit terkejut karena aku bicara padanya tiba-tiba, terus dia mengerutkan dahinya pertanda bingung, “Memangnya di agenda pameran lukisan hari ini ada acara masak-memasak juga ya, saya kurang tahu tuh mas.” Si laki-laki tua gondrong itu sepertinya terganggu dengan pertanyaanku, dan dia langsung membuka buklet agenda pameran yang dipegangnya, sebelum dia mulai bicara lagi, aku bertanya duluan padanya, “ Jadi ini bukan pameran dan launching merk wajan baru mas ya, saya kemarin lihat di berita ada pameran merk wajan baru, launching wajan berbentuk segi enam, terus saya datang karena ada acara makan-makan gratis, tahu begini lebih baik saya tidur, tapi tak apa lah, sekalian saya sudah disini, gak enak juga kan pak kalau saya keluar forum sekarang, iya kan pak?!” Kok si orang tua gondrong itu tidak menoleh lagi ke arahku, “ Iya “ Jawabnya.

Dira tersenyum lalu mengahampiriku, dia bilang terima kasih sudah datang, aku bilang tidak masalah, kecuali dia pameran di Timor Timur baru aku tidak akan datang, lagipula pasporku sudah habis. Dia tanya apa kabar kuliahku, aku jawab sehat-sehat saja baru kemarin suntik tetanus. Dia tanya kapan aku lulus, aku bilang sebelum aku kawin, dia tanya lagi kapan aku kawin, aku bilang setelah aku lulus kuliah, dia tanya apa otakku belum sehat juga, aku tak menjawabnya soalnya nanti jadi keterusan nanya, memangnya aku kantor informasi pajak.

Aku melihat lukisan Dira satu-persatu, kadang dua-perdua, kadang misi-permisi, terus dia tanya komentarku, aku bilang bagus, warnanya penuh pasti catnya mahal, dia diam terus ngomong lagi kalau yang dia maksud itu konsepnya, concept…bukannya itu nama majalah desain grafis, apa dia lupa kalau aku desain produk. Dira kakak kelasku di kampusku dulu, kita cukup dekat karena satu pandangan denganku bahwa bulan itu mulus dan cantik, biarpun kata orang kalau wajah wanita cantik diumpamakan seperti rembulan itu salah, karena rembulan itu berongga-rongga. Biarlah, anjing menggonggong, kafilah mengembik, Dira mengaum, aku melongo, SBY pidato, hah…SBY siapa, Surabaya?!?!

Dira pulang bersamaku, mobil dia ditinggal di tempat pameran, kita mau makan malam bersama agar orang menganggap kita sangat akrab, padahal biasa saja. Kita singgah di warung kwetiaw yang cukup terkenal disini, letaknya di perempatan jalan, jadi aku dan Dira bisa makan sambil membahas polisi yang sedang berkumpul di posnya, entah menunggu orang yang melanggar lampu merah, atau menunggu giliran jaga dengan Hansip. Semua kita bahas, mulai dari kota yang cuacanya tidak bisa ditebak, listrik yang tidak bisa diandalkan kapan dia akan stabil menyala sehingga membuat pameran Dira terancam, kok aneh….bukannya sudah lama kau merasakannya, aku kan baru dua tahun disini, jadi wajar saja masih asing dengan keadaan lampu jalan yang selalu mati karena belum mendapat giliran jatah listrik. Dira lahap sekali makannya, satu porsi sudah habis dilahapnya, sekarang pesanan piring kedua sudah datang, kasihan dia mungkin beberapa hari ini lelah mempersiapkan pameran sampai lupa makan, pantaslah badan dia sudah mirip dengan jenglot, kurus kering, gigi berantakan, rambut gondrong tanpa belahan. Aku heran, padahal yang sebenarnya orang Pontianak itu Dira, tapi justru dia yang lebih tak betah dan tak tahan dengan suasana kotanya, yang dia bilang sepi dan panas, seingatku dulu semasa kuliah dia hanya pulang ke daerahnya saat Lebaran saja, dasar anak tidak berbakti, aku curiga dia dulu menghabiskan masa remaja di inkubasi, terus mamanya menyediakan home school untuk dia, jadi Dira tak pernah sadar kalau keadaan kotanya sudah seperti ini sejak dulu, atau bisa jadi kalau Dira tetap berpikiran bahwa Pontianak bukan di Kalimantan, tapi salah satu distrik di Rwanda.

Walau apapun yang terjadi kuucapkan selamat padanya karena ia telah sukses meyakinkan orang bahwa gambar mahluk bernyawa tidak selamanya haram, minimal itu menurut ayat Dira. Selamat malam seniman……

Jam berdentang…adzan berkumandang….

