Thursday, April 9, 2009

Merapat senja membawa Tanya…

Tanya untukmu wahai sang dara

Jika kelak cinta ini renta

Maka ingatkanlah….

Bahwa banyak barisan kisah dari catatan hari

Yang telah menggariskan diri ini tetap disini

Tetap di inginku yang kujelang menjelang petang

Yang kuyakini di pintu pagi

Bahwa kaulah pembuka makna…

Makna bahwa kau adalah pertanda bahagia

Di garis batas kututup mata…

Ya….kau Jani, yang kupandangi fotonya setiap saat, gambar yang kupandangi sebelum aktifitas pagi melilitku. Kau yang menjadi cerita terakhir yang kukenang menjelang tidur, cerita yang kubawa serta sebagai penyejuk diantara peliknya rutinitas kerja. Senyum yang dulu selalu membuatku tertawa diatas kereta, membutakan pandanganku, hingga aku tak pernah peduli semua orang memandang dan menganggapku gila.

Ini hidupku, hidup yang kumulai di pukul tujuh. Bertahun tanpa henti, karena ternyata lambungku belum bosan untuk meminta kuisi setiap hari. Hari ini aku terlambat, karena semalam aku tidur larut, mengejar deadline desain yang kuharapkan bisa mengucurkan dana segar untuk membayar cicilan mobilku bulan ini. Mungkin kamu berpikir aku terlalu ngoyo mengejar kendaraan roda empat itu sampai-sampai harus kredit, tapi kalau kau melihat betapa banyaknya barang-barang yang harus kubawa ke kantor, pasti kau tidak akan tega melihat vespa tahun.1979 warna biru punyaku membawa beban sebanyak itu.

Sepotong roti sudah di tangan, entah roti dari hari apa akupun tak tahu, tapi kalau tidak salah Jani yang membawakannya untukku beberapa hari yang lalu…mmmm…beberapa minggu lalu mungkin…entahlah aku lupa, yang aku ingat adalah semalaman aku lupa makan hingga pagi ini aku lapar sekali. Kubereskan berkas-berkas kerja ke tasku, ya Tuhan…..”ya…ada apa umatku yang pelupa?”…mungkin itu tanya Tuhan padaku, kusibak seberkas tumpukan kertas, ya…berkas skripsiku.Entah apa pak Setiawan masih mau menerima alasanku lupa mengirimkan lembar asistensi skripsiku lewat e-mail minggu ini, aku ingin lulus, tapi perut ini perlu makan, mobilku perlu minum,dan Ponsel-ku perlu pulsa….hahaha…lalu kenapa masih lupa kau mengabariku, pak Setiawan…dosen pembimbing tugas akhirku selalu mengulang itu setiap hari.

Setahun ini aku diberi kesempatan untuk mengambil asistensi on-line, karena ternyata aku tak bisa meningalkan kerjaanku disini, walaupun aku harus terpisah jauh dengan kampusku di Bandung sana, dan aku belum berani untuk meminta izin asistensi secara telepati, minimal dosenku tahu kalau aku berniat lulus. Tapi aku sial, ternyata lulus tidak cukup hanya butuh niat, tapi juga butuh uang…ini bukan kelucuan, tapi ini kenyataan, tapi aku tak pernah mengeluh, karena bu Isnaeni guru TK-ku dulu selalu berpesan untuk aku bekerja keras dan jangan terlalu banyak mengeluh, selain ia juga mengajarkan aku mewarnai gambar secara penuh, dan kau tahu….itu menjadi ilmu pertama yang kemudian aku terapkan dalam pekerjaanku sekarang, setidaknya aku berpikir bahwa ada satu bagian desainku yang jelek tak perlu dihapus, tapi aku imbangi dengan gambar lain yang lebih mencolok, seperti panu yang saat bergabung dengan bedak bau badan akan tersamarkan.

