Sunday, May 16, 2010

Hey itu siapa…..
Menatapku penuh curiga….
Sedari tadi tak mengedipkan mata…..
Entah benci atau cinta….
Tapi ia menyuguhkan ke hadapanku sebentuk cendera mata…..
Dibawanya jauh dari luar kota……
Diberikannya juga padaku pelukan mesra….
Pelukan yang kukenal baik sejak lama…
Mama…..
Akhirnya dikau datang juga…..
Mamaaaaaaa…….kukejar sosok itu dengan penuh haru, dengan harapan dia akan balik berteriak histeris, “Halah” kata mamaku, sungguh tidak romantis. Bapak dan adikku menyusul di belakangnya, entah mereka tadi darimana.
Segera kubantu mama mengangkat koper yang entah membawa persediaan untuk bertahan hidup berapa tahun, biarlah……kalo kutegor nanti malah aku yang bakalan kena ceramah dibilangnya aku ga bakalan ngerti soal ini. Mama menanyakan mana Jani, kujawab sedang ke Zimbabwe, ngapain,,,,?...... Belajar masak gajah, iya gitu, emangnya penting? Penting lah mah, kan salah satu syarat biar bisa jadi pengurus PKK kelurahan, “ Dasar kamu.’ Kata mama, “ Mama percaya gitu” Itu aku yang nanya, “ Ya nggak lah…….” Ah dasar mama…… tau aja.
Melalui hari-hari bersama mama, bersama orang yang paling tau jam berapa aku harus ke kamar mandi setiap pagi, apa yang aku lakukan setelah menghabiskan semangkuk bubur ayam dan menggaruk-garuk bagian belakang celana pendekku, orang yang selalu tahu kalau aku mulai tidak nyaman berada di suatu kumpulan orang. Dua puluh lima tahun cukup untuk membuat dia mengerti bahwa aku sangat menyayanginya lebih dari apapun tanpa perlu aku ucapkan. Dan pagi ini sudah tersaji semangkuk bubur ayam, dan itu bukan dari penjual bubur di depan rumah yang rajin mengabsen namaku setiap pagi, mama sengaja dan dengan kesadaran penuh memasakkannya untukku, dan kamu tahu….itu enak sekali, tanpa tercium bau asap sama sekali.
Aku bahagia ada dia disini sekarang, menemaniku di tempat yang kupilih untuk menghabiskan sebagian fase hidupku menjauh dari dunia yang dulu membuatku lumpuh seketika. Ia memberi terang untuk langkah yang harus kuambil, tak terkecuali saat ini. Ia tak memaksakan tentang suatu pilihan, namun lebih kepada memberikan ketenangan agar semua keputusan yang aku ambil bermuara pada akal sehat bukan pada kuasa emosi semata.
Bersandar di hangat dua belah kakinya sore itu, keyakinan itu tiba-tiba tumbuh seiring pertanyaan yang terlontar dari senyum sederhananya, pertanyaan apakah kepulanganku jadi atau tidak tiba-tiba menjadi mantra sakral yang harus kuterima tanpa kuasa untuk menahan. Rasa sakitnya hanya sesaat, bersarang dalam dua menit aku terjebak di indah kenangan tentang Jani, dan beberapa detik sakit yang ia berikan dengan pengkhianatan. Aku tetap yakin pada langkahku ma, esok aku pulang, entah dengan atau tanpa pamit dan senyuman terakhir dari wanita yang telah menemaniku beberapa tahun terakhir ini.
“Udah pamit sama jani?” elusan halus di rambutku yang dulu menjadi lagu pengantar tidur kurasakan lagi seiring pertanyaan yang diucapkannya perlahan, “ Belum, mungkin aku harus cari cara tepat untuk menyampaikannya, tapi aku yakin dia udah tahu.”

0 comments:

Post a Comment

 
Copyright (c) 2010 karma sang fajar. Design by Wordpress Themes.

Themes Lovers, Download Blogger Templates And Blogger Templates.