Aktifitas berulang….sibuk menantang…

Aku datang…..menghunus sebilah pedang…

Kutebas malas yang datang….karena aku butuh uang….

Banyak orang memandang….tak guna kularang…

Tapi mereka terus memandang…timbul rasa ingin kutendang…..

Untunglah aku orang penyayang…..

Walaupun kini mereka riang….mengitariku depan belakang…

Mau apa mereka sekarang…..

Ternyata mentertawakanku setengah telanjang…..

Terima kasih kolor belang-belang….

Kau menyelamatkan mukaku menjelang siang…..

Kasihan tetangga-tetanggaku, mungkin mereka belum terbiasa melihat orang di sekeliling mereka tidur dengan pakaian seadanya. Tapi tak apalah mereka tetap baik terhadapku. Selepas Shalat sengaja aku mandi, menantang dingin sampai-sampai ujung-ujung jariku menciut. Sengaja aku mandi agak pagi, agar aku leluasa menjelajahi dunia maya, sekalian juga mengirim hasil analisis desain tugas akhirku pada pak Setiawan d’ greatest one and only, semoga jalur internet tidak terlalu padat jam segini, semoga tidak banyak orang yang hobi browsing jam lima pagi, lalu agar suasananya seperti warnet, kunyalakan lagu dengan speaker aktifku, sekalian juga jadi alarm buat tetangga-tetanggaku yang belum bangun, kusiapkan juga cemilan yang masih tersisa dilemari makananku, biasanya aku pesan fanta dingin, tapi tak bisa karena ini kamarku, bukan Warnet.Ya…tak apa lah, kukirimkan lembar demi lembar file tugas akhirku, puluhan lembar sampai aku setengah tertidur, kulihat remang-remang preview sent item di layar komputer, celaka enam belas….puisiku buat Jani ikut terkirim juga, aku deg-degan, segera saja kukirimkan pesan untuk pak Setiawan:

“ pak maaf tadi yang puisi selembar salah kirim, tenang lah pak, saya bukan homo kok, lagipula perbedaan usia kita kan jauh berbeda untuk membina hubungan yang lebih serius, maaf pak ya, saya lanjutkan lagi mengirim e-mailnya pak ya.”

Jam setengah tujuh pagi baru selesai semuanya aku kirimkan, segera aku bergegas merapikan diri, pakai kemeja, celana jeans hitam, kaca mata hitam baruku, tapi itu hanya mencoba saja dan tak mungkin kupakai ke kantor, nanti takutnya aku disangka Bucek Deep, kubereskan tas kerjaku dan kuletakkan di atas meja, segera aku keluar rumah untuk memanaskan mobil, tiba-tiba Jani datang, menanyakan aku mau kemana? Aku balik bertanya padanya kenapa hari ini ia tidak bekerja, malah nongkrong di rumahku pagi-pagi, Jani menjelaskan dengan sangat detail, sesuatu yang berat namun mau tak mau harus aku terima, ternyata ini hari minggu, dan ternyata aku berjanji menemaninya main tenis hari ini, aku bertanya lagi padanya apakah aku boleh pake baju ini, yee…..kata Jani, tuh kan Jani…jadi aja aku harus ganti baju, coba kalau dia tidak bilang hari ini hari minggu, aku kan tak perlu repot-repot ganti baju lagi.

Aku dan Jani sudah sampai di komplek olag raga, dan segera menuju lapangan tenis, sebenarnya aku ingin ke lapangan basket, lapangannya lebih bagus, banyak gambarnya berwarna-warni, sedangkan lapangan tenis polos dan hanya bermotif garis-garis, tapi Jani tetap pada pendiriannya untuk ke lapangan tenis, mungkin Jani punya phobia pada lapangan yang bermotif lucu, atau mungkin kontur lapangan basket kurang cocok dan enak untuk bermain tenis. Jani jauh lebih jago bermain tenis dibandingkan denganku, dia sangat lincah sekali bergerak kesana kemari, pasti waktu SMA dia aktif di ekstra kurikuler olah raga catur.

Aku tahu satu hal baru sekarang, pengalaman hari ini memberikan pelajaran baru , bahwa sesungguhnya main tenis itu capek, dan Jani bilang aku tidak boleh langsung minum air es, harus menunggu sampai keringatnya kering, dan suhu badanku kembali normal. Terus dia membandingkan tubuhku dengan gelas yang panas, jika langsung kena air es maka gelas itu akan pecah, makanya aku menurut saja apa kata saran Jani, daripada nanti organ dalamku pecah dan berderai.