Sudahlah, tak usah banyak berkoar, sekarang sudah jam 8.30, dan itu berarti aku sudah terlambat setengah jam untuk bertemu “ My Head Division”, ditambah lagi dengan estimasi waktu yang harus aku tempuh menuju tempat kerja, berarti total aku terlambat satu jam. Tapi aku yakin pak Marlan adalah orang yang baik hati, dan tidak akan memotong gajiku, karena dia melihat betapa merahnya mataku dan betapa lemasnya aku karena kurang tidur.

Pos satpam sudah kulewati dengan sukses, tiba aku di penyebrangan menuju istana langit, biru, indah, tapi panas, membuatku tak nyaman, naik aku ke punggung Gilda sang kura-kura bodoh, jalannya lambat, makan dakinya sendiri, semua binatang air menyapaku, semua mentertawakan dan berbisik-bisik tentang si kuat dan bodoh Gilda, air beriak muncul cahaya…keluar si naga ketawa, dia terlampau ramah, semua dia beri senyum, tapi tak satupun yang membalasnya, karena si naga mengeluarkan api setiap ia tertawa, Gilda ketakutan, ia berdiri, akupun naik, naik terus hingga aku merasa melayang dan agak mual, dan tiba-tiba aku sudah ada di lantai tiga, khayalan-khayalan tadi harus aku lakukan agar aku tidak muntah dan berkeringat, itu artinya aku sudah melewati phobia-ku yang berlebihan pada lift, berarti aku sudah dekat dengan ruanganku, berarti aku sudah harus bersiap-siap memberikan alasan keterlambatanku pada atasanku, pak Marlan….oh ruangannya tepat di depanku sekarang…oh tidak…oh aku masuk…oh beruntungnya ternyata aku lupa kalau pak Marlan ternyata sedang rapat di Singkawang, dan aku yang mengantarnya tadi malam, bodohnya aku……aku duduk di kursi kerjaku sambil setengah berbaring, enaknya kerja seperti ini, “Pagi pak Gilda “ itu dia si gemuk bodoh, tapi aku harus tetap ramah dan hormat padanya, karena ia komisaris kantor advertising ini….maaf pak , aku tidak bermaksud menunggangimu tadi.

Ini tumpukan kertas, kalau tumpukan uang sudah aku masukan kantong dari tadi, tapi jangan salah, semakin banyak kertas order di depanku, maka semakin banyak bonus yang kuterima bulan ini, dan itu adalah uang, bukan tikus tanah….apa hubungannya?!?!tiba-tiba saja terbersit gambar billboard yang membuatku hampir menabrak pohon karena melihatnya, bukan karena bagus…justru karena kupikir sangat norak, gambarnya duit dan seekor tikus, dan kau tahu tikusnya jelek sekali ( dengan tanpa bermaksud menghina ciptaan sang Khalid ), bulunya tegak, sedikit botak, mungkin korengan, terus ada tulisannya “ Hari Gini Masih Korupsi “, kasian si tikus, padahal aku yakin ia tak pernah korupsi, paling-paling dia korupsi ikan asin, itupun hanya di dapur mamaku, dan aku rasa tidak merugikan banyak orang.

Kutarik garis pertama di kertas kalkirku, anggap saja itu garis start aku mulai bekerja hari ini, garis demi garis, lalu menjadi kotak, lalu menjadi balok, terus jadi kamar, terus aku scan, terus aku masukan perabotan yang aku rancang kemarin, terus kuwarnai di komputer, terus kubawa ke ruangan mba Vay, terus kuminta tanda tangan dia di kertas laporan, terus aku push-up, terus aku main PS2…maaf yang dua tadi tentu saja tidak, maksudnya tidak dilakukan selama pak Gilda masih ada di kantor.Lapar…kenapa sudah lapar lagi ya?! Pantas, sudah jam satu siang sekarang.

