Monday, June 14, 2010


Tergesa Heva berlari dari kejauhan, kompilasi keringat, nafas setengah terkuras, dan kulit hitam terawatnya cukup membuatku tersenyum di sela satu setengah jam aku menunggu di ruang tunggu bandara ini. Segera ia menghampiriku, mencoba untuk menunjukkan wajah bersalah karena telah terlambat menjemput tanpa ingin mengungkapkannya dengan ujung mulutnya yang bergerak-gerak tak jelas. Laki-laki itu tak pernah berhenti memberikan kebahagiaan untukku sejak pertama aku menghancurkan bola futsalnya karena emosi pada seseorang, dan aku malu untuk mengatakan bahwa emosiku ternyata salah sasaran, aku kira bola yang kuhancurkan milik Gizta, laki-laki yang pernah membuatku berbunga-bunga dalam tiga hari pertama ia pernah memuji lagu ciptaanku yang dia bilang cocok dinyanyikan oleh mulutku yang tipis dan merah, lalu tiba-tiba menghancurkanku seketika karena ia hadir di acara sekolahku bersama sepupu perempuanku, memuakkan sekali mereka berdua waktu itu. Heva hanya garuk-garuk kebingungan melihat bola futsal yang baru berumur empat hari hasil ia menabung tiga bulan dan mengorbankan makan siangnya tertunda hingga malam, aku hancurkan kejam dengan sebatang bolpoint. Awalnya aku bingung melihat tingkahnya yang terpaku dan tak berkata apa-apa, dan kamu tahu setelah aku tahu bahwa benda yang kuhancurkan itu adalah miliknya aku meminta maaf padanya selama tiga hari berturut-turut tanpa henti dan berjanji akan menggantinya dengan yang baru, dan manusia itu hanya kebingungan melihat aku yang menahan malu dan setengah menangis. Dan dihari ketiga dia baru angkat bicara bahwa dia meminta ganti atas bola miliknya dengan nomer teleponku saja, dan anehnya dia langsung ketawa, dan gantian aku yang bingung, kenapa dengan orang itu tiba-tiba bertanya nomer telepon lalu tertawa dengan keras, bagi yang tidak tahu siapa dia tentu itu sangat aneh, tapi kalau kamu tahu betapa sangat pemalunya dia mungkin kamu akan mengerti, dan permintaannya sungguh-sungguh waktu itu. Aku kabulkan permintaannya dengan senyuman dan secarik kertas berisi nomer ponselku yang kuberikan ke tangannya, ia tersenyum manis sekali setelahnya.
Waktu berjalan dengan sempurna sejak itu, emosiku pada Gizta teredam perlahan bersamanya, dia gantikan dengan lima hari waktu sekolah yang dipenuhi dengan kegilaan yang dia pendam dalam pendiamnya ,sama sekali aku tak menyangka kalau ia bisa melakukan itu semua, mulai dari menempel fotokopian fotoku memenuhi semua area majalah dinding bersama tulisan, “Orang bodoh mana yang mengingkari cahaya bintang dari mata wanita ini?”, awalnya aku malu, tapi kemudian ikut tertawa dalam kegilaannya, itu protes Heva atas kebosanannya mendengarkan cerita tentang Gizta yang kuulang berkali-kali setiap hari. Lalu yang aku ingat lagi adalah semua yang dilakukannya untuk membuatku tersenyum di kantin, aku kaget saat sebelas porsi makanan dari semua pedagang kantin tiba-tiba ada di mejaku, dia bilang lebih baik aku tutup mulutku itu dengan makanan daripada dia harus melihatnya manyun terus. Lalu dua hari di setiap hari sabtu dan minggu dia mengajakku ke tempat yang tak lazim seorang cowo mengajak seorang cewe menghabiskan akhir pekan, mulai dari pasar ikan yang buka jam sepuluh malam, hingga pabrik batu bata yang dia gunakan untuk menumpahkan semua kegilaan yang aku yakin belum habis hingga kini.