Sepulang olah raga kita tidak langsung pulang, Jani memintaku untuk mengantar dia singgah di toko obat Cina, aku langsung memarahi dia, aku kira dia mau beli obat pelangsing, ternyata dia hanya mencari obat buat sakit pinggang, baguslah….aku beri tahu dia kalau sering-sering makan obat pelangsing nanti efek sampingnya mukanya kayak keramik terus ngomongnya jadi cadel (maaf ya, aku sama sekali tidak bermaksud rasis…hehehe…piss) mirip kayak iklan krim pemutih kulit buatan negeri tirai bambu itu, dan apakah Jani percaya…oh, tentu tidak, karena dia cukup cerdas.Tokonya mengerikan, kalau kau ingat seting opening film Friday the 13th, mirip sekali dengan suasana toko obat ini, banyak benda-benda aneh, baunyapun aneh, yang gak ada disini hanya toples berisi otak manusia yang direndam dengan cairan pengawet. Tapi di bagian pojok juga ada toples kaca besar yang isinya entah air apa, yang pasti aneh dan sedikit mengerikan, waktu aku tanya ternyata itu air campuran rempah-rempah, beberapa binatang, dan serangga, katanya berkhasiat untuk vitalitas dan aku ditawari untuk mencobanya….terima kasih…..mungkin lain waktu kalau aku cukup sableng baru mau mencicipi, dan sekarang visualisasi ruangan toko obat itu berubah dari Friday the 13th, sekarang malah menyerupai Fear Factor yang nyuruh orang makan yang aneh-aneh. Tiba-tiba Jani memegang sebentuk benda, seperti dendeng, tapi ada kepalanya, ya…itu adalah tokek kering, si penjual obat bilang kalau dicampur dengan beberapa rempah akan ampuh mengobati penyakit kulit, dan kalau ditambah dengan ginseng akan menambah daya tahan tubuh, lalu aku tanyakan padanya kalau dicampur dengan bumbu rendang akan mengobati apa selain mengobati lapar, pasti cara masaknya tuh, bumbu rendangnya dipanaskan, masukkan tokek kering terus masukan daging sapi cincang, setelah satu jam masakan diangkat lalu disaring, tokeknya dibuang, lalu daging sapi cincangnya yang dimakan. Terus kenapa sahabatku yang kebetulan orang Cina dipanggil tokek, padahal dia kan tidak dikeringkan saat sudah tua dan tidak bisa mengobati penyakit kulit juga kan.

Sekantong barang-barang aneh yang katanya obat sudah dipegang Jani, sebenarnya lebih seperti barang-barang buat sesajen. Kita segera menuju mobil karena langit sudah mulai menangis, meneteskan bulir-bulir air ke batang hidungku. Sesampainya di mobil Ponselku berbunyi lagi, Jani bertanya dari siapa, aku jawab pak Setiawan, Jani tanya lagi ada apa, aku jawab lagi mungkin pak Setiawan rindu berat sampai-sampai minggu pagi begini sudah menghubungiku, Jani bilang jangan bercanda dan suruh aku segera buka, aku bilang jangan disini lah malu, nanti banyak orang yang lihat, bagaimana kalau anak kecil yang lihat, nanti kita dibilang memberi contoh yang tidak baik untuk perkembangan akhlak mereka, Jani diam…sedikit melotot…..akhirnya aku menjawab lagi, “ Oh, maksudmu buka isi pesannya kan, jangan marah dong nanti cepat tua, sebentar ya…” Ternyata isinya tentang tugas akhirku, Jani tanya apakah aku lupa lagi mengirimkan lembar asistensi minggu ini, aku jawab sudah tadi pagi, terus ada apa dong kata Jani, aku bilang kalau yang aku kirimkan tadi pagi itu ternyata lembaran BAB I, sedangkan aku sekarang kan sedang mengerjakan BAB III, maafkan saya pak nanti siang saya segera mengirimkan lagi lembar asistensinya, maaf lah pak soalnya tadi masih pagi, jadi saya masih agak-agak mengantuk. Jani menutup muka mungkin dia agak sedikit sakit kepala, mungkin migran, mungkin menjelang menstruasi, atau malu jalan denganku, jangan dong….kan kita sehati, senasib sepenanggungan, berat sama dipikul ringan sama dipikul, sedang-sedang saja juga dipikul, kalau nakal dipukul, kalau bandel dijewer, tapi yang pasti aku sayang kamu….selalu…..

 
Copyright (c) 2010 karma sang fajar. Design by Wordpress Themes.

Themes Lovers, Download Blogger Templates And Blogger Templates.