Itu Simin, penjaga markas dua, ruangan kecil tepat di bawah tangga lantai dasar, hanya 3 x 3 M, di dalamnya banyak tersedia makanan, terdapat pula lemari berwarna merah, pintunya terbuat dari kaca, kacanya selalu berembun sepertinya dingin sekali kalau aku dikurung semalaman di dalamnya, dan ditempeli stiker bertuliskan, “apapun makanannya minumnya ga boleh ngutang”, terus Simin sibuk melayani permintaan setiap orang yang datang, kok mau ya Simin disuruh-suruh?!?!…entahlah, tapi kalau sudah kenyang semua yang datang harus ngasih Simin uang, dan ini namanya kantin. Sebenarnya agak berjalan menuju arah kanan pintu masuk ada markas satu, Pujasera yang lebih besar dan lengkap, tapi aku lebih memilih disini, lebih sepi dan santai karena tidak ada yang menunggu giliran duduk di tempatku selagi makan, lagipula aku sulit menerima kenyataan bahwa teman-teman kantorku ternyata adalah orang-orang yang sangat peduli dan up to date akan kabar teman-temannya, temannya ada yang beli mobil baru diskusi, ada yang punya selingkuhan baru diskusi juga, ada yang memelihara gadis SMA baru diskusi lagi, sampai-sampai bosku jam tangannya mati aja jadi bahan diskusi hebat, karena mereka menganggap bosku menjelang bangkrut karena tak mampu membeli baterai baru untuk jam tangannya.Mereka sungguh peduli dengan keadaan rekan-rekannya, tidak seperti aku yang cuek dan tak mau ikutan pusing.

Ada suara lagu Axl Rose terdengar, sepertinya aku hapal, ternyata tebakanku selalu benar tentang lagu itu akhir-akhir ini, Ponselku berbunyi, ada nama Jani, tapi bukan nyanyi lagu Axl Rose, dia hanya mengirimkan pesan singkat berupa kata-kata, mengingatkan aku makan siang, ohh….perhatian sekali Jani ini, pasti wanita ini ada hasrat padaku, hasrat untuk memiliki jadi kekasih hatinya, tapi kalau tidak salah enam tahun lalu aku pernah mengatakan seuatu padanya, setelah itu ia tertawa, lalu aku pegang tangannya, lalu ia tersipu, lalu aku disuruh pulang, karena ternyata ayahnya sudah menunggui dari balik pintu sedari tadi….sial aku malu sekali, lalu setelah malam itu aku dan dia sering nonton bioskop, film-film romantis tentunya, itupun dia yang milih kok…sumpah….terus Jani juga jadi sering menyuruhku datang ke rumahnya setiap malam minggu. Jani memang tidak pernah berubah sejak enam tahun yang lalu.

Tuh kan…hujan lagi, tapi tak apa lah, setidaknya sekarang kertasku tidak akan basah lagi seperti dulu waktu kuliah, sekarang kan kendaraanku ada atapnya, beberapa hari yang lalu atapnya bocor, terpaksalah aku ke bengkel, membenarkan lubang yang ada di atap mobil, terus dilas, didempul, dicat, dan abrakadabra…ketok mejik, mobilku seperti baru lagi, biarlah aku membayar tiga ratus ribu untuk itu, yang penting aku senang. Jani melihat, dan diapun ikut senang, karena sebenarnya kalau kita pergi berdua bagian kepala dia yang kena bocor bukan aku, habis Jani selalu menolak kalau aku suruh duduk di belakang, kata dia nanti seperti naik taksi, dan aku sopirnya, padahal kan kalau dia bisa melihat kedalam isi hatiku aku tidak bermaksud seperti itu, pasti dia bohong, pasti sebenarnya Jani mabuk perjalalan, makanya dia maunya duduk di muka, di samping pak supir yang sedang bekerja mengendarai Strada supaya baik jalannya.