Malam itu hari ulang tahunku yang kedelapan belas, pertama kalinya aku terluka melihat ia menutup mata menahan rasa sakitnya atas apa yang aku lakukan, dan aku tak sempat meminta maaf untuk itu, maafkan aku Heva. Dia datang tanpa kutahu ke rumahku tepat beberapa menit sebelum jam dua belas malam hanya untuk mengucapkan selamat ulang tahun yang pertama kalinya untukku, dan andai semua bisa kembali pada malam itu, aku sangat menyesal mengiyakan ajakan Gizta untuk menonton pertunjukan musik yang berakhir tepat saat Heva menungguku di mulut pintu rumahku. Heva tersenyum sambil berlalu, aku melihat sebuah bungkusan yang ia letakkan di depan pintuku, sebuah buku, dengan tulisan yang dapat kubaca dengan jelas, “ Selamat ulang tahun bintang, mungkin ini tidak mahal tapi semoga berarti, kalau tak berarti....ya sudah, mau diapakan lagi....” Aku menangis karena ketidak pekaanku atas sikap yang ingin ia tunjukkan dalam diamnya. Dan setelah malam itu, yang aku takutkan tak pernah terjadi, Heva selalu bilang, ia tahu betapa besar perasaanku atas Gizta, dan mungkin tak sebesar perasaan Heva padaku, daripada ia mencoba menghancurkan gunung es itu, lebih baik ia mati beku diatasnya. Dan semuanya berjalan biasa saja hingga kini, seolah-olah tak pernah ada yang terjadi malam itu, sungguh istimewa kamu bodoh, termasuk membuatku merelakan “Azfa Alia”, nama yang melekat padaku sejak umurku tiga hari, kamu ganti dengan panggilan “bintang” yang ia kumandangkan setiap jam setengah tujuh pagi disertai teriakan....” bangunnnnn bodoh, udah siang.....”
Ia tepat di depanku sekarang, tangan kanan memegang plastik berisi banyak minuman dan cemilan, tangan kiri memegang selembar kertas yang coba ia berikan padaku, “ Aku memang kangen sama kamu Bintang, sangat, dan harusnya sekarang aku mengatakan rasa rindu itu sambil bertanya tentang cerita apa yang hendak kau bagi, tapi ini sudah jam lima lebih sepuluh menit, dan itu berarti tinggal satu jam dua puluh menit lagi menuju pertunjukkan Gizta, ini tiketnya....lekas bergegas, ini pertunjukkan penting buat dia dan juga mungkin buat kamu, aku tahu aku juga yang terlambat dan membuat ini menjadi terburu-buru, tapi mungkin........” Aku segera memotong berondongan kata-kata yang keluar dari mulutnya dengan hanya kekuatan jari telunjuk yang kutempelkan erat di mulutnya,”Heva....duduk dulu kenapa ya. Udah lah, kalau emang terlambat ke acaranya yaudah, memang bukan rezekiku mungkin. Kamu apa kabar?” Heva duduk di sampingku sambil menenangkan nafasnya yang tadi berlomba dengan waktu, dibukanya botol minuman yang ia bawa dalam plastik belanjaan tadi,” Sejauh ini ga ada yang istimewa dengan cerita keseharianku, selain minggu depan aku pameran karya patungku, dan lima bulan lagi aku mungkin lulus. Aku kangen kamu Bintang, kamu baik-baik aja kan di Inggris sana?” Ia melirik pelan ke arahku, seolah-olah berkata “ kalau kamu gamau jawab juga gapapa” hahahaha......mukanya aneh sekali menatapku, aku tak banyak bercerita padanya, hanya kukeluarkan bundel kertas yang dulu heva buatkan untukku, berisi semua cerita yang aku tulis disitu, foto-foto zaman SMA dulu tak lupa terpampang dengan rapi disitu,mmmmm......mungkin kata rapi itu harus direvisi sedikit, coretan berbentuk kumis di fotoku, dan gambar tompel besar yang kucoretkan di foto wajah Heva sedikit mengurangi kata rapi itu, tapi tak mengurangi semua makna cerita yang tersimpan di dalamnya. Di satu lembar bundel itu terpampang foto Heva berkostum mafia Italia sambil memegang cerutu yang dulu coba ia hisap namun hanya sekali saja dan itu cukup untuk membuat ia terbatuk-batuk selama malam perpisahan sekolah, bodoh sekali kamu Heva, tapi untunglah kamu bukan pemegang NEM terbaik, jadi tak perlu memberikan sambutan di mimbar, karena pidato komplikasi dengan batuk tak berhenti-berhenti bukan pasangan yang enak didengar. Tapi kamu tahu, foto mafia pasar kampret itu adalah foto moment terakhir kita berbagi, dan setelah itu, hanya aku yang tahu dan mengisi bundel ini sendirian. Heva memperhatikan satu demi satu foto dan tulisan yang telah menemani dua tahun perjalanan study-ku di London, mulai dari hari pertama aku kuliah, foto kamar asramaku yang rela aku bagi dengan gadis gipsy yang tak henti-hentinya memenuhi area tidurnya dengan wewangian aneh setiap