Wednesday, February 23, 2011

Empat puluh lima menit tepat hingga sekarang, belum bernjak kemanapun, aku amati seksama setiap jengkal etalase, sudah semuanya, tak ada lagi angka tujuh yang tersisa. Lekas aku pergi, dan aku tahu pasti dimana aku akan berhenti berikutnya, selalu di tempat itu, tegak lurus menghalangi pagar rumah yang dulu sering kubuka, ah...kenapa harus angka tujuh yang menempel di tembok itu yang kamu inginkan, tapi nampaknya pilihan untuk melengkapi seribu buah angka tujuh yang tertata rapi di tembok tempat kau membersihkan piano itu setiap hari adalah ini, dan hanya disinilah langkah kamu akan terhenti, tersenyum ke arah bidak kayu yang membentuk angka tujuh yag menunjukkan alamat rumah ini, kamu sudah memilih, aku yang belum, kamu hapal betul apa yang pernah terjadi di rumah ini, mungkin itu dari sedikit yang tersisa di memori otakmu yang menyisakan sedikit saja, aku, not balok, orang tua, mungkin rumah ini, dan angka tujuh. Terlalu berat aku izinkan kaki ini membawaku mendekati benda yang kamu inginkan itu, karena kemungkinan Anna akan secara begitu saja menemuiku di depan pintu, aku akan sangat bersyukur kalau dia meneriakiku maling karena terlihat sedang akan mencopot nomer rumahnya, karena dengan itu aku bisa berlari sekencang-kencangnya, namun jika bukan terakan maling yang keluar, tapi malah sapaan apa kabar, tentu itu akan membuatku tak bisa kemana-mana.
Anna calista, untuk semua yang pernah terjadi beberapa tahun yang lalu, aku tak tahu cara yang tepat untuk meminta angka tujuh yang menempel di tembok dekat pintu rumahmu, mungkin aku harus menerangkan dari awal kejadian hingga angka itu menjadi salah satu hal penting yang mengisi sisa memori bagi Aizy, hingga saat seribu buah angka tujuh itu lengkap menempel di hadapannya terpenuhi, dia akan kembali bernyanyi dan memainkan piano itu untukku, dan sejenak aku akan berpikir semuanya baik-baik saja, karena aku masih memiliki Aizy yang dulu, satu-satunya warisan berharga yang ditinggalkan mama papaku, rumah besar itu terasa siksaan bagiku, trlalu banyak kenangan papa dan mama yang tertinggal disana. Andai Aizy tidak disitu untuk menungguku melengkapi apa yang ia mau, aku sudah lama pergi menjauh. Namun entah apakah aku cukup berbesar hati untuk menemuimu yang mungkin masih lantang membuangku seperti beberapa tahun lalu, dan menceritakan apa yang terjadi, hingga aku tidak sendiri untuk berusaha membuat Aizy bernyanyi kembali. Aku tidak menyisakan marah itu untuk kamu Anna, mungkin tidak saat aku tak melihat wujudmu lagi, tapi nampaknya Aizy tak memberiku pilihan.
Hari itu, tepat sepuluh tahun yang lalu, di ulang tahun Aizy yang ketujuh, seharusnya semuanya menjadi hal terindah bagi adik cantikku itu, hari pertama ia memakai sepatu bertali, hari pertama ia bisa berangkat sekolah sendiri dengan sepeda baru hadiah ulang tahunnya. Namun prosa itu terlalu indah untuk Aizy, saat mama dan papaku mengajaknya berjalan-jalan dengan kereta api dalam kota, kereta itu terbakar, papa sempat memberikan kesempatan kedua untuk Aizy hidup dengan melemparnya keluar dari gerbong tujuh dari rangkaian kereta api yang membawa orang tua dan adikku tersebut, ribuan nyawa berakhir disitu, kepala Aizy terbentur, hingga angka tujuhlah yang terngiang berulang di telinganya saat orang-orang berteriak," Gerbong tujuh terbakar...gerbong tujuh terbakar....mungkin kita tidak akan bisa menyelamatkan ribuan orang di dalamnya." Dan aku dimana saat itu? Lembayung itu terlambat datang, hingga aku yang terbuai untuk menantikannya di lensa kameraku tidak menyadari temanku menelponku dan mengabari bahwa ayahku membutuhkan banyak darah yang golongannya sangat langka, dan salah satunya dimiliki oleh aku, anaknya. Andai lembayung itu datang beberapa menit lebih cepat, semuanya tidak akan ikut terlambat.