Jam istirahat sudah selesai, aku berlari karena melihat orang-orang juga berlari, tapi berlainan arah denganku, tapi kok pakaian mereka berbeda, seperti aku melihat orang-orang yang ke Senayan setiap Minggu pagi. Padahal ini kan hari Jumat…Jumat…ya, aku baru ingat, kan setiap Jumat sore waktunya olah raga, segera aku mengikuti mereka ke lapangan, ikut instruktur yang badannya seksi, pakai baju tanpa lengan, melenggak-lenggok, seksi sekali, sampai dada diapun ikutan langsing dan rata, rambutnya cepak, ternyata dia laki-laki, tapi sudahlah yang penting kan dia intruktur aerobik, coba kalau instruktur senam hamil, kan lebih bingung lagi. Demi menjaga eksistensiku sebagai laki-laki jantan yang tak pernah basah ketek, kutanggalkan kemejaku sehingga terlihatlah kulitku yang masih perawan dari sengatan matahari itu, kuikuti setiap gerakan dari sang istruktur, mulai dari pemanasan, gerakan kaki bangau, rangkaian gerakan jepit…tahan…jepit…tahan…hinga kurasakan ada yang kejepit, tapi aku ga tahan, ternyata itulah makanya produsen sepatu menciptakan sepatu untuk olah raga, sehingga kaki lebih nyaman saat melakukan gerakan-gerakan seperti tadi. Ternyata olah raga bertelanjang dada, bercelana bahan woll, dengan sepatu kulit hampir setinggi lutut adalah kebiasaan yang buruk, dan dapat diklasifikasikan perbuatan menyiksa tumit dan jari kaki. Sudah ah, aku sudah kebanyakan kejepit dan ga tahan lagi, jadi aja harus balik lagi ke markas Simin,soalnya haus habis olah raga, jadi aja Simin nanya kok balik lagi, jadi aja Simin bingung kenapa aku keringatan, ya olah raga lah, masa gitu aja Simin bingung, tapi kan anak advertising olah raganya hari selasa, hari jumat kan bagian administrasi dan pemasaran.Iya gitu Min? Kenapa ga ngomong dari tadi pas saya belum ganti baju, kan si Simin ….jadi aja aku malu masuk ruangan, masa keringatan sendiri, pantesan tadi liat orang-orang yang olah raga agak-agak asing gitu.

Mba Vay memarahiku lagi setibanya di ruangan, katanya sudah aku datang terlambat, terus korupsi waktu istirahat pula jadi satu jam, padahal jatahnya kan setengah jam…iya gitu..kapan mba Vay ngomong gitu, perasaan aku ga pernah dengar, Iya lah yang ngomong kan Pak Marlan. Masa mba Vay gitu aja jadi galak, masa aku bilang kalau aku telat karena melatih anak-anak administrasi dan pemasaran soal senam yang baik buat karyawan kreatif seperti apa, mba Vay gak percaya. “ Emang kalau bikin celana olah raga dari bahan woll dosa mba ya? “ Mba Vay bingung, ia berpikir keras, keras sekali, kasian mba Vay, “ Ya enggak lah.” ya gak usah marah lah mba, baru juga jadi kepala bagian desain,apalagi jadi kepala suku Hutu, pasti mba paling putih dan paling cantik, tapi tetep galak, bawa-bawa kapak besar sekali, terus tindiknya ada sepuluh di masing-masing telinga, badannya bertato gambar kadal, jalan-jalan sambil makan anak ayam mentah-mentah….serem…” Oh ga salah tapi mba ya, yaudah lah…maafkan saya mba ya terlambat, tapi jangan bilang-bilang sama pak Marlan mba ya, kan ini rahasia kita berdua.” Mba Vay tersenyum, udah mba ah jangan tertawa, jelek.

0 comments:

Post a Comment

 
Copyright (c) 2010 karma sang fajar. Design by Wordpress Themes.

Themes Lovers, Download Blogger Templates And Blogger Templates.