malam, lalu foto-fotoku selama di laboratorium farmasi, hingga foto bandara Heathrow yang baru saja beberapa jam yang lalu kucetak hanya untuk memastikan bahwa aku benar-benar naik pesawat, tak seperti yang Heva bilang kalau mungkin bisa juga sekali-sekali aku datang ke Indonesia naik kereta kuda yang biasa ia lihat di foto-foto tentang inggris. “ Kamu tetap menyimpannya dengan rapi bodoh....aku hampir lupa pernah membuatkannya untukmu. Jadi mau bagaimana sekarang, apa perjalananmu akan sia-sia kalau ga jadi datang ke acara Gizta?” Heva menutup bundel itu dan menyerahkannya padaku,” Heva....hidup kita bukan hanya berisi tentang aku dan Gizta, tak juga untuk hari ini, aku datang juga untuk menemui kamu, walaupun tak lama tapi aku ingin membuat ini berarti setelah dua tahun aku ga bareng-bareng kamu. Oh iya, aku bawa gitar bodoh....lebih baik aku dengar lagu `Lulaby for a little star` dari penciptanya langsung kan daripada Gizta yang nyanyi.” Heva mengangkat alisnya yang lebal hampir tersambung dari dua belahnya,” Hah....nafasku masih belum utuh bodoh, nanti dulu ya. Tapi kok aku ngerasa aneh ya, jadi apa kabar dong dengan tiket ini?” Aku hanya tersenyum, lalu mengambil tiket itu dan memasukannya ke dalam tas, “ Aku menyimpannya hanya untuk jaga-jaga, siapa tahu nanti Gizta marah karena aku ga datang, aku tinggal liatin tiket ini dan bilang sebenarnya aku udah niat untuk datang tapi pesawatku terlambat, beres kan?!” Heva tersenyum dan garuk-garuk kepala, ah sudahlah...tak perlu juga semua kamu ngerti kan.
“ Lalu.....apa yang akan kita lakukan sekarang?” Heva kembali bertanya padaku, “ Untuk satu jam kedepan aku hanya ingin bersandar di kaki kamu sambil mendengarkan kamu bernyanyi.” Heva makin kelihatan bingung, “ Kenapa?” aku menyerahkan gitar yang aku bawa sengaja dari London,”Karena sayang ini seharusnya buat kamu.” Aku tersenyum paling manis untuknya, tapi tak juga membuat ia tersipu, menyebalkan sekali,” Mukamu kenapa aneh gitu? Ah bodoh...ngomong apa sih kamu tadi?” Ia membuka sarung gitar sambil sedikit memainkannya,” Ah....kamu tuh ya, emang ga boleh gitu? Atau jangan-jangan kamu ga ngerti sama sekali lagi ya?” aku membaringkan kepalaku di kakinya sambil membuka cemilan dari plastik belanjaannya,” Aku tahu sayang kamu, kalau sayang aku ga perlu lagi aku jelaskan kan?! Tapi ya gausah dibikin sentimentil begitu lah.” Aku menatap erat-erat matanya yang berwarna coklat,” Jadi kalau kita udah sama-sama sayang kita mau gimana sekarang?” Sekarang aku sungguh-sungguh menunggu jawaban apa yang akan keluar dari mulutnya,” Yah....aku kan masih punya Risti, masa mau diputusin sekarang tanpa sebab.” Aku menghela nafas untuk menutupi sedikit kecewaku, dan aku janji kalau itu hanya sedikit saja aku rasa,” Ya udah...aku yang gantian nunggu kamu sekarang.” Aku masukan lekas potongan coklat yang hampir meleleh di tanganku,” Cieeehhh...ada yang kecewa kayaknya, bahaya ah....” Dia sentuh hidungku dengan hidungnya, aku sangat merindukan saat-saat seperti ini, dan aku rela tertawa semalaman dengan semua tingkah yang Heva lakukan.
“ Semoga aku ada uang awal tahun depan, aku pengen gantian nemuin kamu ke inggris, aku juga pengen ngerasain pegunungan Alpen.” Aku mengkerutkan keningku sambil sedikit mencerna ucapan Heva,”Ah....perasaan Alpen bukan di Inggris lah bodoh.” Heva kembali menggaruk-garuk kepalanya, sungguh ia lebih terlihat ganteng saat bingung, “ Oh iya ya....jadi Alpen dimana dong?” Aku tak yakin kalau dia benar-benar ingin tahu jawabannya,” Nyanyi dulu dong, nanti baru aku kasih tahu jawabannya” Hahahahahaha....kita tertawa untuk sesuatu yang tak jelas, “ Ah....bilang aja gatau.”

0 comments:

Post a Comment

 
Copyright (c) 2010 karma sang fajar. Design by Wordpress Themes.

Themes Lovers, Download Blogger Templates And Blogger Templates.