Dan hari ini ulang tahunnya yang ke tujuh belas, tepat kemunculan angka tujuh berikutnya di atas kue ulang tahun Aizy, seharusnya hari ini saat yang tepat aku memberikan angka tujuh baginya yang keseribu, dan ia akan kembali bernyanyi bersama-sama denganku, dan tangannya akan bergerak anggun di atas tuts piano miliknya, setidaknya itu yang ia janjikan atas aku. Rumah ini pernah menghancurkan harapanku beberapa tahun lalu, tiga tahun yang sudah dilalui tak membuat Anna yakin untuk menyandarkan hari tuanya bersamaku, dan aku keluar dari pintu yang sama dengan janji yang tidak terucap, aku tidak akan pernah mengetuk pintu itu lagi. Hari ini, aku minta kesempatan kedua, kepada hatiku untuk memaafkan semuanya, melangkah ke pintu itu, dan menceritakan semua yang terjadi, demi Aizy, dan tentu untuk aku.
Semuanya terlalu keras mengikatku, bahkan untuk sesuatu yang sama sekali tidak kuyakini, semakin jauh aku berlari, semakin semuanya terasa mendekat. Jingga langit di kejauhan, memantul keras di kaca mobilku, ada pesan yang coba ia sampaikan, dia datang saat aku sama sekali tak punya alasan, apa yang seharusnya aku lakukan, ia mengingatkan aku bahwa semua yang salah tidak selamanya akan seperi itu, seperti kedatangannya sepuluh tahun lalu yang menyisakan penyesalan yang dalam untukku. Aku kirimkan lekas senyumku untuknya, dan segera aku berjalan cepat menuju pintu rumah itu, dan tak perlu aku mengetuk untuk kedua kalinya Anna sudah berdiri disana tersenyum dan membukakan pintu rumahnya lebar-lebar. Aizy sudah berada di dalam sana, tepat duduk di depan piano kesayangannya, dia ulurkan tangannya tanda panggilan, segera aku menghampiri tubuh kecil berbalut gaun pendek berwarna biru, dia cantik sekali hari ini. Aizy menengokkan kepalanya ke atas langit-langit rumah, semua angka tujuh yang kami kumpulkan tergantung disana, mulai dari potongan majalah, potongan plat nomer mobil camat yang kita berdua sangat benci, hingga nomer antrian dokter yang waktu itu kita mendapatkan nomer antrian periksa yang ke tujuh puluh tujuh. Ia mendekatkan kepalanya ke telingaku, tangannya yang dingin erat memegangku, sepertinya ia baru selesai mandi, sedangkan kakaknya….kumel berbau matahari karena seharian keliling kota untuk melengkapi seribu buah angka tujuh untuk upeti dia bernyanyi. Aku Tanya apakah semuanya sudah lengkap seribu buah, dia menggelengkan kepalanya, aku liat nomer rumah Anna juga masih terpasang rapi di tempatnya, “ Bukan nomer rumah itu yang akan melengkapi semuanya, aku menunjuk ke arah rumah ini untuk menuntun kamu agar lebih terbuka dan memaafkan, bukan untuk kembali lagi pada Kak Anna, tapi semata untuk membuat kebahagiaan kamu lebih sempurna, dan itu juga akan lebih sempurna juga untukku.”
Terduduk tenang aku di sofa, dan Anna disana tepat di sampingku, mengalun suara Aizy dan pianonya mengisi ruangan yang dipenuhi banyak orang yang datang di ulang tahunnya yang ketujuh belas. Jingga langit masih disana, menjadi hiasan dalam bingkai jendela kayu bercat putih di rumah ini. Lembayung ternyata tidak pernah datang terlambat, setidaknya tidak untuk kedua kalinya.

0 comments:

Post a Comment

 
Copyright (c) 2010 karma sang fajar. Design by Wordpress Themes.

Themes Lovers, Download Blogger Templates And Blogger Templates.